Opini

Dzikirnya Tukang Ayam

Oleh: Muhamad Yusuf Kosim

Channel9.id – Jakarta. Saya sering mengantar istri belanja ke pasar. Orang sekelas kami biasanya ke pasar tradisional yang becek. Baunya pun campur-campur: bau ikan, ayam, daging, sayuran, dan para pedagang yang sudah bergelut di pasar sejak tengah malam. Termasuk bau badan kami. Komplit jadi satu.

Di pasar itu ada langganan kami, PP ayam. Dia menjual ayam yang baru dipotong. Ada persediaan ayam hidupnya juga.

Pertama kali beli ayam di tempatnya, saya berniat untuk memotong sendiri. Untuk jaga-jaga. Khawatir juga kalau ayam asal potong, tanpa baca bismillah.

Baca juga: Satu Abad NU: Ruh NU Ada di Tasawuf, Tarekat dan Wirid

Baca juga: Banyak Manfaat, Amankah Makan Ayam Setiap Hari ?

Tukang ayam itu pun mempersilahkan saya untuk memotong sendiri. Namun sebelum memotong ayam, saya bertanya: apakah dia setiap memotong ayam membaca bismillah? Dia menjawab setiap memotong ayam diawali membaca bismillah.

Dalam sehari, jika dalam kondisi ramai, dia bisa memotong hingga seribu ayam. Bisa dibayangkan dia membaca seribu kali bismillah. Seribu kali per hari.

Mungkin dia membaca bismillah hanya untuk memenuhi syariat agama untuk kehalalan ayam potongnya. Dia tidak berpikir bahwa bismillah yang dibacanya adalah bagian dzikir.

Kita sering menganggap pasar adalah tempat kotor, penuh kehinaan karena tipu-tipu pedagangnya yang mengurangi timbangan, barang jelek dibilang bagus, atau mengaku harganya adalah harga beli untuk menunjukkan murahnya barang dagangannya.

Di balik itu, pasar banyak kemuliaan. Pedagang yang memberikan bonus ke pembeli, walaupun hanya berupa tomat satu buah. Ada juga pedagang menggenapkan jumlah harga beli, misal dari Rp 21.000 cukup dibayar Rp 20.000, tanpa diminta untuk dikurangi oleh pembeli.

Begitu juga kemuliaan dari tukang ayam yang membaca seribu kali bismillah, tanpa berpikir bahwa itu adalah dzikir yang memiliki pahala sekian, akan mendapatkan balasan di akhirat sekian.

Kemuliaan ada dimana-mana. Bukan hanya di masjid-masjid, majlis taklim, atau tempat yang dianggap tempat ritus suci. Kemuliaan itu bisa dimana saja, termasuk di pasar.

Bisa jadi tukang ayam di pasar itu lebih banyak berdzikir dibandingkan kita atau orang-orang yang biasa ke masjid. Bisa jadi pedagang-pedagang yang murah hati itu lebih mulia dari kita. Bisa jadi mereka lebih ikhlas hidupnya.

Kita sering menganggap diri kita adalah kemuliaan, karena banyaknya ibadah kita, banyaknya amal kita, dan banyaknya kesalehan-kesalehan lain yang kita lakukan. Padahal menganggap diri sebagai kemuliaan adalah kehinaan itu sendiri.

Dan ketika mengetahui tukang ayam itu memotongnya membaca bismillah, saya mengurungkan untuk memotongnya sendiri. Saya merasa malu dengan tukang ayam itu. Dia lebih mulia… !

Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  2  =