Nasional

GUSDURian: Aisha Wedding Dilatari Pemahaman Agama yang Sempit

Channel9.id – Jakarta. Aisha Weddings tengah menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Sebab, jasa pernikahan itu mempromosikan kawin siri, menikah pada usia muda, dan poligami. Ironisnya, mereka menawarkan promosi itu dengan mengatasnamakan ajaran agama.

Koordinator Jaringan GUSDURian Indonesia Alissa Wahid menilai, peristiwa itu merupakan puncak gunung es yang di belakangnya telah dilatari oleh semakin menguatnya pemahaman keagamaan yang sempit sekaligus dibiarkannya praktik-praktik ultra konservatif dalam beragama yang justru merugikan dan jauh dari tujuan-tujuan agama.

“Hal itu ditambah dengan budaya patriarki yang masih sangat kuat, rendahnya pendidikan, kemudahan mekanisme nikah tak tercatat, dan tingginya tingkat kemiskinan,” kata Alissa berdasarkan rilis, Yogyakarta, Jumat 12 Februari 2021.

Alisa menegaskan, kampanye pernikahan dini bertentangan dengan undang-undang karena Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002 dan UU No.35 Tahun 2014) dan UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 dan UU No.16 Tahun 2019).

Kampanye pernikahan dini tersebut juga bertentangan serta mengingkari tujuan agama yakni terciptanya kemaslahatan bersama, termasuk kemaslahatan keluarga dan anak.

Alissa menegaskan, salah satu prinsip gagasan Pribumisasi Islam yang diusung oleh Gus Dur bahwa muara dari praktik keagamaan adalah kemaslahatan.

“Tujuan kemaslahatan ini berpijak pada lima prinsip (ad-dhoruriyatul khamsah): hifz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-dien (menjaga agama), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifdz al- maal (menjaga harta),” katanya.

Alissa menyampaikan, menurut Gus Dur, prinsip menjaga keturunan (hifz nasl) tersebut artinya adalah bahwa kita harus menjaga kesehatan reproduksi perempuan dan anak, termasuk dalam hal ini adalah menentukan usia nikah yang tepat, menjaga jarak kelahiran, serta memperhatikan kesejahteraan anak seperti pemenuhan gizi, tumbuh kembang yang baik,  pendidikan, dan lain sebagainya.

“Perkawinan anak juga telah melanggar prinsip hifdz al-‘aql (menjaga akal) yakni hak anak untuk memperoleh pendidikan dan hifd nafs (menjaga jiwa) terkait tingginya angka kematian ibu yang diakibatkan oleh terlalu dininya seorang perempuan menikah,” kata Alissa.

Di samping itu, perkawinan anak berisiko menimbulkan persoalan di tingkat keluarga seperti kemiskinan, konflik, kekerasan dalam keluarga dan, kehancuran keluarga sehingga tidak akan terwujud kemaslahatan sakinah mawaddah rahmah bagi setiap orang dalam keluarga.

“Pada akhirnya hal itu akan berujung pada timbulnya berbagai persoalan di tingkat negara dan bangsa seperti Indeks Pembangunan Manusia yang rendah, kualitas warga yang rendah, problem kesehatan masyarakat, angka kematian Ibu dan Bayi, stunting, tingkat pendidikan terutama perempuan, kemiskinan,” kata Alissa.

Karena itu, GUSDURian nendukung sepenuhnya langkah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk melakukan tindakan tegas kepada semua pihak yang mengampanyekan atau menganjurkan pernikahan anak.

“Mendukung Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk menegakkan UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002 dan UU No.35 Tahun 2014) dan UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 dan UU No.16 Tahun 2019,” ujarnya.

Serta mendorong Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk terus melakukan upaya pencegahan perkawinan anak di seluruh tanah air.

“Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan untuk terus memperjuangkan perlindungan anak demi terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,” pungkasnya.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  37  =  42