Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Kasus bom bunuh diri berulang kembali. Pada Rabu pagi, 7 Desember 2022 tragedi biadab itu terjadi di Polsekta Astana Anyar, Bandung. Korbannya ada yang meninggal yaitu Aipda Sofyan. Delapan petugas dan warga sipil luka-luka. Pelakunya adalah Agus Sujatno, atau Abu Muslim bin Wahid. Yang mengagetkan, pelaku ini adalah eksnapiter kelahiran Bandung 1988 yang baru bebas setahunan ini dari Nusakambangan. Sebelumnya dia terlibat bom Cicendo yang pelakunya Yayat Cahdiyat tahun 2017. Agus bersama Yayat merakit bom dari bahan yang dibeli di situs online. Akibat kasus ini, dia diganjar 4 tahun di Nusakambangan. Rupanya belum pulih dari ganasnya virus radikal, Agus melakukan amaliyat teror bom bunuh diri.
Aksi bom bunuh diri ini menambah daftar kasus serupa di negeri kita. Data yang ada, terhitung 12 kali kejadian sejak 2002. Pada tahun 2018, Indonesia kala itu menjadi salah satu negara di Asia Pasifik yang mendapatkan predikat nilai buruk akibat meningkatnya aktivitas teroris, disusul oleh Vietnam, Korea Utara dan Taiwan (Global Terrorism Index, 2019: 41). Angka ini muncul akibat rentetan serangan teroris yang terjadi di Indonesia pada tahun 2018, diantaranya teror bom di tiga gereja di Surabaya yang merenggut korban jiwa hingga puluhan orang terluka, kerusuhan di Markas Komando (Mako) Brimob, serangan teroris di Mapolda Riau, serta bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya dan Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Rentetan aksi teror yang terjadi sepanjang tahun 2018 dan tahun-tahun sebelumnya merenggut banyak korban jiwa, hingga kerugian materil yang tidak hanya dirasakan secara individu, namun juga negara.
Aksi-aksi lone wolf ini tampaknya menjadi cara paling digemari saat ini. Mungkin sifatnya yang dipandang pelaku sebagai instan, praktis dan efektif, tanpa berurusan dengan fatwa mentor atau segala hal yang sifatnya hirartki indoktrinasi. Walaupun aksi sejenis ini mudah dilihat sebagai model dari kelompok yang berafiliasi dengan ISIS yang di Indonesia dipandegani oleh JAD.
Baca juga: Bom Bunuh Diri Astanaanyar, Polisi Pastikan Pelaku Gunakan Bom Panci Rakitan
Tren organisasi teroris saat ini bergerak ke arah lone wolf, yaitu mereka yang bergerak sendiri tanpa jaringan, yang merupakan hasil belajar melalui internet. Selain itu, terdapat pula kemerosotan organisasi (tandzim) menjadi “jihad tanpa pemimpin”. Salah satu contohnya adalah Al Qaeda yang tidak lagi mengontrol sumber daya, menjalankan kamp pelatihan, atau berada dalam posisi untuk mengarahkan operasi. Al Qaeda berubah hanya sebagai sebuah jaringan sosial yang mengilhami jihad global. Hal ini mengindikasikan bahwa terorisme telah terpecah dan menjadi diri sendiri (Acharya dan Marwah, 2011: 3). Evolusi ini dilakukan oleh organisasi-organisasi teror untuk mengelabuhi musuh besarnya dalam membentuk jaringan-jaringan terputus. Tak hanya di tingkat dunia, permasalahan terorisme juga menjadi isu utama di Indonesia.
Apapun bentuk teror, adalah perbuatan keji melawan kemanusiaan dan agama. Sekecils apapun teror tetaplah tindakan yang merusak dan membuat gaduh. Tak ayal, kita tidak bisa memandang remeh apapun bentuk dan kualitas teror. Membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia, sebuah kredo dari Al-Quran yang luar biasa menyadarkan pada kita untuk senantiasa menjaga marwah manusia.
Kembalinya Amaliyat Teror
Penelitian yang dilakukan Ismail dan Sim pada tahun 2016 menunjukkan bahwa estimasi tingkat residivisme teroris di Indonesia mencapai angka 15% (Hasisi, Carmel, Weisburd & Wolfowicz, 2019: 5). Ada pula yang kembali masuk dalam jaringan radikal setelah keluar dari penjara, bahkan telah melewati proses deradikalisasi BNPT secara intensif, seperti Isnaini Romdhoni yang terlibat dalam jaringan bom di gereja Surabaya. Ia diketahui pernah melakukan latihan perang ala militer di Poso bersama kelompok Santoso.
