Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (RUDALKU)
Channel9.id – Jakarta. Enjang Yudiana ditahan di Mako Brimob Bandung dua pekan, lalu dipindahkan ke rumah tahanan Polres Garut. Dia menjalani vonis di Lapas Cipinang, Jakarta.
Merenung dan Diskusi di Lapas
Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Enjang dengan pidana tiga tahun penjara. Setelah ia mengambil pembebasan bersyarat, vonisnya menjadi dua tahun dua bulan. Dan, pada 13 Oktober 2020 ia bebas.
Selama di lapas, Enjang sempat membaca buku. Kesadaran pun muncul dari hasil ia membaca, renungan tentang keluarga, dan berdiskusi dengan sesama teman-teman. Meski ada ikhwan asal Bandung yang mengambil buku bukan untuk dibaca tapi dibakar. Enjang sendiri tetap pada pendiriannya menyerap informasi dan wawasan melalui bacaan.
Saat di lapas ia berazam, begitu masa hukuman ia ingin fokus mengurus keluarga dan mematuhi aturan negara. Ia sadar, bahwa negara Indonesia memiliki sistem dan aturan bernegara.
Baca juga: Dari NII ke JAD Berujung Jihad Literasi (2)
“Kalau tidak ikut aturan, bisa masuk penjara lagi. Kalau saya melawan aparat negara yang sah, berarti saya yang zalim,” ujar Enjang.
Cap Anak Teroris
Saat Enjang menjalani hukuman di Lapas Cipinang, sebagai istri, Tati merasakan pilu-pilu kesedihan. “Biasanya ada, lalu tidak ada,” ujarnya.
Saat kondisi ekonomi keluarganya sulit, ia tak sungkan meminta bantuan dermawan. “Untung ada Pak Tatang, seorang ikhwan yang tidak berangkat ke Mako Brimob dan pemilik rumah makan Amanah, yang suka membantu,” ujar Tati. “Ada uang kas juga.”
Selain itu, putrinya yang saat Enjang ditangkap masih sekolah SD menerima perundungan dari teman sekolahnya dengan ejekan bahwa bapaknya seorang teroris. “Kadang saya malu ada yang ngomong bapaknya teroris,” tutur Tati. “Ya, masyarakat sini ada yang benci, ada yang tidak. Bahkan ada yang dukung, ‘jangan minder’.”
Sang putri pun tidak kuat dengan ejekan tersebut hingga saat di pertengahan tahun ajaran saat kelas lima memilih pindah sekolah dari SD Tugu 4 ke Madrasah Ibtidaiyah (MI). Meski gurunya meminta untuk tidak pindah, tapi putrinya kukuh ingin pindah. “Diejek sama teman-temannya, mereka belum ngerti,” ujar Tati memaklumi perlakuan teman-teman putrinya. “Tapi, Pak Kapolres pernah bilang, ‘kalau ada yang ejek bilang saja, saya siap membantu’.” Setelah pindah dan tidak ada yang mengejeknya lagi, putrinya pun semangat bersekolah.
Menapak Kehidupan Baru
Enjang berkomitmen untuk memperbaiki kehidupannya. Ia tak ingin kembali ke organisasi yang menentang negara. Ia bersyukur tidak ada teman ikhwan dari jaringan lama yang membujuk kembali lagi. Ia hanya tidak ditegur oleh ikhwan yang masih menganut prinsip lama.
“Kalau diajak pengajian ikhwan saya tidak ikut. Setiap malam Minggu, kini saya ikut pengajian di masjid dekat rumah, di masjid al-Barkah,” ujar Enjang.
Setelah keluar dari lapas, Enjang belum punya aktivitas ekonomi tetap. Di masa pandemi, produksi sandal ikut terdampak, sulit belanja atau mengirim sandal keluar kota. Menyiasati itu, ia pun berupaya beraktivitas ekonomi dengan ikut membantu seorang teman yang memiliki usaha budidaya ikan.
Seiring geliat mencari penghidupan itu, Enjang bergabung dengan Rumah Daulat Buku (Rudalku). Enjang ingin mencoba untuk membiasakan diri membaca buku bersama keluarganya. Terutama mendorong anaknya gemar baca supaya bisa berprestasi di sekolah. Pun dengan komunitas literasi ini, Enjang berniat bisa memberikan manfaat bagi warga sekitar rumahnya melalui ajakan literasi.
Hidup terus berjalan, layar telah terkembang. Dulu Enjang hidup dalam ‘dunia angan-angan’ akibat indoktrinasi tentang bayangan indah negara atau khilafah Islam hingga dia terperosok dalam jaringan radikal. Kini selepas dari bui, Enjang sadar bahwa kakinya masih menginjak tanah, di hadapannya anak dan istrinya butuh kasih sayang dan penghidupan yang layak, perjalanan masih panjang. Baginya inilah jihad yang sesungguhnya mencari nafkah demi keluarga sembari turut bergerak mencerdaskan anak bangsa.