Opini

Dono, Sang Mentor Tanpa Puisi

Oleh: Indra J Piliang

Channel9.id-Jakarta. Daftar urutan nama-nama guna saya colek dengan wawancara singkat sudah dalam laci  meja. Tantowi Yahya yang sedang beredar di Pasifik muncul pertama. Dono Widiatmoko yang bersibuk diri di Britania Raya berada pada giliran kedua.

“Ada pesan dari Dono lewat Ratih agar aku ke FKM UI, sehubungan dengan pencalonannya sebagai Ketua Harian Senat Mahasiswa UI. Ketemu Cahyo dan Aisyah di sana. Mereka baik. Dan di Sastra UI aku minta tanda-tangan teman-temanku sebagai pendukung Dono. Sulit juga…”

Begitu tertulis dalam buku harian saya per 22 Februari 1993.

Dono Widiatmoko. Seorang mahasiswa dari kelompok kayangan. Tajir. Kecil. Tapi bersuara tegas. Sementara saya adalah mahasiswa asal pedalaman, miskin, namun loyal kepada kelompok. Tentu, apa yang saya maksud dengan kelompok adalah mahasiswa dari kalangan yang bukan siapa-siapa.

Catatan harian saya penuh dengan pertentangan “kelas” seperti itu. Saya punya pergaulan yang baik dengan kalangan elite. Sementara, teman-teman saya dari kelompok jelata sama sekali tak sebergerak saya. Terbiasa dengan kehidupan pejalan kaki yang sulit dan jauh, bagi saya mudah saja melangkah dari satu fakultas ke fakultas lain.

Dua buku harian tahun 1993 yang saya telusuri terdapat fakta, betapa saya tertekan saya terhadap lingkaran elite, termasuk kelompok mahasiswa senior di sekeliling Dono. Atau, dalam bahasa mayoritas dosen dan mahasiswa hingga tahun 1997, betapa hijau semangkanya saya. Di luar hijau, di dalam merah menyala. Ada magma di dalam dada, setiap kali berada dalam satu rangkaian kegiatan dengan saya.

20 Februari 1993, saya berdiam diri sepanjang perjalanan dari kampus UI Depok menuju Hotel Puncak Pass. Bahkan, saya berenang sendirian di dalam kolam renang yang dingin seolah membekukan darah. Pembubaran kepanitiaan Diskusi Mahasiswa tentang Tinggal Landas (DMTL) menjadi kegiatan sentral. Dono menjadi Ketua Organising Committee (OC). Saya menginjak tahun kedua kuliah, ketika terpilih menjadi anggota Seksi Protokoler terhadap pimpinan organisasi kemahasiswaan intra kampus zaman itu.

DMTL adalah kegiatan besar pertama yang diselenggarakan Senat Mahasiwa Perguruan Tinggi (SMPT), yakni SMUI. Chandra M Hamzah adalah Ketua Harian yang bertanggung-jawab. Firdaus Arthoni (FKUI) menjadi Ketua Umum. Acara yang dihelat dengan meriah, dapat dukungan penuh dari banyak tokoh akademisi, intelektual, termasuk jajaran jenderal. Prof Dr BJ Habibie dan sejumlah menteri ssling berganti memaparkan materi.

Perbenturan pemikiran terjadi dalam debat terbuka. Arif Satria (kini Rektor IPB) menjadi salah satu bintang, ketika bersahut-sahutan dengan Habibie di Balai Sidang UI, terkait pisang dan pesawat.

Dono dua tahun di atas saya, berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Satu angkatan dengan Mustafa Kamal dan Arfandi Lubis di Jurusan Ilmu Sejarah UI. Dalam pemilihan, Dono dikalahkan oleh Bagus Hendraning. Sekaligus, tercatat sebagai ‘catatan kekalahan’ saya dari Fadli Zon yang menjadi team leader Bagus di Sastra UI. Walau, dalam ‘pertarungan’ di Sastra, saya adalah pasangan solid dengan Fadli, termasuk dalam memenangkan Panji Kian Santang sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI tahun sebelumnya.

Dono menamatkan kuliah tahun 1994, ketika saya memimpin sejumlah organisasi di tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas. Dalam kegiatan monumental kedua skala SMPT, yakni Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: Menjawab Tantangan Abad XXI, saya ditunjuk sebagai Ketua OC oleh Komisi Hubugan Luar SMUI. Dono menjadi anggota Sterring Committee dengan Fadli Zon sebagai Ketua.