.Kasus residivis teroris lain adalah Ismarwan yang ditangkap pada 21 November 2019 oleh Densus 88 karena melakukan pelatihan militer bersama jaringan kelompok JAD dan pernah terlibat aksi terorisme di Aceh tahun 2017 (Zulfahri, 2019). Menariknya, Ismarwan mengikuti seluruh kegiatan yang diadakan oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT (Zulfahri, 2019).
Kasus lain dilakukan Juhanda yang pernah terlibat dalam kasus bom buku dan bebas pada tahun 2014. Juhanda kembali menyerang gereja Oikumene pada tahun 2016 di Samarinda. Kasus lain, yakni Sunakim yang terlibat dalam pelatihan Jantho Aceh dan bebas pada 2015 kembali melakukan aksi Bom Sarinah pada Desember 2016 (Zulfahri, 2019). Selain itu, Yayat Cahyadi alias Abu Salam, yang bebas pada tahun 2014 dan kembali melakukan aksi Bom Panci di Cicendo, Bandung pada 27 Februari 2017 (Zulfahri, 2019). Nama Yayat Cahdiyat juga pernah disebutkan sebagai salah satu dari 8 terpidana terorisme yang dijebloskan di Lapas pada 17 Mei 2013. Yayat masuk dalam jaringan kelompok Cikampek bersama Enjang Sumantri, Bebas Iriana dan Ujang Kusnanang. Yayat sendiri waktu itu divonis 3 tahun penjara. Dan juga sebelumnya adalah residivis teroris seperti Abdullah Sonata, Abdul Rauf dan Aman Abdurrahman.
Tahun 2019 Densus 88 menangkap seorang teroris berinisial HK alias Wahyu Nugroho alias Uceng. Uceng yang merupakan seorang residivis ini telah ditangkap pada 3 Januari 2019 silam di Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Suriah melalui Iran. keterlibatan Uceng dalam sejumlah kasus teror di Indonesia, cukup penting. Dia terlibat dari mulai kelompok JI (Jamaah Islamiyah) jamannya Noordin M Top dan dr Azhari. Dia pernah mendekam di penjara dua kali atas kasus terorisme. Pasca dibebaskan dari penjara, Uceng diketahui berkomunikasi dengan Abdul Wahid, salah satu algojo ISIS di Suriah yang diketahui sudah tewas pada akhir Januari 2019. Dari pelacakan komunikasi keduanya, diketahui Abdul menyarankan Uceng agar segera ke Suriah dengan mengirimkan dana sebesar Rp 30 juta untuk biaya keberangkatan Uceng. Namun setelah Uceng menerima dana tersebut, HK selanjutnya memberikan sebagian dana itu ke sel-sel ‘tidur’ di Indonesia untuk bangkit melakukan aksi teror.
Fakta berulangnya residivis teroris menjadikan program deradikalisasi disorot. Berbagai upaya yang dilakukan selama ini dengan mengundang tokoh dari luar negeri maupun tokoh-tokoh ulama belum memadai karena eks napiter merasa memiliki alur pemahaman yang berbeda. Upaya bantuan kewirausahaan dalam berbagai bentuk yang gencar diberikan belum mampu meluluhkan paham idiologisnya. Terorisme sebagaimana dalam ungkapan Hendropriyono merupakan tindakan kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apapun, lantaran nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang lebih besar untuk melakukan langkah intervensi dalam rangka mencegah radikalisasi dan mempersiapkan strategi pencegahan residivis.
