Channel9.id – Jakarta. FEM Station IPB University kembali menggelar dialog interaktif pada Jumat 20 Agustus 2021 malam. Tema yang diangkat kali ini yakni ‘Keuangan Daerah, Antara Penanganan Pandemi dan Pemulihan Ekonomi’.
Dipandu Hardy Hermawan M.Si, FEM Station mengundang Guru Besar Ilmu Ekonomi FEM IPB University Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Dr. Mochamad Ardian Noervianto, M.Si.
Bambang Juanda menyampaikan, pemda selama ini memiliki ketergantungan yang besar terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan itu membuat pemda tidak mandiri dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Ketergantungan pemda terhadap dana transfer dari pusat memang sudah menurun selama 20 tahun ini. Dari 2001 itu dulu rata-rata 87 persen tergantung pada dana transfer pusat. Setelah 20 tahun menurun, tapi masih tinggi 67 persen. Artinya masih tergantung ya,” ujar Bambang.
Bambang menjelaskan, selama 20 tahun ini, satu pertiga dana APBN ditransfer ke pemerintah daerah yang masuk melalui APBD. Dan juga, satu pertiga dari dana ABPN digunakan untuk belanja pusat di daerah. Artinya, total ada dua pertiga dana APBN yang sudah dibelanjakan untuk daerah.
“Sepertiganya dikelola daerah, sepertiganya dikelola pusat tapi dibelanjakan ke daerah. Sehingga pembangunan di Indonesia itu sebetulnya sudah harus bergantung ke daerah. Jadi maju atau tidaknya Indonesia ditentukan dalam otonomi daerah,” kata Bambang.
Namun, memasuki awal pandemi, beberapa dana daerah di-earmark oleh pemerintah pusat. Kemenkeu membuat kebijakan supaya Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan selain pendidikan dan kesehatan, direalokasikan ke penanganan pandemi Covid-19. Minimal sebesar 5 persen Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Intensif Daerah di-earmark untuk penanganan pandemi Covid-19.
“Sedangkan, untuk tahun 2021, sekitar 8 persen dana transfer umum untuk penanganan pandemi itu. Jadi, dana transfer umum, dana desa, dana insentif daerah, biaya operasional kesehatan totalnya ada sekitar 50 triliun untuk penanganan covid. Sedangkan untuk di-earmark ke pemulihan ekonomi daerah itu setengahnya sekitar 25 triliun,” ujarnya.
Karena itu, pemda yang sebelum pandemi sangat tergantung dengan dana transfer dari pemerintah pusat mengalami goncangan. Sebelum pandemi, satu pertiga dana APBN dialokasikan untuk pemerintah desa. Saat pandemi, satu pertiga dana itu turun sekitar 28 persen yang ditransfer ke daerah.
“Jadi pasti karena ketergantungan itu, serapan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah rendah,” ujarnya.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Dr. Mochamad Ardian Noervianto, M.Si. membenarkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat yang membuat realiasasi belanja pemerintah daerah rendah.
Dari kaca mata postur APBD, secara agregat, sekitar 70 persen tergantung dari dana transfer. Pemerintah kab/kota sekitar 80 persen dan provinsi sekitar 51 persen tergantung kepada dana transfer dari pemerintah pusat.
Menurut Ardian, ketergantungan itu karena pemda memiliki banyak tekanan-tekanan selama pandemi Covid-19. Dalam artian, banyak koreksi terhadap jumlah alokasi yang seharusnya di APBD diterima sekian tiba-tiba harus disesuaikan.
“Jadi ruang gerak daerah tentunya akan semakin terbatas, di sisi lain, dari kacamata Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemda juga tertekan baik dari pajak maupun retribusi,” ujarnya.
Selain itu, menurut Ardian, rendahnya serapan belanja pemerintah daerah tidak lepas dari rasa optimis pemda saat penyusunan APBD 2021. Ketika menyusun, pemda optimis pandemi Covid-19 akan membaik dan bisa dikendalikan sehingga sektor-sektor penopang pendapatan bisa balik kembali.
“Tapi fakta berkata lain, Mei Juni sudah ada varian baru sehingga sangat berdampak pada pendapatan. Akibatnya mau tidak mau, belanjanya makin tertekan,” katanya.
Dalam situasi itu, Kemendagri mencoba adil dengan tidak membandingkan angka penyusunan APBD 2021 dengan angka sekarang. Jika dibandingkan dengan pendapatan itu, maka akan rendah realiasi atas belanjanya.
“Jadi begitu kita bandingkan, memang dari kacamata belanja dibanding APBD itu kecil, rata rata sampai 13 Agustus 2021 sebesar 38,13 persen itu belanja,” kata Ardian.
“Tapi kalau kita bandingkan antara belanja dengan pendapatan, rata-rata 88,88 persen. Sebenernya tinggi. Jadi kalau kita mau adil, kemampuan belanja daerah harus dilihat dulu kemampuan pendapatannya seperti apa. Kalau kita bandingkan saat menyusun APBD 2021 pasti kecil,” ujarnya.
Ardian menyampaikan, biasanya angka-angka yang kecil itu akan mulai disesuaikan saat pemda menyusun APBD perubahan di mana lebih realistis dan akan dikembalikan kepada posisi yang mendekati angka ideal.
“Kendati begitu, Kemendagri berharap, pemda bisa menggenjot belanja, kalau tadi 88 persen berarti masih ada sekitar 12 persen yang bisa dibelanjakan. Itu yang kami dorong. Harapan kami APBD bisa menjadi stimulus, salah satu instumen supaya angka pertumbuhan ekonomi di kuartal 3 tetap dalam kondisi positif,” katanya.
HY