Oleh: Dr. Nina Krisna Ramdhani
Channel9.id – Jakarta. Nama lengkapnya Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd. Orang yang mengenalnya memanggilnya Dr. DNK. Mengapa dipanggil DNK? Karena biasanya di setiap akhir tulisan Beliau, selalu disematkan inisial DNK.
Dr. DNK adalah teman dalam satu forum doktoral. Kami sama-sama alumni program S3 Manajemen Pendidikan di Universitas Pakuan Bogor.
Dr. DNK adalah salah seorang aktivis PGRI dan kini menjadi Dewan Pembina PGRI. Sikap kritisnya yang tajam kepada PGRI dapat dibaca pada banyak tulisannya. Namun, hal itu dilakukan semata karena kecintaannya pada PGRI. Pada beberapa percakapan, Saya sering mendengar kalimat yang diucapkan Dr. DNK dengan semangat berapi-api.
Bicaranya selalu terlihat bersemangat. Begitulah gaya bicaranya. “Saya adalah PGRI, dan PGRI adalah Saya. Saya itu guru, karena darah yang mengalir dalam tubuh saya itu darah guru. Saya menjadi guru sejak masih dalam kandungan. Karena Ibu saya guru, bapak, kakek, istri Saya semua guru”.
Karena kecintaannya yang besar terhadap guru dan PGRI sebagai wadah perjuangan guru, Dr. DNK yang juga sebagai Ketua DPP Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Kepala Sekolah Penggerak, Penyanyi, Politisi Pendidikan, Narasumber, Penulis Buku yang saat ini tinggi tumpukan karya bukunya menuju satu meter.
DNK seolah tidak pernah kehabisan energi untuk berbicara, menulis dan melakukan aksi nyata terkait pendidikan. Bahkan “resiko” menulis kritik pedas tentang PGRI berani beliau ambil. Seperti pada tulisannya yang berjudul “KLB PGRI dan Mosi Tak Percaya Pada PB PGRI”. Pada tulisan ini beliau menyoroti hadirnya dinamika organisasi PGRI Kabupaten Bandung. Dimana PGRI Kabupaten Bandung minta segera diadakan Konferensi Luar Biasa (KLB) pada PGRI Jawa Barat.
Desakan Konferensi Luar Biasa (KLB) diusung oleh para Ketua Cabang melalui Surat Nomer 5/Ket.Cabang/PGRI/XII/2021. Juga dinamika tanggal 15 November 2021 terkait aspirasi dari PGRI Riau pada PB PGRI yang menyatakan “PGRI Riau Mosi Tak Percaya Pada PB PGRI”. Kedua apirasi ini setidaknya menjadi gambaran adanya dinamika yang harus diselesaikan di internal PGRI.
Bagi DNK para pengurus PGRI wajib menjawab tuntutan alam perubahan dan aspirasi anggota. Apalagi di tubuh PGRI yang menarik iuran dari anggota.
Anggota adalah pemilik kedaulatan dan pembayar iuran. Terutama pengurus cabang dan ranting, merekalah PGRI sebenarnya. Karena dunia guru ada di ranting dan di cabang. Iuran pun ada di ranting dan di cabang.
Dr. DNK secara kritis juga menguliti seolah ada “tiga dosa besar di internal PGRI”. Pertama, Guru aktif seolah tidak boleh menjadi ketua atau pengurus di jenjang kepengurusan PGRI Kota/Kabupaten/Provinsi dan PB. Sampai saat ini tidak ada guru murni (SD/SMP/SMA/SMK) menjadi ketua PGRI di jenjang Kota/Kabupaten/Provinsi dan PB.
Harusnya guru mendominasi kepengurusan PGRI mulai dari PGRI Kabupaten/Kota, Provinsi dan PB PGRI. Faktanya tidak! Ini sangat mengkhwatirkan bagi masa depan PGRI. PGRI harusnya kolaboratif mulai dari guru pensiunan, guru aktif dan pendidik lainnya. Idealnya 60 persen guru aktif, 20 persen pensiunan guru dan 20 persen pendidik lainnya.
Kedua, “kekerasan modus”. Tidak sedikit oknum kepala daerah ikut terlibat bersama oknum birokrat pendidikan dalam suksesi PGRI. Padahal PGRI sebaiknya tidak dipolitisasi. Tidaklah heran sejumlah oknum kepala daerah dan birokrat pendidikan melakukan “kekerasan modus” atas nama kekuasaan.
Biasanya para kepala sekolah dikumpulkan dan dintervensi oleh seseorang. Seorang calon yang konon katanya pesanan oknum kepala daerah harus dipilih. Bila tidak maka jabatan kepala sekolah akan bermasalah. Ini diantara “kekerasan modus”. Ketua terpilih atas pesanan oknum kepala daerah atau oknum disdik kelak akan dimanfaatkan dalam Pilkada.
Ketiga “intoleransi” dalam tubuh PGRI masih ada spirit “intoleransi” pada barisan guru muda kritis. Bila ada anggota PGRI sangat kritis dan seolah berseberangan pandangan terkait perjuangan martabat guru bisa di depak. Satu “cacat sejarah” seorang guru murni yang jadi pengurus di level PB PGRI bernama Caca Danuwijaya diberhentikan sepihak tanpa komunikasi. Ini “intoleransi” pada guru murni kritis.
Dr. DNK menyatakan bahwa segala dinamika di internal PGRI harus dijadikan bahan asupan perbaikan organisasi. Terutama PB PGRI dimana tiap bulan ratusan juta uang anggota PGRI dari seluruh Indonesia mengalir.
Menurut Dr. DNK, Kedaulatan PGRI setidaknya ada dua. Pertama di Kongres yang nuansa politis non gurunya kental dan kedua di anggota yang naturalis di setiap ranting dan cabang. Suara anggota di bawah lebih murni dari suara kongres non guru.
“Saya Dewan Pembina PGRI, setiap hari bersama guru, bayar iuran dan pemilik PGRI bersama para guru anggota mendukung perubahan di tubuh PGRI. PGRI milik guru, harus dominan guru agar tidak dimanfaatkan non guru yang mempertahankan kehormatan dan cari nafkah di PGRI. PGRI sebaiknya diurus oleh guru berprestasi bukan non guru yang tak punya prestasi di tempat kerjanya,” ujarnya mengakhiri percakapan.
Sungguh Dr. DNK seorang pribadi yang berkarakter. Beliau tidak takut untuk berbeda. Beliau tidak pernah ambil pusing jika jalan pikiran dan jalan perjuangan yang diambil berbeda dengan orang lain. Selama pikiran dan perjuangannya dapat memberi manfaat khususnya bagi entitas guru, dan umumnya bagi dunia pendidikan.
Dr. DNK benar-benar DNA-nya guru banget!
Penulis adalah Praktisi Pendidikan