Opini

Analisis Semiotika Tes Wawasan Kebangsaan

Oleh: Emrus Sihombing*

Channel9.id-Jakarta. Diberitakan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirim surat pemanggilan kepada pimpinan KPK terkait laporan pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai menjadi ASN. Salah satu link berita yg memuatnya tersedia di bawah ini.

Jawaban terhadap isi pertanyaan atau koesioner TWK merupakan instrumen mengelompokkan peserta tes memenuhi syarat (MS) atau TMS secara objektif.

Pelaksanaan TWK untuk alih status menjadi ASN merupakan perintah UU. Jadi, siapapun komisioner di KPK pasti melakukan hal itu. KPK hanya melaksanakan UU. Jadi, masih sangat jauh dari kemungkinan tidak sesuai dengan atau potensi pelanggaran HAM.

Sebab materi TWK, kuesioner disusun berbasis pada keilmuan dari para pihak yang membuatnya, yang boleh jadi antara lain mengukur gradasi pengetahuan atau kesadaran, konstruksi sikap, bentuk perilaku dan kepribadian terkait dengan kebangsaan. Bagaimana proses mereka menyusun materi pertanyaan merupakan otoritas kelimuan yang mereka miliki.

Selain itu, paket sebuah instrumen (termasuk kuesioner) untuk mengukur sesuatu sudah melawati tes validitas (mengukur apa yang diukur) dan reliabilitas (melihat konsistensi alat ukur).

Berdasarkan pengalaman penulis mengikuti tes semacam ini, paket kuesioner dijilid dalam satu buku ukuran sedang disertai nomor atau kode tertentu yang terlebih dahulu diisi oleh peserta tes pada lembar jawaban. Kode ini bukan sebagai bobot materi antar paket, tetapi hanya sekedar tanda pembedaan.

Materi TWK diberikan ke semua peserta, artinya diperlakukan sama. Jadi, memenuhi prinsip keadilan. Hasilnya, ada yang MS dan ada yang TMS. Seandainyapun yang TMS lebih banyak dari MS, itu biasa saja dalam suatu tahapan proses tes.

Baca juga: Pegawai KPK yang MS dan TMS Selanjutnya Diperlakukan Sesuai UU

Dengan demikian, untuk mendalami materi TWK, sesuai atau tidak sesuai dengan HAM dapat dilakukan analisis semiotika untuk melihat hakekat makna dari keseluruhan rangkaian pertanyaan, tidak terlepas satu dengan lain, sehingga saya belum melihat urgensi Komnas HAM langsung mengirim surat pemanggilan kepada komisioner KPK.

Untuk itu, penulis menyarankan kepada Komnas HAM lebih memprioritaskan penanganan pelanggaran HAM berat, seperti hilangnya nyawa orang yang sama sekali tidak berdosa, daripada urusi TWK yang jauh kemungkinan tidak sesuai HAM.

Singkatnya, setelah melakukan analisis semiotika terhadap isi TWK, dan jika masih ada yang perlu didalami isi paket koesioner tersebut, Komnas HAM dapat mengundang tim pembuat kuesioner untuk berdiskusi, sehingga terjadi bertukar makna.

*Komunikolog Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

67  +    =  70