Oleh: Andre Donas*
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gedung, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Channel9.id-Jakarta. Bait pertama puisi cinta Chairil Anwar berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” ini meski secara konotatif tak hendak membicarakan ihwal soal pelabuhan, namun mampu menggambarkan apa yang terjadi dengan bangsa di Nusantara yang pernah besar dan berjaya di lautan di masa lalu, yang sayangnya tidak meninggalkan jejak apa-apa, selain gedung, rumah tua, tiang serta temali yang tidak berguna, dan kapal-kapal yang tak lagi melaut.
Bagaimana tidak? Kota-kota pelabuhan di Nusantara di abad 15 sampai 17 seperti Aceh, Banten, Demak, Makassar, Ternate, Tidore dan Sumbawa yang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia di belahan Selatan, yang kebesarannya sejajar dengan kota-kota pelabuhan besar di utara seperti Amsterdam, Genoa, Venesia, dan Antwerp, hilang tanpa bekas ditelan tsunami besar, yaitu tsunami budaya, di abad-abad setelahnya. Bangsa dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada ini, kurang dari satu abad berubah “memunggungi laut”, dan menjadikan daratan sebagai orientasi baru didorong oleh perubahan sejarah, yang membalik arus kebudayaan. Terpisahnya dunia maritim dari kebudayaan segera mengubah bangsa bahari menjadi agraris.
Kita tentu bisa saja menunjuk kolonialisme Belanda sebagai biang keladi dari semua ini. Mereka menundukkan pelabuhan-pelabuhan besar itu dan menjadikannya sebagai bagian dari koloni mereka. Saat kota-kota pelabuhan di pesisir dikuasai asing, pribumi bergeser ke pedalaman. Sejak itu pula kontak dengan dunia luar terputus. Putusnya kontak dengan dunia luar, bersamaan dengan putusnya keberlangsungan sebuah kebudayaan yang selama ini menjadi kuat karena semangat mencari pengetahuan dan teknologi (Hilmar Farid, Pidato Kebudayaan 2014).
Sementara itu, saat maskapai dagang VOC melakukan operasi pelayaran hongi mengelilingi pulau menghancurkan perkebunan-perkebunan pala dan lada demi menjamin monopoli perdagangan mereka di wilayah Maluku, kita tahu melalui catatan sejarah, yang dihancurkan bukan cuma ribuan nyawa dan harta benda, tanaman serta kehidupan ekonomi, tapi juga kebudayaan yang selama ini telah menjamin orang Maluku bisa bertahan hidup secara mandiri sebagai komunitas bahari. Orang Maluku bukan saja kehilangan kebun tapi juga kebudayaanya.
Dimulailah masa-masa amnesia sejarah bagi bangsa kita. Lupa laut ternyata jauh lebih berbahaya dari pada sekedar lupa daratan. Pengaruh amnesia laut ini sangat terasa saat kita berkali-kali menerjemahkan konsep Archipelagic State sebagai negara kepulauan. Padahal secara semantik kata archipelago berasal dari 2 kata bahasa Yunani, yaitu arkhi yang artinya utama dan pelagos yang artinya laut. Lautlah yang utama. Dengan demikian, archipelago harus kita baca “lautan yang ditaburi pulau-pulau” bukan sebaliknya.
Perbedaan pengertian ini tidak bisa dilihat sebagai perbedaan semantik semata, tapi merupakan perbedaan cara pandang, dan dengan demikian perbedaan budaya. Dengan menyebut negara kepulauan, maka laut dilihat sebagai masalah, sebagai penghalang, bukan lagi sebagai fokus utama, bukan lagi sebagai potensi dan ruang sosial serta kultural yang utuh, yang memungkinkan kita membangun kehidupan baru, budaya baru. Sebaliknya, dengan sebutan negara kelautan, maka orientasi arah pandang kita mengacu kepada melihat laut sebagai potensi, sebagai ruang kehidupan baru. Kekeliruan penerjemahan yang memiliki implikasi yang sangat besar tampaknya.
Dalam khazanah sastra kita, bisa ditemukan beberapa petunjuk perlawanan sia-sia terhadap amnesia laut tersebut. Laut adalah “tujuan biru” menurut Chairil Anwar. Menurutnya, biru adalah warna untuk menggambarkan sesuatu yang jauh. Seperti halnya gunung yang tinggi dan langit yang luas, maka biru laut memberi makna buat sebuah ruang tak terjangkau. Demikianlah, sebelum peralatan navigasi modern ditemukan, maka batas laut hanyalah ombak yang tak terhitung, langit yang tak berujung dan gemintang yang memenuhi cakrawala. Kita tak pernah tahu apa yang ada di seberang sana, selain biru: tujuan biru, katanya lagi.
Sajak “Menuju ke Laut” Sutan Takdir Alisjahbana secara metaforis menggambarkan sebuah perjalanan meninggalkan masa lalu. Sajak yang dimulai dengan frasa “kami telah meninggalkan engkau” itu tampaknya ingin memperlihatkan bahwa laut adalah tujuan baru di masa depan yang harus segera ditempuh dengan meninggalkan hidup di “tenang tasik yang tiada beriak”, katanya. Sebuah ketentraman hidup dalam pelukan adat-istiadat yang menina-bobokan, berganti dengan kehidupan baru yang lebih dinamis di laut sana. Laut menjelma masa depan, meninggalkan darat dan teluk yang tenang jauh tertinggal di belakang (Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir).
Kita juga patut merenungkan amsal dari filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche berjudul “Dalam Horison Ketidakterbatasan”, “Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita—dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia tidak terbatas.” Nietzsche menggambarkan laut sebagai masa depan penuh kemungkinan. Meski tak selalu menjanjikan ketenangan dan kelembutan bagai sutera. Laut adalah dunia baru kita.
*Penulis dan Pegiat kebudayaan, anggota Perkumpulan Luar Kotak