Inggris menjadi tujuan Dono guna melanjutkan studi di University of York bidang Health Economics. Gelar Master of Science diraih tahun 1996. Sertifikat di bidang ekonomi diraih Dono dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Monash tahun 1995. Tahun 1997, Dono bekerja di almamater, FKM UI, hingga tahun 2004. Dalam turbulensi pasca 1998, Dono sempat bekerja sebagai Senior Analys di Arthur Andersen Business Consulting dari 1999 sampai 2001.

Setelah pemilihan presiden 2004, Dono berkarir di University of Hertforshire, University of Wolverhampton, University of Salford, dan Teesside University di Britania Raya, hingga tahun 2015. Sempat kembali di Indonesia dengan bendera Novartis Indonesia sejak April 2015 hingga Januari 2019. Tanpa menunggu pemilihan presiden selesai, Dono menjawab tawaran sebagai dosen senior di bidang epidemologi, statistik, dan metodologi riset sejak Februari 2019 sampai sekarang.

Dan tentu, saya tidak bertatap muka sejak tahun 1994, hingga sekarang. Selain disibukkan dengan skripsi, saya sedang mendapat tugas berat, yakni mengurus legalisasi Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia yang memilih saya sebagai sebagai Sekretaris Jenderal Pertama tahun 1995 di Universitas Riau. Laporan pertanggungan jawab saaya sampaikan di Universitas Padjajaran pada 1997 dalam status sebagai sarjana.

Berbeda dengan Dono, saya masih melibatkan diri dalam lingkungan pergerakan mahasiswa UI. Walau bekerja di Universitas Pramita, Tangerang, saya masih memiliki kamar kontrakan di Jalan Margonda Raya, Depok. Selain menempatkan diri sebagai saksi mata sejumlah peristiwa penting di Jakarta, dalam libido seorang sejarawan yang berada di lokasi, saya mengambil jarak dalam tarik-menarik kepentingan di dalamnya.

Pada 1998, keberpihakan saya pilih dengan menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Reformasi sebagai “paket lengkap ilmiah pergerakan” dua edisi, plus Pemimpin Redaksi Tabloid Moment. Bentuk persentuhan kalangan aktivis senior mahasiswa UI, sekaligus pelapis Harian Bergerak yang diterbitkan Suara Mahasiswa UI pada tahun 1998. Saya  berkecimpung lumayan basah dalam pers kampus, yakni Tabloid Ekspresi Sastra UI, Majalah Suara Mahasiswa UI, hingga Surat Kabar Kampus Warta UI dan Majalah Sinergi STIE Pramita.

Sejak 1 Desember 2000, saya menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), hingga 1 Januari 2009. Bersamaan dengan itu, saya menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Harkat Bangsa Indonesia, Manager Program Yayasan SET, menjadi satu dari 17 nama pendiri The Indonesian Institute, pun senior consultant PT KRA Indonesia yang bergerak di bidang lobby dan investasi yang berkolaborasi dengan KRA Consulting yang punya cabang di sejumlah negara.

Dalam peluncuran buku “Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan” pada tahun 2010, saya menyebut sebagai hari terakhir sebagai manusia jujur. Buku 599 halaman itu menjadi pemakaman saya. Sebab, setelah itu, saya menyebut diri sebagai orang yang tak mempercayai apa yang saya ucapkan. Sebagai perenang ulung bahkan di kedalaman, saya memilih bukan saja basah, tetapi menyelami seluruh arus politik hingga ke dasar dan labirin tergelap.

^^^

“Gue takut terkenal!”

Begitu jawaban Dono Widiatmoko, ketika saya ‘todong’ untuk wawancara rubrik ini. Sejak dulu, saya menempatkan Dono sebagai sosok serius. Jadi, saya anggap penolakan. Dan segera saya hubungi satu orang PhD lulusan Austria sebagai ‘pelapis’.

Malam hari, pukul 21.00 lewat, Dono menjawab santai. Tepatnya, mencoba santai. Bingo! Berarti saya berhasil tarik dia dari ‘sarang’-nya.

[21:45] IJP: Pertanyaan pertama: sejauh ini, ada catatan khusus tentang kesehatan para olahragawan?

[21:47] Dono: Sebelum gue jawab, kita definisikan dulu olahragawan. Konsensus para akademisi dan praktisi bidang kesehatan menyatakan bahwa idealnya setiap orang melakukan aktifitas fisik medium, sekurangnya 30 menit, 5 kali dalam seminggu. Jadi pada intinya setiap orang diminta jadi olahragawan 😀

Busyet!

