Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (RUDALKU)
Channel9.id – Jakarta. Seorang mantan pemimpin askar sebuah organisasi keislaman kini menyadari bahwa sebagai warga negara dirinya mesti berdamai dengan negara. Dulu dari ‘salah paham’ menjadi’paham salah’ lalu berikhtiar menggapai ‘lurus paham’ dengan bacaan.
Matahari nyaris tenggelam saat kami tiba di desa Tugujaya, Cihideung, Kota Tasikmalaya, pada Jumat pengujung September 2021. Lelaki paruh baya menyambut di sebuah gang di samping masjid yang hanya berjarak beberapa meter dari kantor Kelurahan Tugujaya.
Rintik hujan mengiringi saat kami menyusuri gang menuju kediaman lelaki paruh baya bernama Enjang Yudiana. Setelah bebas pada Oktober 2020, Enjang bertekad melaksanakan niatnya saat di lapas untuk lebih memperhatikan keluarga.
Santri Kodok Membantu Ayah
Enjang lahir di desa Tugujaya, Cihideung, Kota Tasikmalaya, pada 1 Juni 1974. Ayahnya Juli seorang pembuat sandal dan ibunya Cicih seorang ibu rumah tangga. Ia anak kelima dari delapan bersaudara, tiga perempuan dan lima laki-laki. Saudara-saudaranya lebih banyak yang merantau, hanya ia, kakak pertama, dan kakak ketiga yang tinggal di Tasikmalaya.
Baca juga: Jalan Jihad Penjual Siomay Literasi (5)
Pendidikan sekolah dasar, ia tempuh di SD Tugu 4, yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Saat Enjang menjalani pendidikan sekolah dasar, ayahnya bekerja di Jakarta, di sebuah perusahaan produksi sandal kulit yang diekspor ke Australia.
Melihat teman-temannya yang tak melanjutkan sekolah, setamat sekolah dasar pada 1987, ia tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah lanjutan pertama. Pengaruh teman-temannya begitu kuat, meski di keluarganya, kakak-kakaknya meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, hingga SMP bahkan SMA. Setahun setelah lulus SD, ayahnya kembali ke kampung untuk membuka usaha sandal. Enjang pun memilih membantu usaha orang tuanya.
Selain bekerja membantu ayahnya, Enjang mengikuti pengajian. Meski tak rutin saban hari. Enjang remaja mengikuti pengajian di masjid al-Barkah.
“Saya ini santri kodok, mengaji cuma malam saja,” ujar Enjang.
Guru mengajinya seorang yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama. “Di kampung ini, NU mayoritas. Keluarga orang tua juga NU.” “Tapi, saya dulu jarang mengaji. Sehari mengaji, besok main.”
Tasikmalaya dikenal sebagai kota santri. Jumlah pesantren di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan data Kementerian Agama RI pada 2021 menduduki peringkat kedua terbanyak se-Indonesia dengan jumlah 1.318 pesantren, jumlah santri mukim 33.239 orang dan santri tidak mukim 51.662 orang.
Usaha sandal sang ayah berbeda dengan produksi sandal saat bekerja di Jakarta. Ia membuat sandal setengah kulit atau imitasi. Seluruh elemen sandal dibelinya dari produsen daerah Bogor, Jawa Barat. Dari bahan-bahan yang ada kemudian dijahit di Tasik, lalu dijual kembali di Bogor.
Namun, saat usaha yang dirintis sang ayah kehabisan modal, kemudian ia bekerja sebagai buruh pembuat sandal.
“Ayah meninggal pada 2017, sebelum saya ditangkap. Ibu meninggal 2001,” ujar Enjang.
Enjang tak hanya menjalani profesi pembuat sandal. Saat tidak ada pesanan sandal, ia bekerja sebagai buruh bangunan atau pengayuh becak.
Menikahi Gadis Tetangga Kampung
Pada 2000, Enjang mempersunting Tati, sosok wanita mandiri asal Tamansari, Cibeurueum, Kota Tasikmalaya. Jarak perjalanan berkendara dari Tugujaya ke Tamasari butuh waktu sekira 20 hingga 30 menit. Dari pernikshan Enjang dan Tati telah dikarunia dua anak: Ilham Maulana yang baru lulus SMA dan Mita Dewi Lestari yang baru masuk SMP.
Tati pernah bekerja di PT Sabun Palem, sebuah perusahaan yang memproduksi sabun cuci. Pada 2017, ia pindah bekerja ke CV Djaya Sentosa Raya, sebuah perusahaan pengolah kayu. Dua perusahaan itu berada di Jalan SL Tobing, kelurahan Tugujaya, Kota Tasikmalaya. (Bersambung)