Channel9.id-Jakarta. Sesi kedua acara yang digelar Yayasan Sitor Situmorang dan Komunitas Bambu berlanjut pada pukul 15.00 WIB (24/10/19). Seperti di sesi pertama, acara digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional lantai 2, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta.
Giliran buku Mitos dari Lebak (karya Rob Nieuwenhuys) hasil terjemahan Sitor Situmorang didiskusikan. Diskusi di sesi ini bertajuk Politik Memori Multatuli.
“Yang dimaksud dengan politik memori adalah bagaimana sejarah dimaknai kembali, berjarak dari suatu peristiwa, yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu,” jelas JJ Rizal.
Pembahasan kemudian berlanjut ke alam pikiran Sitor yang mempertanyakan kesejarahan dirinya, selepas ia bebas dari penjara.
Setelah Sitor keluar penjara pada 1975, ia sadari bahwa pemerintah Orde Baru cenderung mengikuti model kolonialisme menjadi negara pejabat. Demikian menurut JJ Rizal, berdasarkan hasil evaluasi sejarah atau historiografi.
Menurut JJ Rizal, penerbitan buku Max Havelaar alias Multatuli setelah pengadilan HB Jassin mengingatkan ide-ide humanisme, yang saat itu tidak ada pada masa Orde Baru.
Di waktu yang hampir bersamaan, Pemerintah Belanda mendonorkan dana untuk bekerja sama dengan Indonesia demi memfilmkannya. “Ini upaya dari Belanda dan cendekiawan untuk melawan Orde Baru,” ujar Rizal.
Setelahnya, banyak orang cenderung menyamakan pemerintahan dengan era kolonial. “Apakah semua pejabat sama dengan pejabat kolonial?” tanya Rizal.
Ia melanjutkan, di titik ini, sejarah bergeser menjadi mitos. Melalui mitos ini, ada kecenderungan sejarah, yang tadinya berwarna, menjadi hitam putih.
Ini masalah yang dihadapi Sitor. “Sejarah lokal berbenturan dengan suatu upaya konstruksi sejarah nasional, dalam konteks peran Multatuli,” tutur JJ Rizal.
(LH)