Jawaban Dono tidak terlalu saya sukai. Textbook thinking berbasis teori beginian sudah 144 purnama saya tinggalkan. Kenapa tidak, saya sedang mencari 1 suara dari masing-masing orang di Dapil Sumbar 2, tahun 2008 lalu.

“Pak IJP, anda pikir kami ini anak kuliahan semua? Janganlah berbahasa langit itu kepada kami. Bercakaplah dengan bahasa kami.”

Bahasa langit. Bahasa planet. Tiga bulan saya tidak tahu cara berbicara. Dan saya belajar. Bicara kepada pemilih di dapil yang mayoritas berpendidikan rendah dari data statistik. Berpikir rasional hingga irrasional. Punya lapau yang berbeda-beda. Satu Tuanku saya temui di Sungai Geringging, sembilan Tuanku menelepon dari sembilan mata angin plus puncak angin.

“Pak IJP, mentang-mentang cucu dari Tuanku Kareh, cucu dari Tuanku Imam Dahlan, jangan kami dianggap rendah. Kenapa Pak IJP tidak datang ke surau kami?”

Kini, Dono pakai kemasan bahasa seperti itu!

[21:50] Dono: Sementara di spekrum ekstrim lawannya adalah mereka yang menggeluti dunia berlatih dan berkompetisi. Olahragawan serius atau profesional.

Beruntung, saved by the bell. Dono minta izin, mau menjemput anaknya dulu. Saya berpikir, bagaimana ‘menjebak’ mentor saya di lingkaran elite mahasiswa UI ini untuk bicara kasus All Enggland dari sisi kesehatan? Sesederhana itu sebetulnya. Apalagi, saya sudah mendengarkan sejumlah keterangan pers jam per jam dari Duta Besar RI di Inggris, sampai Ketua Tim Bulutangkis Indonesia.

Jelang pukul 00:00, Dono muncul. Saya bilang belum mandi.

“Kagak bener tidur, lu. Itu kenapa pinggiran mata lu hitam?” tegur mentor paling top bagi anak-anak UI era awal SMUI ini.

Saya tidak mau repetisi. Dono sibuk, tentu tak sempat melihat akun Youtube saya. Saya tidur di markas, tanpa anak dan istri, sudah berbulan.  Kedua anak saya sekolah, kelas 1 SMP dan kelas 1 SMA. Rumah biar milik mereka. Sementara, jam kerja saya tidak jelas, berhubung saya mengerjakan buku. Kadang, saya tidur saja dua-tiga hari.

Uban sudah memenuhi dagu, kumis, bulu-bulu di tahi lalat hidup di sekujur tubuh saya, plus tentu rambut. Pertanda, saya harus lebih pandai mengatur file-file di dalam sel-sel otak saya.

[21:46] IJP: Pertanyaan kedua, sejumlah kejadian, terutama di tinju, membuat olahragawan menderita penyakit seperti Parkinson. Rata-rata, jenis penyakit apa sih yang menimpa olahragawan?

[23:23] Dono: Pada mereka yang serius melakukan olahraga, aktifitas mereka bisa membawa beberapa kondisi yang memerlukan perhatian. Pemain tennis, misalnya, banyak bertumpu pada pergelangan tangan dan siku untuk memukul bola tennis. Banyak ditemukan inflamasi pada bagian tersebut. Biasanya disebut ‘Tennis Elbow’. Pada pelari jarak jauh/marathon, walau risiko cardio vaskularnya menurun, risiko penderitanya banyak yang malah fatal dan menimbulkan kematian.

[23:30] IJP: Sejak kemaren gue gak tidur, gak tahu kenapa. Eh, Herman Lantang meninggal. Gue tadi nyanyi-nyanyi aja berjam-jam.

Saya sengaja menjawab soal bola mata yang hitam. Padahal, saya cek di cermin, tidak ada yang hitam. Saya pakai kacamata hitam, betul. Tahun 2016, ketika pertama masuk dunia malam di kawasan Jakarta Kota, saya selalu sediakan beberapa kacamata hitam. Ya, ajudan saya tentunya yang bawa.

