Oleh: Mukti Ali Qusyairi
Channel9.id – Jakarta. Di Komisi A, ada tiga soal yang berhasil dibahas dalam bahtsul masail antar pesantren di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Rabu-Kamis 26-27 November 2025. Yaitu soal revisi buku sejarah, mobile Legend, dan larangan nikah laki-laki pada masa iddah bekas isterinya.
Kali ini saya akan menuliskan catatan berlangsungnya pembahasan bahtsul masail tentang tema larangan nikah laki-laki pada masa iddah bekas istrinya.
Dalam perspektif fikih, perempuan yang dicerai memiliki masa ‘iddah, masa jedah yang tidak diperbolehkan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain dengan tujuan agar rahimnya bisa terdeteksi dan terkonfirmasi apakah sedang mengandung atau tidak. Sehingga status nasab anak yang dikandung jelas. Sedangkan laki-laki sendiri tidak ada masa ‘iddah.
Meski laki-laki atau suami tidak ada masa ‘iddah, dia masih berkewajiban memberikan nafkah kepada mantan istrinya selama masa ‘iddah. Terlebih kepada anak-anak hasil dari pernikahannya akan selalu wajib untuk dinafkahi oleh suami. Istri dan suami mengenal istilah mantan: mantan suami atau mantan istri. Tetapi anak tidak ada mantannya; mantan anak, misal. Anak adalah anak untuk selamanya, dunia dan akhirat.
Namun, dalam perkembangan sosial, realitas berbicara bahwa tidak sedikit laki-laki yang baru saja menceraikan istri langsung nikah lagi dengan perempuan lain, meski mantan istri masih dalam masa ‘iddah. Akibatnya, laki-laki mengabaikan atau tidak memenuhi kewajiban nafkah ke mantan istrinya, lantaran uangnya sudah habis untuk nafkah pada istri barunya. Belum lagi nafkah untuk anak-anaknya.
Karena itu, melalui Surat Edaran Kementerian Agama Nomor P-005/DJ.III/Hk.007/10/2021, “negara menetapkan bahwa seorang laki-laki tidak diperkenankan menikah dengan perempuan lain selama masa iddah bekas istrinya masih berlangsung entah masa iddah tersebut dari talak raj’i ataupun bain. Kebijakan ini bukan semata-mata untuk membatasi hak individu, tetapi lebih sebagai bentuk perlindungan hukum, pengendalian sosial, dan penguatan administrasi pernikahan.”
Pertanyaannya adalah bagaimana syariat menanggapi kebijakan hukum dari Kementerian Agama tersebut?
Saya mencatat ada dua pendapat dari para peserta. Sebagian berpendapat bahwa kebijakan itu boleh ditetapkan oleh pemerintah karena ada kemaslahatan bagi rakyatnya. Karena kebijakan pemerintah kepada rakyat harus berbasis kemaslahatan untuk rakyatnya, sebagaimana dalam kaidah fikih. Pendapat ini agaknya pendapat mayoritas.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa kebijakan itu tidak tepat. Karena menurut syariat, laki-laki memiliki hak untuk menikah kapan saja, baik sebelum selesai masa idah bekas istri atau sesudahnya.
Moderator memberikan waktu kepada perumus. KH. Asnawi Ridwan menjelaskan bahwa jika melihat undang-undang itu, berarti laki-laki yang menikah pada masa iddah bekas istrinya itu akan jatuh pada nikah siri. Karena belum bisa tercatat dalam buku nikah.
Saat ini, lanjut Kiyai Asnawi, ada perkembangan soal undang-undang perzinaan. Kita harus mempelajari dan memahaminya dengan baik. Kawin siri yang jelas-jelas tidak tercatat di negara, apakah nanti tergolong pada kategori zina sebagaimana dalam undang perzinaan atau tidak? Tentu saja kalau dalam pandangan syariat tidak termasuk zina, karena akadnya sah. Hanya saja tidak tercatat di negara.
Kiyai Asnawi rupanya sedang memancing dan menguraikan konsekwensi dari undang-undang itu.
Lalu saya ikut menguraikan pandangan bahwa undang-undang larangan nikah laki-laki pada masa masih iddah bekas istri itu dalam upaya memberikan kepastian hukum dan perlindungan pada perempuan dan anak, himayat al-marah wa al-banin wa albanat. Sebab dalam perspektif negara dan sosial masyarakat pada umumnya bahwa perempuan dan anak adalah termasuk ke dalam golongan kaum lemah, mustadzh’afin, yang harus diberi perlindungan dari negara. Negara hadir untuk memberi perlindungan.
Sebab, untuk memastikan perempuan yang dicerai masih untuk diberi hak nafkah oleh mantan suami selama masih masa iddah. Jika mantan suami nikah lagi dengan perempuan lain, akan berpotensi besar tidak memenuhi kewajiban nafkahnya kepada mantan istri yang masih masa iddah. Negara hadir untuk memastikan terpenuhinya hak dan kewajiban itu.
Artinya bahwa negara hadir untuk menuntut tanggungjawab laki-laki dalam memenuhi hak dan kewajiban perempuan sebagaimana dalam ketentuan syariat. Mengapa negara harus hadir? Sebab tidak sedikit perempuan dan anak yang diterlantarkan oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Karena sebagai pihak yang lemah.
Begitu juga soal nikah di bawah umur. Saya agak melipir ke kawin anak. Mengapa negara menaikkan usia pernikahan dari 16 ke 19? Sebab negara hadir untuk memberi perlindungan pada hak anak untuk pendidikan, menyelesaikan sekolah minimal SMA dan dewasa sebelum menikah.
Meski negara masih memberi toleransi pada kasus-kasus tertentu dengan melalui dispensasi nikah. Dispensasi nikah ini adalah celah yang seharusnya diperketat persyaratan dan prosedurnya.
Kenaikan usia pernikahan itu pun sejatinya ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pernikahan di bawah umur itu tidak boleh. Ini menurut Ibnu Sabramah dan Ibnu Hazem. Juga diperkuat dalam keputusan fatwa Dar al-Ifta al-Mashriyah, Mesir.
Dirumuskan oleh Bapak KH. Ali Musthofa Said bahwa kebijakan pemerintah dalam melarang laki-laki menikah pada masa iddah bekas istri adalah boleh dan absah. Karena terdapat maslahat, dan kita wajib taat pada kebijakan pemerintah selama kebijakan itu tidak bertentangan dengan syariat.
Di Komisi A ini hadir perumus KH. Hizbullah Robert Azmi, KH. Darul Azka, KH. Bahrul Huda, KH. Nizhom, dan yang lain.





