Channel9.id, Jakarta. Keputusan pemerintah Indonesia untuk membatasi atau menunda sebagian bantuan bencana dari luar negeri pasca banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sumatera dinilai mencerminkan prinsip kemandirian dan ketahanan negara, bukan bentuk arogansi atau penolakan solidaritas internasional.
Penilaian tersebut disampaikan Profesor Studi ASEAN dan Direktur Institut Studi Internasional dan ASEAN (IINTAS), Universitas Islam Internasional Malaysia, Phar Kim Beng, dilansir Malaymail, Senin (22/12/2025). Untuk diketahui, banyak muncul kritik terkait hal ini meski lebih banyak berasal dari warganet, sebagian media, serta satu dua politisi negara jiran yang tidak dapat dianggap mewakili sikap resmi Pemerintah Malaysia.
Menurutnya Profesor Phar Kim, kritik yang berkembang di media sosial terhadap kebijakan Indonesia cenderung mengabaikan konteks psikologi politik dan pengalaman historis Indonesia dalam penanganan bencana.
“Penafsiran yang menyebut Indonesia tidak bermoral atau terlalu mementingkan gengsi jelas keliru. Prinsip inti Indonesia adalah mandiri—etika kemandirian dan ketahanan nasional,” ujar Phar dalam pernyataannya.
Phar menjelaskan, pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menegaskan Indonesia harus mengandalkan kapasitas sendiri sebelum menerima bantuan antarnegara merupakan sikap yang tepat secara strategis dan konstitusional. Sebab, solidaritas domestik yaitu sifat kegotongroyongan adalah modal sosial bangsa Indonesia dalam timbul dan tenggalam peradaban tanah air.
Pemerintah, lanjut dia, telah merespons bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dengan pengerahan helikopter, tim SAR, jaringan logistik, serta alokasi anggaran negara dalam jumlah besar.
“Ini bukan tindakan simbolis. Ini adalah demonstrasi kompetensi negara,” katanya.
Menurut Phar, sebagai negara dengan lebih dari 270 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, Indonesia secara struktural memang dituntut membangun kekuatan internal yang solid, terutama dalam penanganan bencana. Ketergantungan berlebihan pada bantuan asing justru berisiko melemahkan kepercayaan publik terhadap negara.
“Kepercayaan publik lahir dari kemampuan negara mengelola krisisnya sendiri. Pemerintah yang terlihat tegas akan memperkuat rasa aman nasional,” ujarnya.
Phar menilai penting untuk membedakan antara bantuan kemanusiaan swasta dan bantuan antar pemerintah. Dalam kerangka hukum Indonesia, bantuan antarnegara memerlukan penetapan status bencana secara resmi. Hal ini, menurutnya, bukan persoalan birokrasi berbelit, melainkan upaya menjaga kedaulatan positif.
“Bantuan tanpa regulasi dapat menciptakan rantai komando paralel dan memicu kekacauan di lapangan,” katanya, merujuk pada pengalaman tsunami Aceh 2004 yang diwarnai duplikasi logistik dan lemahnya koordinasi.
Ia juga menanggapi persepsi sebagian masyarakat Malaysia yang merasa bantuan negaranya dipandang kecil. Menurut Phar, pernyataan Tito tidak dimaksudkan meremehkan solidaritas rakyat Malaysia, melainkan menjelaskan perbedaan skala antara kapasitas nasional Indonesia dan bantuan eksternal.
“Ketika negara mengalokasikan miliaran rupiah, pemerintah harus tetap menjadi penjamin utama kesejahteraan rakyatnya,” ujarnya.
Phar menekankan bahwa prinsip mandiri yang dipegang Indonesia tidak meniadakan solidaritas internasional. Sebaliknya, Indonesia berupaya memastikan bahwa bantuan asing berfungsi melengkapi, bukan menggantikan, kapasitas nasional.
“Ketahanan hari ini mencegah ketergantungan struktural di masa depan,” kata dia.
Dalam konteks geopolitik, Phar menilai otonomi dalam penanganan bencana berkorelasi langsung dengan otonomi politik luar negeri. Negara yang mampu berkata “tidak, belum” pada bantuan eksternal bukanlah negara yang bermusuhan, melainkan negara yang percaya diri.
“Kedaulatan bukan berarti tidak tahu berterima kasih. Indonesia sedang menjaga kendali—secara hukum, psikologis, dan logistik,” ujarnya.
Menurut Phar, sikap Tito Karnavian harus dibaca sebagai upaya menyeimbangkan penghormatan terhadap bantuan kemanusiaan dengan perlindungan martabat nasional. Solidaritas domestik, yang tercermin dari mobilisasi anggaran dan gotong royong antarwilayah, dinilai lebih krusial dibandingkan pencitraan internasional.
“Indonesia yang tangguh tetaplah Indonesia yang penuh empati,” pungkasnya.





