Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Dominasi perspektif yang menjalari kepala-kepala warga negara Indonesia berlangsung dengan amat meriah. Masyarakat sekonyong tersedak atas cangkokan atau ‘sosialisasi’ isu ini dan itu. Betapapun tak menjadi bagian apa-apa dari masyarakat, ia hadir bagai tak tertahan.
Ini bukan soal ekonomi semisal anak yang kekurangan gizi atau warga yang makan nasi tiwul lantaran tak mampu beli beras. Atau duka lara para tenaga kerja wanita kita yang harus menyabung nyawa di negeri orang yang banyak menjadi ‘hamba sahaya’ dan tak jarang menjadi korban “pemujaan” atas nama teks langit dan ini yang begitu mudah dilupakan. Lalu apa pasal?
Ya, cobalah tengok, masyarakat dibuat asyik dan sibuk memelototi berita-berita yang menampang hampir setiap hari di berbagai media sosial, yang kerapkali gegarnya seakan melebihi kepentingan nasional. Seolah seperti skandal asmara berbaur seks selebritas papan atas telah menenggelamkan berita-berita politik, budaya, dan ekonomi yang tak kalah panasnya tengah menggedor jantung kehidupan bangsa ini. Masyarakat akan mudah terkesiap oleh hipnosa kaum selebritas, bahkan hanya soal seorang selebritas ganti pacar. Deretan para crazy rich yang menayang jumawa dengan segala pernik kemewahan dan lalu membobok cara pikir masyarakat. Apatah kata, publik bangsa ini memang mudah ‘tersengat’ oleh kisah-kisah hiperrealitas yang yang serba bombastis dibanding kisah-kisah yang mencerahkan.
Baca juga: Beragama Feat Berkesenian
Sementara, kisah-kisah anak bangsa yang berhasil mengukir prestasi dan dedikasi dalam logika pasar publik yang semacam ini, laksana kapas yang mudah diterbangkan dan disaput habis oleh terjangan angin betapapun hanya sepoi-sepoi. Sebut saja, kisah para jawara olimpiade fisika yang sukses menangguk prestasi di arena internasional. Atau kisah Tri Mumpuni yang dengan dedikasinya tak kurang dari enam puluh lokasi terpencil yang sebelumnya gelap gulita menjadi terang benderang dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Dan tidak sedikit lahir para inovator anak bangsa yang melahirkan karya baru dan bermanfaat bagi masyarakat. Atau cerita para pegiat literasi yang tersuntuk-suntuk memberikan pencerahan bagi masyarakat. Atau pula kisah-kisah mereka yang menyuntuki kebudayaan dalam sebuah gerakan sunyi demi menguak tabir hegemoni ‘kolonialisasi’. Kisah-kisah ini dipandang kurang seksi, karenanya tak perlu diplototi dengan serius dan penuh bangga.
Ada apa dengan bangsa ini? Globalisasikah yang membuat bangsa ini justru tak berdaya? Kita tampak tiarap dibanding China dan India yang, mengutip Yoseph Stiglitz, menjadi contoh negara yang sukses ‘memperdayai’ globalisasi sehingga kedua negara tersebut mampu menggenjot ekonominya dan mengelola kebudayaannya.
Kita kerap menggemborkan bahwa negeri kita kaya dengan kemajemukan budaya. Tapi, coba kita pelototi, dalam berbagai iklan yang setiap hari tayang di berbagai media terutama media digital, misalnya, apa yang disebut cantik itu adalah orang yang berambut lurus, bertubuh langsing, dan berkulit putih sekalipun harus ‘merombak’ penampilannya. Padahal, kita sungguh penuh dengan ragam konsep kecantikan yang berasal dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Akibat dari penyeragaman dan komodifikasi, banyak konsep kecantikan yang multikultural menjadi terpelanting dan bahkan hanya menjadi tayangan “primitif”. Inilah yang oleh Theodore Adorno, filosof Jerman, disebut sebagai cerita hidup dalam masyarakat kapitalis dimana produksi dan konsumsi budaya sudah ‘terstandarisasi’.
Nah, dalam situasi seperti ini jadinya masuk akal bila sosok selebritas yang berkriteria ‘global’ dan ‘terstandarisasi’ menjadi ‘idol’ yang tak habis-habisnya dipuja. Sebuah gaya hidup yang amat dengan mudahnya menghinggapi gempita jiwa anak muda. Jika kemudian mereka tersandung kasus, maka publik (seolah) akan mudah dibuat ikut kelabakan.
Fetisisme Komoditi
Dalam budaya populer, menurut Dominic Strinati dalam bukunya Popular Culture: An Introduction, (1995), masyarakat dipicu untuk ‘mengingkari’ upaya berpikir rasional dan menciptakan respon-respon sentimental mereka sendiri. Mereka digiring untuk melawan ‘rangsangan intelektual’ dan dijadikan sebagai sasaran empuk konsumerisme, iklan, impian, dan fantasi yang laku dijual.