Sampai sekarang, mata saya masih sangat baik. Bisa membaca tulisan di jarak jauh. Boleh diadu. Saya merasa masih memiliki mata ketika saya di SMA. Lagipula, kacamata yang saya pakai, tentu berasal dari usaha kaki lima pedagang-pedagang di sepanjang Jalan Mangga Besar, Jalan Jayakarta, atau Glodok. Saya tinggal dan menetap di kawasan ini sejak tahun 1991. Sekalipun indekos di Lenteng Agung atau Margonda Raya selama kuliah, tetap saban minggu saya ke kawasan kota. Jadi, omong kosong saja semua orang yang mengaku kawan saya, tapi tak tahu dimana saya tinggal.

(( Eh, kok marah-marah lagi? ))

Dono sibuk dengan penjelasannya. Dasar, bukan anak alam kayak saya. Jangan-jangan, siapa Herman O Lantang dia tak tahu. Tak tahu juga dengan Catatan Harian Seorang Demonstran-nya Soehokgie. Buku yang puluhan kali saya beli, lalu saya berikan kepada aktivis mahasiswa dimanapun.

Petinju atau olahraga lain yang banyak menimbulkan trauma pada kepala/otak, risiko kerusakan sel otak meningkat. Parkinson’s disease adalah salah satu contohnya. Pesepeda, tentu risiko kecelakaan dan cedera lebih besar dibanding masyarakat umumnya.

Hampir saya pura-pura tidur. Penjelasan Dono sudah banyak saya baca sejak zaman Intisari. Ayah berlangganan sejak saya SD. Ratusan majalah Intisari saya koleksi. Dan saya acak-acak Pasar Senen, mengirimkan lagi ke ayah, kalau saya punya kelebihan uang, dari koleksi yang menurut saya ayah saya tidak pernah membacanya.

[23:33] IJP: Nah, pertanyaan ketiga: Ada gak asosiasi dokter olahraga? Di bola, dokter-dokter olahraganya kan pada tajir-tajir. Cakep-cakep.

Dalam hati, saya membayangkan pelatih kebugaran Klub Chelsea. Saya menjadi fans setia Chelsea, sejak Zola bermain. Alasan saya jelas, berwarna. Tidak seperti Chievo Verona yang terkenal berkulit putih semua di Italia.

[23:43] Dono:  Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO)

[23:50] IJP: O ya, anak lu berapa orang, Don? Kirim cv lu dong. Pertanyaan keempat: sejak era kolonial, kalangan kesehatan (termasuk dokter) adalah sumber recruitment politik terdepan. Sekarang, kenapa tidak banyak yang tampil?

[01:49] Dono: Anak gue 3. Yang gede 22 tahun, sudah mulai S3 di Glasgow. Yang ke-2, baru mulai kuliah S1 ambil Geografi, dan yang kecil kelas 1 SMP.

[03:04] Dono: Pertanyaan keempat memang menarik. Gue juga nggak tahu kenapa. Menteri-menteri kesehatan kita sejak tahun ’90-an nampaknya stagnant, tidak banyak yang gregetnya terasa. Yang pontennya dianggap baik hanya beberapa (Adhiatma, Endang Sedyaningsih).  Yang lain tidak terlalu terlihat perannya. Siti Fadilah gemar berteriak keras urusan kedaulatan kesehatan RI, tapi pengkritiknya juga seabreg. Tokoh kesehatan yang dihormati tidak banyak: Leimena, Haryono Suyono, Suwardjono Suryaningrat, Adhiatma, Endang Sedyaningsih. Di luar pemerintahan, penggiat LSM tidak banyak yang pengaruh dan dampak mereka terlihat secara nasional. Kebanyakan para dokter sibuk melayani pasien agar balik modal hehehe.

[04:55] IJP: Pertanyaan kelima: Soal peristiwa kemaren. All England. Kalau gue tetap melihat masalahnya ada di otoritas olahraga RI. Gue inget baca banyak buku dulu, termasuk gimana atlet-atlet berangkat dengan pesawat kelas ekonomi, pejabat dengan kelas bisnis. Era Orba. Menurut lu, gimana membenahi persoalan seperti itu, baik secara domestik atau global? Olimpiade Jepang misalnya. Apa yang kudu diantisipasi?