Ketika membahas residivisme, penting untuk dicatat bahwa, walaupun terorisme yang bermotivasi agama mengalami peningkatan pasca-11/9, para ideolog lain menginspirasi aksi teroris secara global. Nasionalisme, dan terorisme sayap kanan hanyalah beberapa contoh dari motivasi non-agama yang bercorak ekstremisme yang keras. Meskipun keragaman dalam ideologi, kajian kontemporer tentang residivisme cenderung berfokus pada komunitas agama. Mungkin ini karena asumsi, sebagaimana dinyatakan oleh Pluchinksy bahwa “teroris dengan motivasi dan tujuan sekuler lebih mungkin untuk direformasi di penjara daripada teroris yang didorong oleh agama.” Beberapa program deradikalisasi yang diterapkan di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Singapura, Mesir, dan Yaman, cenderung berfokus pada transisi yang berorientasi teologis dalam kepercayaan dan motivasi (Omi Hodwitz; 2019, 54)
Residivis sendiri merupakan sebutan bagi seseorang yang melakukan pelanggaran hukum berulangkali dan telah dijatuhi hukuman oleh lembaga peradilan pidana. Menurut R Susilo, residivisme adalah orang yang melakukan beberakali tindak pidana dimana tindak pidana satu dengan tindak pidana lain sudah ada putusan hukum (R Susilo; tt, 25). Residivisme dalam pemahaman umum dipahami sebagai suatu istilah luas yang mengacu pada perilaku kriminal kambuhan (relapse of criminal behavior), termasuk karena suatu penangkapan kembali (rearrest), penjatuhan pidana kembali (reconviction), dan pemenjaraan kembali (reimprisonment). Residivis juga diartikan sebagai orang yang melakukan pengulangan tindak pidana. Residivisme (recidivism) juga dimaknai sebagai kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu. Namun sebagai suatu konsep dalam hukum pidana, seseorang baru dapat disebut residivis atau melakukan perbuatan residivisme apabila orang tersebut melakukan pengulangan tindak pidana dengan syarat-syarat tertentu yang kemudian dapat berimplikasi pada pemberatan hukuman baginya (Hairi, 2018 : 200). Sisi lain yang patut diperhatikan adalah faktor seperti persahabatan, yakni kesetiaan pada teman adalah faktor utama dan paling penting dalam memprediksi terorisme, sementara tekanan kelompok, meningkatkan hubungan/kontak, kedudukan sosial bergengsi menjadi alasan lain keterlibatan kembali mantan narapidana teroris di Indonesia.
Memang kasus residivisme teroris tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di banyak negara. Di Indonesia maupun di tingkat dunia, terdapat banyak mantan narapidana teroris yang kembali melakukan aksi serupa setelah menyelesaikan masa hukuman atau yang biasa disebut residivis
Di tingkat dunia, Saudi Arabia yang mengklaim memiliki angka kesuksesan program deradikalisasi 100% pun, memiliki angka residivisme mencapai 10% hingga 20% (Fazel & Wolf, 2015; Hasisi, Carmel, Weisburd & Wolfowicz, 2019: 5). Di Eropa, Bakker (2006: 40) menemukan bahwa dari 242 narapidana teroris, 58 orang memiliki catatan kriminal dan 2.5% terlibat dalam aktivitas teror jihadis sebelumnya. Di Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan pada pelaku kejahatan terorisme paska kejadian 9/11 menunjukkan bahwa dari total 247 narapidana teroris, terdapat 9 orang yang kembali menjadi residivis setelah dibebaskan (Hodwitz, 2019: 54). Artinya, terdapat sekitar 1.6% residivis kasus terorisme di Amerika pada tahun 2001 hingga tahun 2018. Residivisme terjadi antara 3 bulan hingga 3 tahun setelah kebebasan, dengan rata-rata 1 tahun 9 bulan (Hodwitz, 2019: 60).
Riset yang dilakukan di Singapura menunjukkan angka residivisme teroris mencapai 40% (Abuza, 2009; dalam Aggarwal, 2013: 263). Penelitian lain juga menemukan bahwa terdapat lebih dari 50% residivis teroris di Yaman (Noricks, 2009; dalam Aggarwal, 2013: 263). Di Guantanamo, tingkat residivisme yang dikonfirmasi atau dicurigai diantara mantan narapidana teroris adalah 30.5% (16.9% dikonfirmasi, 13.6% diduga) (Altier, Boyle & Horgan, 2019: 3). Variasi angka di atas menunjukkan bahwa meskipun telah menyelesaikan masa hukuman, mantan narapidana teroris belum tentu sepenuhnya terlepas atau meninggalkan ideologi kelompok yang dimiliki. Mantan narapidana teroris dapat kembali melakukan aksi jika terdapat pemantik yang cukup membuat mereka tergerak untuk melakukan aksi kembali.
