Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Hukum selama berabad-abad menduduki posisi yang amat penting dalam peradaban dan struktur dunia Islam, karena peradaban Islam secara unik didasarkan atas agama, dan agama Islam selalu memberikan tempat utama terhadap hukum. Oleh karena itu, kekayaan ajaran dan pemikiran hukum merupakan salah satu warisan peradaban Islam yang amat tipikal bagi umat Islam.
Hukum Islam (Islamic Law), seperti dicatat oleh Joseph Schacht (dalam Gustave Van Grunebaum,:1983) adalah ikhtisar pemikiran Islam dan manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim. Ia merupakan inti dan saripati Islam bagi umat Islam sepanjang masa, di mana hukum Islam akan selalu mempunyai nilai praktis yang lebih besar dari hanya sekedar dogma. Menyadari betapa penting eksistensi hukum Islam bagi umatnya, Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak mungkin memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.
Negara Hukum Cum Negara Beragama
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, pembangunan hukum nasional diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru yang dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Hal ini agar supaya hukum dapat berperan dalam pembangunan nasional, maka hukum harus memenuhi lima kualitas, yaitu kepastian, stabilitas, keadilan yang ditunjang oleh pendidikan dan kemampuan sumberdaya manusia dibidang hukum.
Baca juga: Infrastruktur dan Peradaban
Disamping sebagai negara hukum, Indonesia juga merupakan negara beragama. Di Indonesia, Islam merupakan salah satu agama yang banyak pemeluknya. Dalam pandangan Islam, agama dan hukum merupakan satu kesatuan, hukum dipahami sebagai turunan norma dari ajaran agama. Di dalam al-Quran sendiri, norma hukum itu secara konkret diatur, begitu juga halnya dalam sunnah/hadits. Pemahaman terhadap norma hukum yang secara konkret diatur dalam al-Quran dan sunnah/hadis sering disebut dengan fikih.
Masalah kedudukan agama dalam pemikiran hukum nasional antara lain dapat ditelusuri pada kenyataan adanya Pancasila dimana sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa merupakan prima causa-nya, dan pada adanya tradisi pengundang-undangan di Indonesia dengan kata pembukaan undang-undang Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, dalam setiap putusan hakim terdapat pula kata pembuka yang berbunyi Atas Dasar Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhan-an yang Maha Esa..
Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan hukum bangsa Indonesia sebenarnya sangat religius. Apabila pernyataan-pernyataan itu didalami konteks dan maknanya, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pandangan hukum bangsa Indonesia secara ideal bertitik tolak dari pandangan akan ketuhanan Yang Maha Esa itu yang merupakan prima causa dari Pancasila.
Salah satu dari produk pemikiran hukum Islam atau fikih ijtihadiy dalam konteks Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kehadiran KHI dalam tata hukum nasional melalui instrumen hukum Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, tak diragukan lagi merupakan salah satu tonggak penting bagi berperannya hukum Islam sebagai salah satu sumber penting hukum nasional. Posisi hukum Islam menjadi lebih tegas dengan adanya beberapa produk perundang-undangan dan kebijakan hukum Pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa upaya transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional pada masa-masa mendatang bisa mengambil model kompilasi ini. Berbagai matra hukum yang belum diakomodasi dalam KHI dapat dikaji dan diformulasikan ke dalam bentuk kompilasi sejenis. Untuk tujuan ini, perlu dilakukan pengkajian awal mengenai nash-nash dan dalil-dalil syariy yang menjadi sumber dan dasar pertimbangan hukum bagi seluruh matra hukum, baik menyangkut civil law maupun public law, dan baik hukum materiil maupun hukum formiil.
Kedudukan hukum Islam akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, hukum Islam sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum, yaitu sistem hukum Barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Dari ketiga sistem hukum di atas, secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah tampaknya ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum Barat atau kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukum Islam.(Bustanul Arifin, 1999).
Dalam banyak fakta, dimanapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara akan selalu terasa. Konsititusi India misalnya tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar.
Dalam rangka mengakomodasi berbagai kepentingan dan kemajemukan tatanan hukum, pemerintah memang telah menunjukkan political will. Karena itu, telah bermunculan produk UU yang mengakomodir hukum Islam, bahkan menjadi bahan baku pembentukan hukum nasional. Ini menunjukkan adanya transformasi hukum Islam ke dalam perundang-undangan nasional. Menurut Prof. Dr H. Muchsin SH (2005), baik tersurat maupun tersirat, banyak asas-asas hukum Islam yang terserap dalam hukum nasional. Suatu kenyataan yang akan memberikan prospek ke depan lebih baik dimana hukum Islam akan menjadi inspirasi utama dalam pembangunan hukum nasional.
