Opini

Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita (2)

Oleh: Andre Donas*

Channel9.id-Jakarta. Nyatalah, laut adalah masa depan. Cakrawala harapan dan kebebasan tanpa batas. Keluasan tanpa akhir, kedalaman tak terjelajahi. Demikianlah para filsuf dan penyair menjadikan laut metafora bagi sebuah dunia masa depan, wujud segala peluang dan kemungkinan. Sebuah antitesa dari daratan dan teluk yang digambarkan sebagai ketenteraman purba yang kedaluwarsa, yang membenam dan menjerat kaki hingga menghalangi kita beranjak menuju dunia baru yang lebih dinamis dan menjanjikan. Dan laut, sekali lagi, menjelma sebuah harapan kehidupan yang baru, yang segera melemparkan daratan ke masa silam.

Jika laut adalah masa depan dan daratan adalah masa lalu, kenapa dalam kehidupan berbangsa kita hari ini yang terjadi sebaliknya? Bagi kebanyakan kita kedigdayaan bangsa kita di laut sejak ribuan tahun yang lalu tidak meninggalkan jejak apapun di dalam kesadaran kita selain tinggal sebagai sejarah yang diceritakan dan dihapalkan di kelas-kelas. Anak-anak cuma paham sedikit cerita tentang keberanian pelaut Bugis menjelajahi setengah wilayah dunia, dari Paskah hingga Madagaskar, dengan perahu-perahu bercadik. Tahu bahwa nenek moyangnya dulu dari kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi penguasa laut. Setelah itu? Sebagaimana pelajaran yang dihapal dan diulang, laut cuma hadir dalam wacana namun hilang dalam praksis.

Baca juga: Jalur Rempah: Masa Lalu dan Masa Depan Kita 

Tak cuma itu. Bahkan yang terlintas di kepala sebagian kita tentang laut adalah gambaran sebuah keterbelakangan. Wujud ketertinggalan dibanding kehidupan modern lainnya. Maka bayangan kita tentang laut segera disergap oleh potret kekumuhan dan kemiskinan pemukiman nelayan. Yang lebih menyedihkan, sebagian kita terjangkit virus orientalisme saat memandang kearifan masyarakat bahari seperti di Mandar dan suku Bajo sebagai bentuk kehidupan primitif. Cuma ditulis dan dibanggakan karena terlihat eksotik. Cuma jadi tontonan dan atraksi wisata, atau sebaliknya sekedar obyek belas kasihan. Laut jauh tertinggal di belakang. Laut cuma sejarah. Lalu apa manfaat kehebatan sejarah laut buat bangsa? Kebanggaan yang bisa dikenang? Kita tahu, kenangan tidak cukup menyejahterakan. Kebanggaan tak mampu mengenyahkan perut lapar.

Manusia modern hingga abad ke-20 adalah manusia yang terobsesi dengan sejarah, menurut Michael Foucault, pemikir kebudayaan terkemuka Perancis. Obsesi mereka pada sejarah (waktu), telah membawa pada kecenderungan meremehkan peran penting yang lain. Kita saksikan filsafat dan pengetahuan modern dipenuhi oleh gagasan besar tentang “progress”. Mulai dari Hegel tentang proses evolusi rasio manusia, proses keunggulan rasio melawan kekuatan-kekuatan irasional (Comte), proses evolusi organisme (Darwin), proses lahir, tumbuh dan runtuhnya peradaban (Spengler & Toynbee), hingga perjuangan kelas (Marx), menunjukkan idea of progress mewarnai pemikiran khas jaman itu.

Namun di pertengahan abad muncul perubahan signifikan cara memandang sejarah. Bersamaan makin problematisnya obyektivitas di area epistimologis, dipersoalkan pula konsep obyektivitas sejarah. Meski de facto bermain di wilayah rekonstruksi atau sekedar mengcopy masa lalu, sejarah bergeser menuju wilayah konstruksi yang produktif. Lemah dalam klaim obyektivitas, membuat sejarah menjadi kegiatan “mencipta masa lalu”, meski berlandaskan teks dan bukti. Sebuah proses konstruksi naratif bersifat intertekstual, tafsir atas tafsir yang tidak sederhana, dan pemilihan peristiwa dan tokoh yang dianggap bernilai sangat ditentukan oleh visi teoritis dan kepentingan tertentu. Sejarah kini menjadi kegiatan menafsir, menata dan mengelola masa lalu.