Kasus residivis tingkat dunia diungkapkan Pluchinsky (2008: 184), yakni Abdelfettah Raydi. Raydi meledakkan dirinya pada 11 Maret 2007 di dalam sebuah kafe internet di Casablanca, Maroko. Raydi dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada tahun 2003 di bawah UU Anti-Terorisme, kemudian dianugerahi grasi kerajaan pada tahun 2005. Dua tahun setelah kebebasannya, Raydi melakukan aksi teror serupa. Kasus lain adalah Dr. Ayman al-Zawahiri yang pernah di penjara pada tahun 1981–1984 karena kegiatan para jihadis di Mesir. Ketika dibebaskan, ia kembali melakukan jihad, bahkan lebih gigih dan radikal dari sebelumnya. Kasus lain adalah Hassan El Khattab yang ditangkap pada Agustus 2006 karena mendirikan sel-sel Ansar Al Mahdi di berbagai kota Maroko. Dilaporkan bahwa dia telah membuat rencana untuk proyek jihadnya ketika berada di penjara tempat dia dikirim karena implikasinya dalam sel teror yang kemudian dikenal sebagai sel kelompok Assaika. Sebelumnya pada tahun 2003, Khattab dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan dibebaskan pada akhir Desember 2005 (Pluchinsky, 2008: 185). Artinya, satu tahun setelah kebebasannya Khattab menjadi residivis untuk kasus yang sama. Tak hanya dunia, Indonesia juga memiliki kasus serupa.
Nah fakta ini seolah membenarkan bahwa para jihadis dalam penelitian Ian Chalmer dalam Countering Violent Extremism in Indonesia: Bringing Back the Jihadists, (2017) yang menunjukkan masih kuatnya radikalnya. Mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinlan mereka terjun, maka sangat mudah dilakukan
Parameter Deradikalisasi
Saat ini, berderet penelitian mutakhir mengungkap tumbuh kembangnya radikalisme di masyarakat yang seolah kian menjadi “samsak” menghujamnya pukulan bertubi terhadap deradikalisasi. Sampai-sampai, muncul anggapan “deradikalisasi gagal” karena memandang deradikalisasi berjalan secara tidak konsisten dan berkesinambungan. Otokritik perlu dilayangkan, terkait efektivitas deradikalisasi. Benarkah deradikalisasi mengalami “kegagalan”? Tentunya, masih perlu “uji kelayakan”.
Rasanya, tak bisa serta-merta untuk “mengukur” deradikalisasi dengan penampakan yang hanya sejauh pandang. Menetapkan ukuran Ukuran boleh ada, tetapi hasil bisa beda. Santoso dulu pernah mengikuti program deradikalisasi, tetapi kemudian lebih memilih menjadi teroris hingga akhir hayatnya. Abu Tholut yang juga mengikuti program deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) akhirnya sekarang ikut terlibat aktif dalam program deradikalisasi melalui ceramah dan tulisan yang men-counterpikiran radikal terutama ISIS.
Hal serupa juga terjadi pada Sufyan Tsauri, Iqbal Husaini, dan Khairul Ghazali yang kini ikut berkiprah dalam deradikalisasi. Sudah cukup banyak peneliti yang menetapkan “ukuran” terhadap keberhasilan deradikalisasi. Kemudian, para peneliti ini menyodorkan timbangan yang dipandang memiliki tingkat akurasi memadai. Misalnya saja, ukuran sukses deradikalisasi yang dipaparkan Elaine Pressman (2009), yaitu para napi teroris dan mantan napi teroris terlihat sudah mulai menolak ideologi yang kaku, penolakan terhadap kekerasan, ada bukti mereka melakukan perubahan ke tujuan-tujuan non-kekerasan, mereka mempunyai motivasi untuk melakukan deradikalisasi, dan ada dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.
Akan tetapi, ukuran yang ditawarkan ini tidaklah baku. Ini sifatnya hanya sebagai indikator umum. Ada kesepakatan bahwa ukuran keberhasilan deradikalisasi tak bisa tunggal (one size fits all). Keberhasilannya sangat bergantung pada konteks dan latar belakang individu masing-masing, kendati bisa ditarik indikator-indikator umum.
