Channel9.id – Jakarta. Kemendikbud mengangkat tema Hardiknas 2021, ‘Serentak Bergerak, Mewujudkan Merdeka Belajar’. Namun, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, dua frasa dalam kalimat itu justru mengandung kontradiksi di dalamnya.
Pada frasa serentak bergerak, Kemendikbud kenyataannya minim dalam melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan dalam mendesain kebijakan pendidikan nasional.
Dalam catatan P2G ada 7 kasus yang menunjukan hal itu, yakni; 1) Program Organisasi Penggerak yang menyebabkan PGRI, NU, Muhammadiyah undur diri; 2) Merdeka Belajar yang menduplikasi hak merek dagang PT Sekolah Cikal; 3) Hilangnya pelajaran Sejarah dalam rencana penyederhanaan kurikulum; 4) Proses penyederhanaan kurikulum yang hingga kini tertutup, tidak transparan, serta tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Didominasi oleh lingkaran jaringan lembaga think tank Mendikbud. 5) Tidak adanya frasa “Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan; 6) Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan 7) Kamus Sejarah Kemendikbud yang tidak memasukkan beberapa tokoh nasional dalam lema (entri), seperti nama KH. Hasyim Asyari, AH. Nasution, Abdurrahman Wahid, bahkan selevel Sukarno dan Hatta.
Terkait kasus PP No. 57/2021 tentang SNP yang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib, menurut Pasal 35 Ayat 3 UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi mata kuliah tersebut wajib.
“Tentu kebijakan ini berpotensi melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional dan nyata-nyata kontradiktif dengan semangat ‘serentak bergerak’. Begitu cerobohnya Kemendikbud membuat PP sehingga menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia, serta tak melibatkan lembaga-lembaga terkait yang keberadaannya berdasarkan UU. P2G mendesak Kemendikbud mencabut PP No. 57 Tahun 2021 tentang SNP tersebut yang hingga hari ini masih berlaku, karena revisinya pun belum ada diundangkan,” ucap Koornas P2G Satriwan Salim dalam rilis resmi, Minggu 2 Mei 2021.
Baca juga: Hardiknas 2021, Nadiem Lakukan Transformasi.Pendidikan Melalui Merdeka Belajar
P2G juga menyayangkan sikap Mendikbud Nadiem yang justru menuding publik mispersepsi terkait hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP No. 57/2021. Ada kesan Nadiem menganggap publik, organisasi guru, dosen, Pusat Studi Pancasila, tidak paham PP dan UU.
“Jika publik mispersepsi terkait PP 57, mengapa Kemendikbud mengajukan revisinya, melalui Surat bernomor: 25059/MPK.A/HK.01.01/2021 tertanggal 16 April 2021, perihal: “Ijin Prakarsa Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan,” yang justru telah mencantumkan kembali Pancasila dan Bahasa Indonesia. Alih-alih Mendikbud mengakui adanya kekeliruan dalam PP 57, justru malah menuding publik mispersepsi,” ujarnya.
P2G menilai, Nadiem dan Kemendikbud justru yang belum merdeka sesungguhnya dalam merencanakan dan mendesain kebijakan pendidikan nasional. Sebab sudah menjadi rahasia umum, Mendikbud (Kemendikbud) sangat bergantung kepada peran tunggal satu jaringan sekolah swasta tertentu, yang sudah membangun koneksi kelembagaan selama ini.
Begitu pula dalam rencana “Penyederhanaan Kurikulum 2021”, juga melibatkan orang-orang dalam lingkaran jaringan sekolah swasta ini, bahkan menjadi tim inti. Keberadaan mereka justru mengganggu peran, kinerja, dan eksistensi struktur birokrasi internal dalam tubuh Kemendikbud sendiri.
Jadi patut diduga kuat, ada dominasi dan monopoli lingkaran jaringan satu lembaga swasta (eksternal) tertentu yang menguasai Kemendikbud dan Mendikbud saat ini. Tentu ini kontradiktif dengan semangat gotong-royong pendidikan dan semangat bergerak bersama yang selalu digelorakan Mas Nadiem.
“Monopoli segelintir orang, kelompok, atau jaringan intelektual untuk mendominasi kebijakan pendidikan nasional yang tidak merepresentasikan keragaman bangsa dan bias kelas sosial, tidak hanya merugikan guru namun juga merugikan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan cita-cita pendiri bangsa yang ingin mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Kabid Advokasi Guru P2G Iman Z Haeri.
Kemudian, pada frasa “mewujudkan merdeka belajar”, P2G menyampaikan, Merdeka Belajar sejak lahir sudah mengandung polemik, ketika istilah Merdeka Belajar diklaim sebagai merek dagang oleh sebuah PT sekolah swasta.
Episode Merdeka Belajar yang sudah mencapai Episode 10 terkesan parsial, walaupun ada beberapa program yang patut diapresiasi seperti penghapusan Ujian Nasional, relaksasi dan realokasi Dana BOS, dan Beasiswa LPDP yang diperluas untuk siswa dan guru. Merdeka Belajar belum menyentuh persoalan ril sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum.
Data menunjukkan, lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat (BPS, 2020). Data BPS selanjutnya menujukkan 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air. Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Lalu 74,18 persen sekolah SMP tidak memiliki akses terhadap tempat cuci tangan. Kesenjangan Angka Partisipasi Murni (APM) antara daerah perkotaan dan pedesaan juga masih besar, makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi pula kesenjangannya (BPS, 2020).
“Begitu pula dengan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), masih di angka 8,90 tahun. Artinya rata-rata anak Indonesia bersekolah hanya sampai Kelas 9 SMP. Tampak pula ketimpangan RLS di pedesaan yang hanya mencapai 7,66 tahun (BPS, 2020). Kemudian Bank Dunia (2020) menyebutkan, tingkat pengetahuan guru Indonesia di bidang: Matematika dan Bahasa Indonesia adalah rendah, masih di bawah standar minimum. Sedangkan untuk bidang: Pedagogis justru skornya sangat redah, lebih parah dari Matematika dan Bahasa Indonesia,” kata Dewan Pakar P2G Anggi Afriansyah.
Anggi menyampaikan, Uji Kompetensi Guru (UKG) masih di bawah standar minimum, skor di bawah 65 (skala 0-100). Begitu pula dalam perolehan skor PISA, nilai Indonesia konsisten di bawah rata-rata negara OECD untuk 3 bidang: Literasi, Matematika, dan Sains. Lebih tragis lagi untuk bidang “literasi”, skor Indonesia (2018) sama persis dengan pertama kali kita ikut PISA 2000, yakni skor 371.
“Anggaran digelontorkan sudah triliyunan rupiah sejak tahun 2000, namun hasil PISA kita merosot. Kualitas pendidikan nasional kita tidak sedang baik-baik saja,” ujar Anggi.
HY