Channel9.id – Jakarta. Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus menyatakan keberatan atas rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia menilai langkah tersebut tidak mempertimbangkan rekam jejak Orde Baru (Orba) terhadap warga dan ulama NU.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, dikutip dari NU Online, Rabu (5/11/2025).
Ia mengatakan banyak ulama pesantren dan warga NU mengalami perlakuan tidak adil selama masa pemerintahan Soeharto. Menurutnya, berbagai kasus yang menimpa kiai dan tokoh NU menunjukkan tekanan kuat pada masa itu.
“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” cerita Gus Mus.
“Kiai Sahal Mahfudh itu didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah diminta jadi penasehat Golkar Jawa Tengah. Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” tambahnya.
Gus Mus menjelaskan bahwa banyak ulama dan pejuang bangsa memiliki jasa besar, tetapi keluarganya tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan. Ia menyebut hal ini dilakukan untuk menjaga keikhlasan amal kebaikan para tokoh tersebut.
“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Rais Aam PBNU 2014-2015 itu.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin itu menilai bahwa warga NU yang mendukung gelar pahlawan bagi Soeharto kurang memahami sejarah. Ia menegaskan bahwa banyak peristiwa kelam di masa Orde Baru menimpa ulama dan santri.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegas kiai yang menamatkan studinya di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta itu.
Gus Mus mengingat berbagai tragedi yang dialami warga NU pada masa Orde Baru. Salah satunya adalah peristiwa di Losarang, Indramayu, yang terjadi saat Pemilu 1971 dan menimpa basis Partai NU.
Ensiklopedia NU mencatat peristiwa itu berdasarkan laporan Panda Nababan untuk Harian Sinar Harapan. Ia bersama KH Yusuf Hasyim dan Zamroni melihat langsung kondisi pascateror yang dialami warga NU.
“Mereka menyaksikan masjid dibakar atau rumah-rumah dihancurkan. Nababan mengatakan warga NU Losarang meninggalkan tiba-tiba rumahnya, karena dirinya menyaksikan di atas meja makan masih ada piring-piring dan cangkir beserta makanan yang membusuk,” demikian termaktub dalam Ensiklopedia NU.
Laporan Panda rencananya diturunkan secara berseri, namun upaya itu berhenti karena dihentikan militer. Ia dibawa ke Markas Intelijen Hankam setelah sebelumnya diciduk Kodim Indramayu.
Selain tragedi Losarang, terdapat pula kasus pembunuhan Kiai Hasan Basri di Brebes pada 1977. Kronologi kejadian yang dicatat Harian Pelita menunjukkan adanya kekerasan sebelum sang kiai meninggal.
“Pemuatan kronologi ini bertujuan menolak pernyataan pemerintah bahwa Kiai Hasan Basri tewas menjatuhkan diri ke sumur. Berita ini disandingkan di bawah foto Soeharto yang sedang duduk, sambil senyam-senyum, saat berbicara dengan Duta Besar Brasil, Leonardo Elulio, yang pamitan dari Indonesia,” demikian tercatat dalam artikel NU Online berjudul Tragedi Pemilu 1977.
Peristiwa kekerasan lainnya terjadi menjelang Pemilu 1977 di Asembagus, Situbondo, dengan pembakaran 140 rumah. Situasi serupa juga terasa dalam Muktamar Ke-29 NU di Cipasung pada 1994 yang diwarnai upaya kooptasi terhadap NU.
Choirul Anam dalam buku Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar (2010) mencatat dukungan terhadap Abu Hasan meningkat karena pembagian bantuan kepada kiai dan pesantren. Ia meraih 142 suara, meski kalah dari Gus Dur, dan tetap menggugat hasil tersebut.
Ketegangan antara NU dan pemerintah juga terjadi pada 1996 ketika Menristek BJ Habibie meminta Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU. Permintaan itu disebut dilakukan dengan alasan menjaga hubungan antara NU dan pemerintah.
“Oh… ya, benar. Kalau Anda ingin lebih jelas, tanya saja Pak Tjip (maksudnya Soetjipto Wirosardjono). Kebetulan hari itu dia ikut saya ke DPR. Kalian bisa langsung nanya dia,” kata Habibie sebagaimana dikutip Anam dari Jawa Pos edisi 31 Januari 1996.
Soetjipto menyatakan permintaan itu dilakukan demi kepentingan NU. Namun, penjelasan itu langsung disela oleh Habibie saat ditanya mengenai maksud kalimat tersebut.
“Anda bisa membayangkan sendiri bahwa saat ini betapa sulitnya komunikasi antara NU dan pemerintah,” katanya yang langsung disela Habibie.
Meski disebut tidak ada kaitannya dengan Abu Hasan, Konbes KPPNU yang diusung kelompok tandingan kemudian berubah menjadi Muktamar Luar Biasa. Hal itu terjadi setelah Gus Dur menyampaikan bahwa ia dapat mundur melalui mekanisme tersebut.
Baca juga: Pimpinan PBNU Dukung Soeharto dan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional
HT