Mafhum bahwa deradikalisasi bertujuan untuk menurunkan “tensi” paham-paham kekerasan yang sudah melekat dan merasuk dalam pikiran. Secara karakter, kelompok radikal selama ini menjadikan kekerasan sebagai cara dan solusi yang niscaya. Dengan adanya deradikalisasi, diharapkan bukan lagi kekerasan yang menjadi titik pijak dan solusi, tetapi kesadaran dan tindakan untuk mengistimewakan musyawarah dan toleransi tanpa ada unsur kebencian dan kekerasan. Sebab musababnya bisa karena pemahaman agama yang tidak utuh (syamil), yang kemudian membuat seseorang bertindak kalap (syiddah al-tanathu’). Cara pandang yang sempit dalam mencerna setiap kejadian menjadi pangkal tindakan ngawur.
Dalam program deradikalisasi yang ditekankan adalah kesadaran bersedia berdialog. Mereka diperlakukan layaknya manusia, penghormatan, kesantunan, penuh persaudaraan, serta tidak merendahkan. Dengan begitu, deradikalisasi menjadi manhaj (metode) untuk mengubah seseorang menjadi lebih toleran, yang dimulai sejak dalam pikiran. Karena itu, yang diharapkan adalah tidak akan ada lagi kebencian, dendam kesumat dan kesalahpahaman. Tidak akan ada lagi sikap dan tindakan mudah mengafirkan orang lain, hanya karena perbedaan pandangan.
Deradikalisasi memang menempuh jalan berliku. Ia tidak simsalabim. Tamsilnya, kita menapaki jalan terjal penuh kelok, maka untuk mencapai jalan yang lempang kita juga harus siap kembali menapaki jalan terjal. Dalam menjalankan deradikalisasi, agar bisa mencapai jalan lempang, kita harus siap untuk terus melakukan terobosan-terobosan dan kreasi dalam hal pendekatan, sejalan dengan dinamika yang ada, baik menyangkut penilaian terhadap kondisi yang membuat seseorang menjadi radikal, hingga menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Deradikalisasi yang dilakukan selama ini juga hendak menjawab kekhawatiran para mantan teroris, ketika sudah terjun ke masyarakat. Intinya, deradikalisasi mencakup aspek kemanusiaan, pendidikan (mengajarkan moderasi), kepedulian sosial dan pemberdayaan secara ekonomi. Secara operasional, dalam deradikalisasi ada identifikasi yang merupakan rangkaian awal dari empat tahapan yang akan dilaksanakan, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi.
Proses identifikasi memiliki makna yang penting bagi warga binaan yang akan mengikuti tahapan program deradikalisasi yang berkelanjutan, bersambung dan memberdayakan kehidupan, baik bagi mereka yang sedang berada di dalam lapas maupun yang telah berada di tengah masyarakat.
Tim Partikelir Literasi
Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik varian dan tipologi mereka. Oleh karena itu, “tim kombatan” deradikalisasi perlu berbekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka harus mampu menaksir, menakar, dan menilai seraya memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka harus senantiasa berlaku sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh kesah para napi teroris.
Dalam bekerja, tim harus memastikan kesinambungan, baik dalam hal dukungan kebijakan maupun merespons panggilan pribadi para napi teroris. Sehingga, tak mengherankan terjalin hubungan yang baik antara anggota tim dan para mantan napi teroris, keluarga, serta jaringannya. Bukankah keberadaan teroris bagaikan “hantu”? Mereka bisa bergentayangan di mana-mana. Aksinya pun tak bisa ditebak, tiba-tiba menggelegar dan membuat publik gemetar. Apalagi yang dilakukan oleh apa yang disebut lone wolf.
Sungguh, ini fakta yang dilakukan oleh kalangan “teroris aktif”. Untuk para mantan teroris yang sudah bebas dari penjara, keberadaannya memang sudah terdeteksi karena lazimnya sudah terdata di lapas. Hanya saja, mereka tak jarang pindah alamat sehingga langkah menemui kadang tidak mudah. Sementara untuk jaringan yang sering kali sulit dideteksi, untuk mengungkapnya perlu berbagai pendekatan kepada para “narasumber”, yaitu mantan napi teroris.
