Opini

Jihad Tarekat

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Sudah sedari lama, terlebih semenjak terorisme melanda dunia, Islam kemudian dituduh sebagai agama pedang. Pandangan ini tak sepenuhnya salah, karena beberapa fragmen dalam sejarah Islam memang dihiasi oleh berbagai intrik politik yang keji, sehingga berujung pada praktik bunuh-membunuh. Stigma tersebut hingga saat ini masih saja terus bertahan karena praktik Islam yang ada di tanah Arab, tempat di mana Islam pertama kali turun, masih menunjukkan kecenderungan yang radikal terhadap perbedaan, khususnya yang bersifat sektarian. Hal tersebut telah memicu munculnya sejumlah konflik dalam tensi yang cukup tinggi pada berbagai wilayah di dunia Arab.

Akan tetapi, manakala berbicara tentang konteks Islam di Indonesia, sepertinya stigma yang pejoratif terhadap Islam perlu ditinjau ulang. Islam Indonesia sering dipuji oleh banyak pengamat sebagai Islam yang unik karena dalam praktiknya, cenderung sangat toleran, terbuka, dan adaptif terhadap perbedaan dan juga pada budaya lokal. Hal ini disebabkan karena pola penyebaran Islam di Indonesia berlangsung relatif damai, melalui berbagai pendekatan, seperti perdagangan, perkawinan, birokrasi, pendidikan (pesantren), sufisme (tasawuf), kesenian dan lain-lain (Uka Tjandrasasmita; 2009, 21).

Sepanjang sejarah, tarekat telah berkembang dinamis menyikapi gejolak zaman. Tarekat berarti tradisi sufi atau jalan spiritual (tasawuf). Tarekat juga sering diartikan persaudaraan sufi, sebuah organisasi sosial sufi yang memiliki anggota dan sejumlah peraturan, serta berpusat pada hadirnya seorang mursyid. Di dunia Islam, gerakan ini mulai berkembang pesat pada abad ke-12.

Baca juga: Residivisme Teroris dan Deradikalisasi

Perkembangan itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio-historis masyarakat Muslim. Sebagian memilih jalan tarekat sebagai bentuk asketisme, protes atas hedonisme di istana-istana khalifah. Sebagian yang lain memandang tarekat dapat menjadi jalan perbaikan di tengah kemunduran kaum Muslim.

Cerita mengenai perkembangan tarekat di Indonesia dari abad ke-abad di Nusantara secara lebih terperinci melalui laporan peneliti Belanda Martin van bruinesen. Menurutnya, beberapa sumber pribumi yang ada secara tegas mengemukakan bahwa tarekat-tarekat mendapatkan pengikutnya, pertama-tama, di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke kalangan masyarakat awam. Bagi pihak kerajkaan, tarekat dipandang sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja. Jelaslah bahwa para raja tidak berminat kepada upaya yang membuat kekuatan supernatural yang sama dapat dimiliki oleh semua warga negara mereka. Para pengarang sufi Sumatra yang bekerja di bawah lindungan pihak kerajaan. Kronika berbahasa Jawa dari Cirebon dan Banten menceritakan bagaimana pendiri dinasti raja sendiri mengunjungi Tanah Arab dan berbai‟at menjadi pengikut sejumlah tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, Kubrawiyah, dan Syadziliyah (Martin Van Bruinessen; 2015, 191).

Menjelang abad ke-18, berbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara. Orang-orang yang baru kembali dari Makkah dan Madinah menyebarkan tarekat Syattariyah, seringkali dengan perpaduan dengan Naqsyabandiyah atau Khalwatiyah. Pemeluk tarekat-tarekat ini mungkinmenyebarkan tidak banyak melebihi dari bacaan-bacaan zikir dan wirid yang diamalkan secara pribadi; tidak ada petunjuk mengenai apakah tarekat-tarekat pada tahap ini juga berfungsi sebagai perhimpunan sosial. Memang, sepanjang abad itu tarekat Rifa‟iyah dan Qadiriyah juga sudah tersebar. Yang pertama berkaitan dengan kultus kekebalan tubuh yang disebut debus, yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan di Aceh, kerajaan-kerajaan semenanjung Kedah dan Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon dan Maluku, bahkan juga di kalangan komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan. Yang kedua mungkin di tempat-tempat tertentu juga mempunyai hunungan dengan debus, tetapi dampaknya yang paling mencolok adalah munculnya kultus pemujaan terhadap wali pendirinya, Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani. Pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir secara berjamaah di beberapa wilayah menjadi upacara penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat.

Peran Sufi Nusantara

Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar yang tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinyam, maka  lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan symbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya.

Masuknya agama Islam dan berkembangnya umat Islam di Indonesia terkait erat dengan peranan para sufi. Disinilah, ajaran tasawuf dan praktek tarekat menjadi salah satu tradisi intelektual dan pola keberagaman yang berkembang pesat dan bertahan kuat di Indonesia. Peranan para sufi dan lembaga tarekat dalam penyebaran agama Islam di Nusantara telah banyak menyita perhatian.