Terdapat beberapa ahli hukum yang sudah memberikan pemikirannya tentang sistem hukum Indonesia yang berdimensi Ketuhanan. Qodri Azizy dalam bukunya Eklektisisme Hukum Nasional (2002) menawarkan konsep eklektisisme hukum nasional. Eklektisisme diartikan sebagai suatu sistem (agama atau filsafat) yang dibentuk dengan secara kritis memilih dari pelbagai sumber dan doktrin. Membentuk hukum nasional dengan secara kritis memilih unsur-unsur dari doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Qodri Azizy menolak adanya dikotomi hukum, yakni antara hukum Islam dengan hukum positif. Inti yang dikemukakan oleh Qodri Azizy adalah bahwa hukum Islam dapat menjadi hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif, namun juga akademik dan analisis. Hukum Islam yang mempunyai janji untuk menegakkan dan mewujudkan kemaslahatan umat semestinya harus mampu mengisi hukum nasional. Qodri Azizy memperingatkan dengan mempertegas konsepsi hukum Islam itu sendiri untuk menghindari kesalahfahaman atas apa yang dimaksud.
Sebelumnya, terdapat Prof. Hasby Ash-Shideqy yang menggagas Fikih Indonesia, Prof. Hazairin menggagas Madzhab Hukum Nasional, K.H. Ali Yafie menggagas Fikih Sosial, dan Prof. Bustanul Arifin dengan konsep pelembagaan hukum Islam di Indonesia. Pemikiran mereka dapat dikatakan sebagai embrio pembangunan sistem hukum Indonesia yang lebih menekankan pada inklusifitas dan meninggalkan eksklusifitas hukum Islam. Mereka tidak menghendaki pengkotak-kotakan hukum, bahkan untuk hukum Islam sendiri.
Menggali dari Kitab Kuning
Secara khusus disadari bahwa hukum Islam dengan pranata fikihnya dapat menjelma dan beradaptasi dalam wujudnya yang berbeda pada suatu saat dan pada masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Adapun responsibilitas dan adaptabilitas hukum Islam ini telah dibuktikan, misalnya dalam hukum waris dan hukum perkawinan.
Jika hukum berusaha mengangkat kebutuhan normatif masyarakat ke dalam sistem formal, maka dapat berarti teori bukum memberi peluang terambilnya kebutuhan yang sama dari ajaran agama Islam, karena ia bukan saja memiliki konsep teoritis tetapi juga lebih dari sebuah sejarah hukum. Dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ditemukan bukti bahwa teori hukum telah membenarkan peracikan suatu substansi hukum dengan ragam baku hukum seperti juga yang dipegangi instrumen pada tiap aktivitas pembentukan hukum (Abdul Gani Abdullah SH, 1994).
Nah, dari beberapa penjelasan para pakar hukum di atas, sesungguhnya bisa sebagai hujjah bahwa hukum Islam bukanlah sesuatu yang aneh atau sumir dalam proses kesejarahan pembangunan hukum di negeri kita. Karenanya, pengkajian terhadap hukum Islam sangat diperlukan dalam konteks kekinian, lagian negara kita tengah membangun di segala bidang yang tentu saja sangat memerlukan piranti penopang dari berbagai sumber hukum yang berasal dari keagamaan. Islam jelas memiliki seperangkat metodologi hukum maupun produk hukum sebagaimana telah dihasilkan dari pemikiran ijtihadi para ahli hukum Islam baik masa klasik maupun kontemporer. Semua ini bisa menjadi modal kapital dalam pembangunan hukum sekaligus dalam rangka penegakan hukum di negeri kita yang selama ini dipandang masih sempoyongan.
Walhasil, perlu terus menurus dikalangan ahli hukum Islam khususnya untuk menyingkap dan menganalisis berbagai asas dan metode hukum Islam yang bisa digali dari berbagai kitab kuning yang menjadi ciri pengkajian di pesantren pada umumnya. Tujuannya juga untuk memerikannya sehingga menjadi sebuah teori hukum Islam. Tentu hal ini sangat bermanfaat bagi bangsa kita sehingga bisa dijadikan sebagai input bagi reformulasi hukum nasional. Ikhtiar ini juga dalam rangka mewujudkan kemashlahatan publik yang sesungguhnya menjadi tujuan ideal syariat Islam (maqashid al-syariah). Dengan begitu, ikhtiar ini akan berpotensi bahkan menjadi energi untuk mencairkan kebekuan dan eksklusifitas pemikiran keislaman yang saat ini tampak terpolarisasi dan bahkan dominan pada fakta kian menguatnya pemahaman puritan dan ekstrem .
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)