Beruntung, kecenderungan abad 21 membawa kita keluar dari telikungan ideologis, metafisika yang abstrak, dan positivisme ilmiah. Kita bergerak menuju pengalaman yang lebih kongkret, dinamis dan kompleks. Itu sebabnya kita perlu mendengar petuah pemikir postmodern Edward Soja dalam buku “Postmodern Geographies” yang mengatakan, buat manusia modern kesadaran ruang (geografis) sama pentingnya dengan kesadaran waktu (sejarah). Mengikuti anjuran Soja, kita harus menangkap maksudnya dengan jelas, yaitu: mari kita lihat manfaat ruang geografis selain manfaat sejarahnya. Soja, menghadirkan Imajinasi Geografis melengkapi imajinasi lama, Imajinasi Historis. Kita perlu melihat sesuatu yang lebih nyata yaitu lingkungan geografis di mana kita hidup dari pada terus-menerus bersandar pada kenangan dan kisah-kisah besar masa lalu. Sejarah harus digunakan secara kreatif dan kontekstual untuk kebutuhan jaman. Sejarah harus

digunakan untuk memaksimalkan proses penguasaan ruang geografis. Sejarah harus membuat kita sadar bahwa kita pernah menjadi bangsa yang mampu memaksimalkan penguasan ruang geografis.

Jika manfaat geografis menjadi orientasi masa depan, mari kita tinggalkan ilmu sejarah sejenak dan kita masuk ke wilayah disiplin geografi, khususnya bidang yang disebut antropogeografi yang kelak lebih popular disebut Geopolitik. Geopolitik adalah sebuah kesadaran akan konsepsi ruang dalam kehidupan politik, tentang pentingnya memanfaatkan ruang geografis. Pakar geopolitik Andrew Gyorgy mengatakan, “setiap bangsa memiliki konsepsi ruang, yakni ide tentang batas- batas kekuasaan teritorialnya masing-masing. Hancurnya sebuah bangsa merupakan hasil dari menurun dan diabaikannya konsespsi tentang ruang itu.

Geografi selalu memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Geografi membentuk identitas, karakter, dan sejarah negara-bangsa (nation-states); geografi juga membantu sekaligus menghalangi kemajuan ekonomis, sosial, dan politik; geografi juga berperan penting dalam hubungan internasional. Sementara geopolitik merupakan studi mengenai pengaruh faktor geografis terhadap perilaku negara, yakni bagaimana lokasi, iklim, sumber daya alam, populasi, dan kondisi fisik menentukan pilihan kebijakan luar negeri suatu negara dan menentukan posisinya dalam hierarki negara

Wilayah nasional suatu negara adalah modal dasar kodrati yang harus didayagunakan untuk mendukung kehidupan bangsa tersebut. Kemajuan teknologi, berkurangnya sumber daya alam dan pertambahan penduduk telah menjadikan ruang dunia relatif semakin sempit. Itu sebabnya setiap bangsa harus berikhtiar menjadikan wilayah nasionalnya masing-masing sebagai ruang hidup yang mampu mendukung kebutuhan bangsanya seoptimal mungkin. Demikian pula laut. Laut harus menjadi pilihan berikutnya. Tapi tentu ini bukan sebuah ajakan untuk menjadikan laut sebagai obyek eksploitasi baru setelah daratan dikuras dan diperkosa habis-habisan. Laut harus menjadi sumber kehidupan baru sekaligus inspirasi buat kepentingan konservasi.

*Penulis dan Pegiat kebudayaan, anggota Perkumpulan Luar Kotak

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  2  =