[05:04] Dono: Gue kira reaksi menuduh pemerintah Inggris nggak fair,  dan seterusnya, terlalu berlebihan. Sebagai akademisi dan juga tinggal di UK, gue malah senang program Test and Trace pemerintah Inggris berjalan dengan baik. Cuma ya, kebetulan saja yang satu pesawat dengan orang yang positif itu tim (yang ke) Inggris. Bukan kesengajaan. Karena lama di sini, gue banyak tahu pejabat-pejabat yang pergi ke UK 7 hari, untuk meeting 1 jam saja. Lainnya jalan-jalan. Atau minta ketemu ini itu tanpa persiapan. Biasa deh. Untuk menyiapkan olimpiade besok, nggak gampang. Kita belum tahu pergerakan pandemi ini seperti ini. Yang mungkin terjadi adalah olimpiade akan dilaksanakan tanpa penonton. Semua atlit dan tim harus menerima vaksin lengkap dulu, sebelum berangkat. Di lokasi mereka juga harus tetap berada dalam kelompok eratnya (bubble).

Selesai sudah saya dengan Dono.

Lalu saya bertanya yang tentu kesenangan dia kalau berbicara dengan saya, politik. Padahal, setiap kali orang-orang yang saya anggap sahabat, bertanya soal politik ke saya, sudah pasti saya ‘perangkap’ mereka sebagai bahan riset kualitatif. Uhuy!

[06:16] IJP: Lu gak mau masuk partai? Biar jadi presiden atau minimal menteri lah. Istri lu anak FK kan?

[12:52] Dono: Bini gue FKM. Elu mosok lupa. Dia inget banget sama elu.

[12:52] IJP: Oh iya. Inget. Yang ayu. Namanya lupa lagi gue. Kirim foto-foto yang bagus.

[12:52] Dono: Gue masuk partai? Susah cari partai yang bener. Lusi.

[12:53] IJP: Gini, gue ntar baca catatan harian gue. Yaaaaa? Itu semua ada dalam catatan harian gue.

[12:54] Dono: Kalau jabatan gue malas cari. Kalau ada yang percaya, gue bisa pegang jabatan, ya, gue jalankan amanahnya sebaik-baiknya.

[12:58] IJP: Nih nemu. 20 Febr 1993. Pembubaran DMTL di Puncak. Termasuk gue berenang sendiri di kolam yang dingin.

[12:59] Dono: Iya gue inget tuh. Hebat banget ya catatan lu.

[13:00] IJP: Gue kan gagap Don. Gue msh inget, Chandra M Hamzah negur gue: “Lu mending gak ngomong, Ndra. Gak jelas,” ktnya. Orang-orang bingung sekarang, kok gue hebat bener dalam bicara haha.

[13:41] Dono: Yang gak berubah, elu puitis terus, hahaha. Kata bini gue.

[13:50] IJP: Satu-satunya cara gue utk hilangin gagap, berpuisi, haha. Puisi gue mau gue terbitin.

[13:54] Dono: Terbitin!

[15:05] IJP: Perintah bini gue juga.

[15:11] Dono: uhuy.

Lalu, Dono mengajak yang lain. Ke suatu negara. Langsung saya hubungi Tim Asistensi Dutabesar di negara tersebut. Bertanya, kapan sebaiknya datang.

Sejak awal, satu yang saya pelajari dari Dono dan Lusi adalah kebiasaan mereka membawa kamera. Tentu, kamera yang bagus. Dan saya juga beli kamera saku, tentu tak ada tele, di Pasar Manggarai. Kamera itu yang ‘menyelamatkan’ saya dalam banyak hal. Saya cetak, saya tulis di belakang cetakan, kadang di depan, siapa saja yang ada di dalam frame. Semua pembelajaran sebagai seorang ilmuwan sejarah, sekaligus pengalaman lapangan, saya rangkai menjadi jembatan keledai.

Terima kasih, Dono. Saya senang Dono kalah sebagai Ketua Harian SMUI periode 1993-1994. Kenapa? Ketika saya juga kalah sebagai Ketua SMUI periode 1995-1996, setidaknya tidak ‘semenyakitkan’ waktu Dono kalah. Wajar saya kalah, berhubung mentor terbaik saya ini pun dikalahkan Bagus Hendraning, pejabat eselon dua di Kementerian Luar Negeri sekarang yang menjadi mentor saya berikutnya.

Saya sudah tak sabar menerbitkan buku kumpulan puisi. Lusi, dan istri saya, adalah manager pemasaran terbaik. Biar petualangan berdua Dono ke suatu negara nanti, baik dalam dokumentasi video dan foto, langsung juga saya bikin puisinya.

Baca juga: Buka Amplop Calon Menteri, Pak Prabowo!

*Sang Gerilyawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  32  =  37