Opini

Buka Amplop Calon Menteri, Pak Prabowo!

Oleh: Indra J Piliang*

Channel9.id0Jakarta. Presiden Terpilih Prabowo Subianto dilantik tanggal 20 Oktober 2024 di hadapan Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Hingga sebulan sebelum pelantikan, daftar nama calon-calon menteri yang mengisi Kabinet Indonesia Maju belum muncul. Padahal, masing-masing partai politik (parpol), baik pengusung ataupun non pengusung Prabowo – Gibran Rakabuming Raka, sudah menyerahkan daftar nama. Dalam sistem multipartai tanpa satupun parpol peraih kursi Perwakilan Rakyat (DPR) RI di atas 50%, kabinet menjadi episentrum pembagian kekuasaan.

Dalam seperempat abad terakhir, kendali atas para menteri tidak sepenuhnya berada di tangan presiden terpilih. Ketua-ketua umum parpol ikut memegang ‘ekor jas’ dari menteri yang bersangkutan, walau ‘ikat kepala’ dari menteri itu dipegang presiden. Sekalipun tidak begitu jelas keuntungan yang diraih parpol atas keberadaan para menteri dari kalangan parpol di kabinet, eksistensi  mereka menjadi indikator ‘capaian’ puncak karir dari rekrutmen yang dilakukan parpol.  Di luar kabinet, kader parpol mengisi legislatif pusat dan daerah, serta kepala dan wakil kepala daerah.

Masalah utamanya, bukan berarti kader-kader parpol yang menjadi menteri memiliki independensi dalam menjalankan program unggulan parpol. Yang terjadi, ‘kader terbaik’ parpol menjalankan visi, misi, dan program presiden terpilih. Keuntungan yang didapatkan parpol lebih banyak menyangkut daya jelajah dari menteri bersangkutan dengan cara membagi waktu antara tugas kementerian (sering disebut tugas negara) dan kegiatan kepartaian. Kepala-kepala daerah yang berasal dari parpol yang sama dengan menteri, lebih punya peluang untuk mendapatkan program (baca proyek) pemerintahan pusat.

Tetapi tetap saja tak ada alat ukur yang bisa dipakai tentang seberapa besar atau banyak keuntungan yang diraih parpol yang memiliki kader di kabinet, ketimbang parpol yang sama sekali tak punya kader. Para ahli ilmu politik di Indonesia sama sekali tak mengembangkan disiplin ilmu tentang indikator penting ini. Begitu juga kalangan masyarakat sipil yang rajin bersuara dan bersorak. Surveyor politik juga tak pernah mengajukan pertanyaan seputar hubungan simbiosis mutualisma antara kader parpol dengan kursi kabinet ini, baik dari kalangan konsultan politik, hingga media massa.

Namun, jumlah kerugian atas hubungan kader parpol dan kursi menteri ini jika ditabulasikan sangat banyak. Yang pertama sekali rugi adalah nalar publik. Tanpa landasan ilmiah berdasarkan studi empiris dan teoritis, hampir semua kalangan menjadi latah dengan menyebut parpol yang tak punya kader menteri sebagai ‘partai di luar pemerintah’. Yang lebih absurb lagi, sebutan sebagai ‘partai oposisi’ dijadikan jargon kepahlawanan. Bahwa tak ada sama sekali program tandingan dan kabinet bayangan sebagai contoh kecil sebutan ‘mewah’ sebagai parpol oposisi,  tak menjadi persoalan.

Yang kedua, parpol yang semula menjadi organ mempertentangkan gagasan yang berbeda, bahkan berlawanan, dalam skala cepat bertukar wajah menjadi ruang karantina pemimpin parpol yang berisi karakter dan model manusia seragam. Lebih jauh lagi, parpol berubah menjadi semacam ‘peternakan’ manusia, alias – maaf – kebun binatang. Adagium selaras, serasi, seimbang dijalankan dalam konteks hewani. Perbedaan program dan perndapat antar menteri dilaknat. Sikap kritis objektif dikutuk sebagai khianat. Lama kelamaan, bukan saja mentalitas berubah, tetapi juga sikap. Body language dalam rupa menunduk dan merunduk di hadapan presiden menjadi pandemi yang cepat menular. Diksi ‘Izin, Pak’ berkecambah di seluruh tingkatan masyarakat.

Dan yang ketiga, seperti terjadi dalam beberapa bulan terakhir, ketika presiden yang memiliki hak prerogatif itu mengalami penurunan tingkat kesukaan, bahkan berkembang menjadi antipati dan permusuhan, justru kalangan kader parpol dan parpolnya yang paling dulu mendapat sentimen negatif. Para menteri yang ‘berasal dari kalangan non parpol’ atau ‘profesional’ tak bakal dilempar dengan telor, sendal, atau tomat busuk. Kader parpol dengan cepat menjadi objek tertawaan. Presiden yang kencing berdiri, para menteri asal parpol yang dimajinasikan kencing berlari.

Uraian di atas menunjukan betapa mudarat keberadaan kader parpol sebagai menteri jauh lebih dominan ketimbang memberi manfaat.  Menteri berbeda dengan presiden dan wakil presiden yang dipilih (elected leaders). Menteri mendapatkan status pemimpin hanya berdasarkan penunjukan presiden (appointee leaders). Jauh lebih terhormat kedudukan seorang kepala desa dan anggota legislatif tingkat kabupaten, ketimbang seorang menteri, dalam era demokrasi eleltoral. Tabiat menteri yang petantang-petenteng dalam pilihan diksi dan intonasi yang membentak adalah seburuk-buruknya jenis manusia Indonesia.

Nah, agar wajah busuk  menteri yang ditutup-tutupi ini bisa dikurangi, sudah sangat layak proses uji publik dilakukan sejak dini terhadap calon-calon menteri yang dikirimkan parpol kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Buka saja amplop-amplop tertutup itu, Jenderal! Publik berhak tahu, minimal nama mereka, kalau bukan riwayat hidup yang terakreditasi dan terverifikasi oleh kalangan sejarawan dan peneliti kualitatif. Rakyat jangan lagi diludahi oleh kebijakan-kebijakan busuk dan keji, seperti perampasan tanah dan air mereka, akibat tak diedukasi mengurus administrasi pertanahan dan perairan. Sudah terlalu banyak rakyat jelata yang terkubur dan berurai air mata, akibat mempertahankan harkat dan martabat kemerdekaan sebagai warga negara.

Baca juga: Berapa % Jokowi dalam diri Bahlil Lahadalia?

Hormat, Jenderal!

*Sang Gerilyawan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  2  =