Channel9.id – Jakarta. Reklamasi Pulau Serangan, Denpasar Selatan, Bali dinilai telah merusak tanaman mangrove karena adanya pengerukan dan pengendapan sedimen. Hilangnya tanaman mangrove ini juga berarti hilangnya ikan di kawasan reklamasi Pulau Serangan. Dampaknya, masa depan mata pencaharian nelayan juga ikut terganggu karena ikan sulit didapat.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Martin Hadiwinata mengatakan nelayan kerap kali tidak diperhitungkan dalam perumusan suatu kebijakan yang menyangkut sumber mata pencaharian mereka.
“Nelayan ini kan gak cuma nelayan menangkap ikan, tapi wilayah tangkapnya, jalur melautnya, sumber daya untuk memastikan perairannya bersih, misalnya mangrovenya,” ujar Martin saat dihubungi Channel9.id, Rabu (21/6/2023).
Padahal, menurut Martin, Pulau Serangan merupakan wilayah tangkap nelayan lantaran tumbuhnya tanaman mangrove di wilayah tersebut. Namun, hal itu tidak diperhitungkan ketika proyek reklamasi Pulau Serangan direncanakan bahkan hingga proyek itu selesai.
“Wilayah-wilayah itu adalah wilayah tangkap nelayan karena kan di sekitar Pulau Serangan itu kan banyak mangrove. Mangrove itu otomatis biasanya banyak ikannya,” tuturnya.
Hilangnya mangrove itu pun telah menyebabkan nelayan kesulitan mencari ikan. Hal ini, menurut Martin, telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan.
“Jadi, reklamasi Pulau Serangan ini kalau saya menilai secara perlindungan nelayan, kan kita punya UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, itu sudah pasti melanggar UU itu,” ujar Martin.
Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 7/2016, disebutkan bahwa perlindungan nelayan adalah segala upaya untuk membantu nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
Kemudian, pada Pasal 2 huruf i, j, dan k, secara berurutan disebutkan bahwa perlindungan dan pemberdayaan nelayan berdasarkan asas kesejahteraan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Lebih lanjut, pada Pasal 3 huruf a dikatakan bahwa perlindungan dan pemberdayaan nelayan bertujuan untuk menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha. Namun, dengan adanya reklamasi Pulau Serangan yang merusak mangrove itu, nampaknya implementasi UU Perlindungan Nelayan ini masih jauh panggang dari api.
“(Pulau Serangan) konteks nelayannya, memang perlindungan nelayannya tidak berjalan karena itu tadi, dari mulai perlindungan kebijakannya tidak ada, tidak mempertimbangkan nelayan dalam tata ruang lautnya, kemudian juga di situ ada mangrove dan biasanya, kalau ada mangrovenya biasanya ada tempat berpijah ikan, dan itu pasti wilayah tambak nelayan,” pungkas Martin.
Lebih lanjut, Martin mengatakan, pemerintah perusahaan, serta pihak terkait, seharusnya melakukan pendalaman analisis terlebih dahulu untuk melihat sejauh mana kerugian yang dapat muncul akibat reklamasi. Terlebih lagi perhitungan kerugian terhadap nelayan.
“Untuk penghitungannya, memang perlu pendalaman lebih lanjut, analisis daripada melakukan reklamasi, kerugiannya seperti apa,” tuturnya.
Sebagai informasi, Pulau Serangan yang terletak di sebelah tenggara Bali ini merupakan proyek reklamasi pertama di Pulau Dewata. Reklamasi Pulau Serangan itu mulai dikerjakan pada tahun 1990-an.
Fungsinya tak lain untuk dijadikan obyek wisata. Seiring berjalannya waktu, pada 1995, perusahaan besar mulai masuk. Kini, Pulau Serangan dimiliki oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya 101 hektare. Setelah direklamasi, luasnya menjadi 491 hektar. Meski diperluas, masyarakat tetap hanya menempati 101 hektar, sementara 491 hektare luas pulau itu dikuasai PT BTID.
Oleh karena itu, masyarakat pun hanya dijadikan penonton dan tak banyak memberikan dampak positif. Bahkan, dirasakan malah merugikan masyarakat, karena terkesan sangat ekslusif tanpa boleh disentuh masyarakat.
Baca juga: Reklamasi Pulau Serangan Ubah Pola Arus Laut, Derita Nelayan Puluhan Tahun
Baca juga: Tanam Mangrove, Jokowi: Untuk Antisipasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
HT