Media-media yang menjadi corong budaya populer terlebih di era ‘erupsi digital’ ini, adalah penyalur yang sempurna bagi pelampiasan hasrat konsumerisme dan fetisisme. Fetisisme adalah praktik pemujaan yang membuat nilai substansial dari sesuatu menjadi hilang hingga yang terjadi kemudian adalah nilai tukar semata. Terlebih lagi, karena masyarakat kita masih terbiasa dengan budaya lisan, maka menonton selebritas tampil di televisi, menjadi kenikmatan yang tak tertandingi. Kita memuja idola-idola lebih dari diri kita sendiri.
Dalam fetisisme komoditi, menurut Adorno di bukunya Dialectics of Enlightement (1944), azas manfaat dari sifat memuja diambilalih oleh azas pertukaran. Para pemuja telah ‘dipaksa’ berpartisipasi aktif dalam produk budaya massa tersebut dengan berpacu sesering mungkin untuk terus menekuri pujaannya itu. Sebagai balasannya, mereka akan mendapatkan kepuasan dan kebanggaan.
Namun, secara tak sadar, pada saat itulah mereka hanya mengalami euforia semu dan kesadaran palsu. Konsumen “dijebak” dan “dikurung” dalam lingkaran pemujaan sehingga mereka menjadi pasif, lemah, dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi. Kita menjadi “mati suri” dalam pemujaan semu. Manfaat tak lagi bisa mendapat tempat pada masyarakat yang telah diracuni oleh sifat fetis. Menurut Adorno, inilah “rahasia sejati” keberhasilan konspirasi kapitalisme lewat budaya populer.
Kita menjadi korban fetisisme komoditi manakala relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektifikasi melalui pemujaan. Komoditas budaya ini, karena melahirkan suatu hubungan “langsung” dengan apa yang kita pertukarkan, lanjut Adorno, membuat asas manfaat diambilalih secara licik oleh asas pertukaran sedemikian rupa. Alhasil, ia bisa menyamarkan dirinya sebagai objek “kenikmatan”.
Darurat Identitas
Sejak pandemi covid 19 yang barusan mungkin telah beralih menjadi endemi, tampaknya bangsa ini masih dirundung masalah. Dan masalah yang paling berat adalah krisis identitas dan kemanusiaan. Anak-anak muda lebih ”mendewakan” mereka kaum selebritis dalam berbagai wujud daripada seniman lokal yang serius atau jenius-jenius di bidang lainnya.
Krisis identitas inilah yang kemudian membutakan mata hati kita untuk dapat melihat kebenaran dan keadilan. Identitas yang tak jelas membuat kebenaran dilihat secara abu-abu; tak lagi jelas kebenarannya. Kebenaran menjadi sesuatu yang abstrak. Demikian pula dengan keadilan yang dimaknai tunggal sebagai keadilan individu. Keadilan untuk masyarakat banyak hanyalah mimpi di siang bolong. Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini atas nama flexing mereka yang berpunya harta ataupun popularitas berlomba memamerkan ‘kedermawanan’ atau pun ‘kemaharajaannya’. Yang terjadi kemudian, semua berebut simpati dan berdebat mengenai kebenaran dan keadilan.
Popularitas dapat diibaratkan lampu kilat kamera yang tiba-tiba menyilaukan tetapi lenyap seketika. Popularitas adalah produk budaya instan yang mengagungkan pesona lahir yang bersifat sesaat dan mengabaikan keluhuran akal budi yang bersifat kekal. Karena itu, popularitas belum tentu berurusan dengan rekam jejak, moralitas, atau mutu komitmen seseorang bagi perbaikan kehidupan kolektif.
Budaya pop telah memasuki segala hal dalam kehidupan kita, mengonsep pemikiran dan laku budaya masa kini. Termasuk pula mengonsep spiritualitas dan religiusitas kita. Mengorupsinya, lantas memberinya corak ideologi fetisisme ketika slogan yang berlaku adalah create your own, create your own market, create your own fashion.
Tak pelak, dalam dunia digital yang berputar cepat dengan hybrid, sangat sulit untuk membedakan yang maya dari yang nyata, fakta dari fiksi, kebenaran versus versi yang direkayasa, atau siapa yang harus dipercayai dan yang tidak bisa dipercaya. Inilah dunia post truth yang membuat ‘mata kabur’ menatapi realitas sejati. Manakala slogan yang berlaku adalah create your own reality, pada akhirnya orang jadi sulit membedakan mana versi yang direkayasa untuk memuaskan keinginan diri sendiri. Esensi dan simbol saling dipertukarkan secara bebas.
Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)