Channel9.id, Jakarta – Raja Ampat, Papua Barat Daya — Gugusan pulau yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia kini berada di persimpangan antara pembangunan dan pelestarian. Aktivitas tambang nikel yang mulai menggeliat di kawasan Raja Ampat menjadi sorotan publik setelah muncul kekhawatiran soal dampak lingkungan yang bisa mengancam ekosistem unik wilayah ini.
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat lima perusahaan tambang yang telah mengantongi izin operasi di wilayah Raja Ampat. Dua di antaranya memperoleh izin langsung dari pemerintah pusat, yakni PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), sementara tiga lainnya memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten.
PT Gag Nikel, satu-satunya perusahaan yang sudah aktif berproduksi, merupakan anak usaha dari perusahaan BUMN PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Sejak mengakuisisi kepemilikan penuh pada 2008 dari mitra asing, Antam kini mengendalikan penuh operasi tambang nikel di Pulau Gag. Perusahaan ini tercatat memiliki wilayah izin seluas lebih dari 13.000 hektare.
Di sisi lain, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) merupakan bagian dari jaringan Vansun Group, sebuah perusahaan asal China. Dengan status Penanaman Modal Asing (PMA), ASP beroperasi di Pulau Manuran dan telah memiliki izin produksi yang berlaku hingga 2034. Meski telah memiliki dokumen amdal dan UKL-UPL sejak 2006, kehadiran investasi asing tetap memicu pertanyaan soal kontrol terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Sementara itu, tiga perusahaan lain—PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham—masih berada dalam tahap eksplorasi atau belum memulai produksi. Dari ketiganya, PT KSM menjadi perhatian tersendiri karena disebut-sebut memiliki afiliasi dengan sejumlah tokoh penting dalam kelompok usaha Agung Sedayu. Nama-nama seperti Alexander Halim Kusuma dan Richard Halim Kusuma, putra dari Sugianto Kusuma alias Aguan, muncul sebagai pemilik manfaat dalam struktur perusahaan.
Meskipun sebagian perusahaan sudah memiliki dokumen lingkungan, seperti ASP dan Nurham, beberapa lainnya seperti MRP belum mengantongi persetujuan lingkungan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri di kalangan pegiat lingkungan, terutama karena Raja Ampat merupakan kawasan yang sangat sensitif secara ekologis.
Di tengah sorotan ini, perdebatan menguat antara kepentingan pembangunan ekonomi melalui pertambangan dan kebutuhan menjaga keberlanjutan lingkungan. Kelompok masyarakat sipil dan aktivis konservasi menuntut transparansi yang lebih tinggi atas pemberian izin, kejelasan status lingkungan, dan keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Pemerintah daerah maupun pusat didesak untuk lebih selektif dalam menerbitkan izin pertambangan, mengingat posisi Raja Ampat sebagai kawasan strategis nasional di bidang keanekaragaman hayati. Selain itu, pengawasan terhadap aktivitas tambang perlu ditingkatkan agar tidak menimbulkan kerusakan permanen yang berujung pada hilangnya nilai ekologis dan pariwisata alam Raja Ampat.
Di balik janji investasi dan pemasukan negara, kisah tambang nikel di Raja Ampat menjadi pengingat bahwa pembangunan tanpa kehati-hatian bisa berbalik menjadi bencana ekologis. Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah dan pelaku usaha dalam menjaga keseimbangan antara tambang dan alam.