Opini

Dompet Dhuafa: Nurani Kemanusiaan dalam Aksi

Oleh: Yudi Latif*

Channelk9.id-Jakarta.

Salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya adalah bergabung dengan Dompet Dhuafa. Dalam perjalanan panjang yang kerap diliputi persimpangan dan ragu, langkah itu menjadi sumber syukur yang tak pernah reda. Seperti memasuki rumah dengan lampu yang tak pernah padam, saya merasakan bahwa Dompet Dhuafa bukan sekadar lembaga, tetapi denyut nurani yang menjaga harapan, memulihkan luka, dan merawat kemanusiaan.

Bertahun-tahun saya hidup di ranah wacana—dunia gagasan yang jernih tetapi berjarak. Bersama Dompet Dhuafa, saya diajak turun ke tanah kehidupan: tanah dengan jejak air mata, debu bencana, dan senyum yang kembali tumbuh oleh sedikit kehadiran. Di sana, kata-kata menemukan tubuhnya; gagasan menemukan dagingnya.

Dompet Dhuafa senantiasa berada di garda depan saat bencana melanda Indonesia, bahkan dunia. Ketika Sumatra kembali terguncang, pos kesehatan darurat segera berdiri, dapur umum mengalirkan makanan hangat, relawan dan Tim SAR menyisir puing, anak-anak dipulihkan jiwanya, membangun hunian sementara, menggalang konser amal, dan merancang program pemulihan jangka panjang.

Di balik semua itu, visinya tetap tegak: menghadirkan dunia yang lebih adil, tempat mereka yang lahir dalam kekurangan tetap memiliki martabat. Misinya mengalir melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, sosial-kemanusiaan, dan dakwah—digerakkan oleh zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai energi perubahan.

Tentu, kekurangan masih ada. Namun semangat memperbaiki diri tak pernah padam. Kritik menjadi angin yang meneguhkan layar; tantangan menjadi pengingat bahwa kemanusiaan menuntut kerendahan hati. Di sanalah saya memahami bahwa bergabung dengan Dompet Dhuafa bukan sekadar karier, tetapi panggilan batin untuk menyalakan cahaya—selama masih ada yang lapar, yang terluka, dan yang tertinggal. Dan meski langkah kami tak selalu sempurna, tekad menjaga cahaya itu tak akan pernah padam.

Baca juga: Yudi Latif: Pendidikan Harus Berjejak pada Akar Budaya dalam Era Disrupsi AI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  4  =  9