Di sinilah peran tim deradikalisasi ‘Partikelir’ yang melakukan perburuan terhadap jaringan radikal secara senyap. Mereka ibaratnya Ghostbuster, tetapi bukan untuk “menghabisi”, melainkan melalui “jalan damai” mendekati dan merangkul para anggota jaringan, dengan tujuan menetaskan kesadaran kebangsaan dan keagamaan moderat. Jika aksi teroris membuat galau masyarakat, aksi tim deradikalisasi ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada masyarakat. Pasokan data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan untuk melihat peta terorisme berikut jaringannya. Kesimpulannya, deradikalisasi tetap harus berjalan, bukan sekadar basa-basi. Program ini perlu dilakukan secara lebih baik dan terukur seiring dengan dinamika terorisme yang kian mengganas.
Karenanya, pemerintah perlu melibatkan secara massiif dan intensif ‘Tim Deradikalisasi Partikelir’ yang terserak di LSM. Pelibatan ini bisa dilakukan mulai eksnapiter bebas hingga pendampingan yang berkelanjutan. Mereka punya ketrampilan dan lebih dari itu punya ’passion’ atau ghirah yang tinggi. Mereka bekerja bukan secara ex officio, tapi penuh gairah kedirian untuk ikut bergabung dalam pemulihan dan pemberdayaan eksnapiter. Terlebih pada mereka yang bergerak melalui pendekatan literasi. Selama ini mereka bergalang-gulung masuk langsung ke rumah-rumah eks napiter mengajar untuk literasi dengan mengumpulkan warga sekitar. Mereka didorong untuk menjadi ‘jihadis literasi’. Terorisme adalah paham yang menyerang otak atau pikiran, karenanya perku diterapi dengan asupan literasi yang mengarah pada perbaikan sel-sel pikirannya melalui literasi. Percayalah tanpa literasi yang tepat, idiologi terorisme masih akan bersemayam dalam pikiran mereka.
Deradikalisasi yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017)–lebih mungkin penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ‘bertaring’ dibanding aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, kemudian mengajak mereka berkawan selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat. Karenanya, deradikalisasi tak sekedar dilakukan ‘sekali pukul’, lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter sejatinya mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, maka tak mustahil mudah dilakukan.
Dalam deradikalisasi yang sudah dilakukan dengan berbagai cara, kini, saatnya kembali pada salah satu ‘pilar’ dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi. Tantangan kian menguatnya ‘militansi kalap’ serta meluapnya fenomena ‘kematian kepakaran’ justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi yang kaffah harus terus ditumbuhkan dengan penuh militan.
Kita menghadapi orang-orang kalap yang terbelingut oleh idiologi. Idiologi—menyitir Ranya Ahmed (2018)–memiliki pengaruh yang kuat yang dapat menjelaskan tindakan individu dan kelompok. Terpatri diktum “ideologi menetapkan siapa musuh”. Ideologi memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Pandangan dunia memiliki keputusan, dan tindakan yang dipandu baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan
Menandingi fakta ekstremisme ini, kita memang tetap butuh deradikalisasi yang lebih berorientasi pada deidiologisasi. Deradikalisasi tetap harus terus menjadi tujuan akhir, jika hanya karena alasan praktis bahwa teroris yang mulai melepaskan diri dapat mengulang kembali. Para jihadis ini dengan beberapa tipologisnya tetap mempertahankan keyakinan mereka meskipun telah menghabiskan bertahun-tahun di penjara.
Walhasil, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali ke literasi. Literasi mampu membuka ‘syaraf’ ekstrim untuk dicairkan dan diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran kritisnya. Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan dan kedamaian. Para eksnapiter harus dipandang sebagai insan-insan yang bisa dirubah haluannya dari ‘jihadis teror’ ke ‘jihadis literasi’ sebagai rintisan mewujudkan ‘jihad baru’. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis keilmuan. Dari sinilah, lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
mohon ijin pak Soffa Ihsan, salam hormat saya Irjen Pol Ibnu Suhaendra S.Ik, Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT RI berkenan saya bisa komunikasi dan koordinasi terkait program Deradikalisasi agar kita bersama-sama mencegah Eks Napiter melakukan aksi teror, nomor handphone saya, 0818224344. Berkenan saya Irjen Pol Ibnu Suhaendra S.Ik minta contact Personnya pak Matur nuwun.
Selamat Tahun Baru 2023
Bripda Firdaus Dwi Febriyanto
no Hp : 081298807303
ADC Irjen Pol Ibnu Suhaendra S.IK