Tarekat berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi berarti jalan, cara (al-kaifiyyah. Menurut  istilah, tarekat berarti perjalanan seorang (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menysucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Makna dari tarekat bisa juga disebutkan sebagai persaudaraan sufi yang relatif terorganisir menjadi kelompok sosial. Dalam arti ini, tarekat bukan hanya merupakan jalan spiritual, tetapi juga merupakan organisasi sosial dalam arti perikatan yang dipersatukan oleh keyakinan dan peribadatan tertentu serta dipersatukan oleh keyakinan dan peribadatan tertentu serta memiliki norma perilaku tertentu pula.

Kelompok-kelompok tarekat di Nusantara telah memperoleh pengikut menjelang abad ke-18. Ajaran-ajaran sufi menolak segala bentuk penindasan terhadap manusia. Sebab itu, kaum tarekat memobilisasi diri untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Ditengara tarekat pertama yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara yang benar-benar dapat dimobilisasi adalah tarekat Sammaniyah. Walaupun sangat dipentingkan oleh sultan Pelambang, tarekat ini tampaknya juga mendapatkan pengikut yang banyak di kalangan masyarakat awam. Sebuah karya sastra dari daerah setempat menceritakan bagaimana tarekat ini memainkan peranan dalam perlawanan terhadap pendudukan kota tersebut oleh tentara Belanda pada tahun 1819. Beberapa kelompok orang berpakaian putih berzikir keras sampai mencapai ekstase dan kemudian tanpa rasa gentar menyerang musuh. Mereka tampaknya menyakini bahwa tubuh mereka sudah kebal karena berzikir itu (Bruinessen: 2015, 198).

Di Kalimantan Selatan pada tahun `1860-an, Belanda menghadapi perlawanan serupa dari gerakan rakyat yang kuat yang menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang disebut beratip beamal, di mana kita mungkin dapat juga menyaksikan adaptasi setempat terhadap tarekat Sammaniyah (Bruinessen; 1998, 198).

Di dunia Islam seperti di Indonesia, ordo sufi atau aliran tarekat masih terus berkembang dan memiliki pengikut dengan jumlah yang sangat besar hingga sekarang.

Pemberontakan-pemberontakan yang melibatkan tarekat yang terjadi dalam rentang waktu satu abad, sejak abad ke-18, sebagian diantaranya adalah gerakan menentang masuknya pemerintah kolonial, sedangkan pemberontakan lainnya disebabkan oleh peraturan-peraturan tertentu yang ditetapkan pemerintah kolonial, dan juga sebagai respon terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi rakyat jajahan yang dihisap dalam realitas penindasan kolonialisme.

Meski tak ada inisiatif secara langsung dari tarekat untuk melancarkan pemberontakan, sebagaimana dijelaskan Bruinessen (2015), ketika pemberontakan telah meletus, tarekat memberi sumbangsih penting bagi pemberontakan dalam dua hal: pertama, menyediakan jaringan untuk melakukan komunikasi antar daerah untuk memobilisasi sebanyak mungkin pejuang yang terlibat dalam pemberontakan, yang umumnya adalah jaringan para santri, dan kedua, memberi dukungan pada para pemberontak dengan membagi amalan zikir, seperti hizib, atau teknik-teknik spiritual lainnya yang diyakini memiliki kekuatan magis.

Namun yang menarik dari catatan Bruinessen adalah fakta bahwa dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, sebagian besar justru tidak dipelopori oleh tarekat, melainkan oleh para pemberontak yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian (Martin Van Bruinessen; 2015. 467). Dalam kasus pemberontakan di Banjarmasin yang melibatkan tarekat Sammaniyah, misalnya, banyak orang mendatangi seorang guru tarekat Sammaniyah yang mengamalkan amalan beratip be’amal, untuk meminta dibai’at dan dan agar diberi jimat-jimat untuk kekebalan. Ini tak jauh beda dengan kasus di Palembang, dan berbagai tempat lainnya.

Bruinessen menyimpulkan bahwa dalam berbagai perlawanan yang melibatkan kalangan sufi, tarekat tidak berada pada posisi di barisan depan perlawanan, dalam arti sejak semula memang terlibat dalam pengorganisiran massa rakyat jajahan untuk melakukan perlawanan pada pihak penjajah, melainkan hanya menjadi tempat perlindungan dan permintaan dukungan bagi kalangan gerakan atau para pemberontak untuk melakukan perlawanan. Bila kita berpegang pada simpulan Bruinessen, pemberontakan-pemberontakan rakyat umumnya terjadi terlebih dahulu, dan baru kemudian melibatkan tarekat sebagai bentuk dukungan spiritual dan moral.

Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

One Reply to “Jihad Tarekat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  24  =  27