Oleh: Ferdy Hasiman*
Channel9.id-Jakarta. Presiden Jokowi dan Menteri BUMN, Erick Tohir, perlu mengoptimalkan peran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan hanya menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina yang tugasnya hanya mengawasi direksi atau memelototi program kerja jangka Panjang Pertamina. Ahok perlu diberi tugas lebih besar, sebagai Direktur Utama, karena dia adalah eksekutor, memiliki keberanian dan perhitungan tepat dalam mengambil keputusan. Ahok dengan modal segudang pengalaman mengolah birokrasi dan birokrat bandel di DKI-Jakarta, pasti mampu membawa Pertamina menjadi perusahaan BUMN yang struktur organisasinya ramping, efektif, efisien dan berkinerja baik. Ini sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi agar birokrasi efektif dan eselonisasi dipangkas. Himbauan itu bukan hanya berlaku bagi lembaga birokrasi saja, tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan BUMN, seperti PT Pertamina yang hierarki organisasinya kegemukan, panjang dan tidak efisien.
Secara struktural-organisasi, Pertamina itu perusahaan yang tidak sehat dan memiliki rantai birokrasi yang panjang. Di Pertamina itu memiliki 11 Board Of Director (BOD), mulai dari Direktur Utama, Direktur Operasional, Direktur Pengolahan, Direktur Sumber Daya Manusia, Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, Direktur Manajer Aset, Direktur Pemasaran, Direktur Hulu, Direktur Perencanaan Investasi. Ini semacam kesebalasan sepak bola saja. Di bawah BOD masih ada lagi rantai birokrasi yang cukup panjang.
Masing-masing BOD ternyata harus memiliki Senior Vice President dan masing-masing minimal 2 SPV dan yang paling banyak adalah BOD Hulu dan Pengolahan ada 4 SPV. Tugas SPV Apa? Tugas SPV sesuai dengan bidang masing-masing. Jika SPV hulu, dia bertugas mengolah bisnis hulu. Pun jika SPV pengolahan, dialah yang bertugas mengolah bisnis kilang. Pejabat internal Pertamina yang berkarir cukup panjang memiliki karir maksimal sampai ke SPV ini. Jadi SPV disediakan untuk diisi orang-orang internal Pertamina.
Di bawah SPV masih ada lagi Vice President dan di masih ada manajer yang juga diisi pejabat karier Pertamina. Jumlahnya masing-masing 4 orang. Ini membuat rantai birokrasi yang begitu berbelit dan panjang di Pertamina. Untuk memuluskan sebuah proyek hulu dan hilir, harus melewati birokrasi yang begitu panjang dan tentu ini membuat keputusan menjadi sangat lamban, sementara negara membutuhkan produksi migas yang tinggi. Birokrat gemuk seperti ini tentu menjadi tidak sehat sebagai sebuah korporasi, apalagi sebuah korporasi yang mengolah hajat hidup orang banyak, seperti Pertamina.
Pola Pertamina di Pusat ini ternyata diadopsi dan di copy paste lurus-lurus di anak dan unit-unit usaha Pertamina. Unit usaha Pertamina juga begitu banyak, mencapai 9 unit usaha dan ada satu yang terus merugi. Ke-9 unit usaha itu, seperti PT Pertamina Hulu Internasional (bisnis minyak luar negeri), Pertamina EP Cepu (mengolah blok Cepu bersama Exxon), Pertamina Hulu Energi, Pertamina Driling Service Indonesia, Pertamina Geoterma Energi, Pertamina Hulu Indonesia (mengolah Blok Mahakam, Blok Rokan dan Blok Sang-Sanga), ELNUSA (jasa Pengeboran/Driling) dan Pertamina Alas Darah (Ini perusahaan yang tak pernah untung).
Anak usaha Pertamina inilah yang mengolah bisnis hulu Pertamina, melakukan pemboran (drilling), eksplorasi dan produksi migas nasional. Untuk produksi minyak nasional, unit usaha Pertamina ini hanya menyumbang 300.000 Barrel Oil Per Day (BOPD)-350.000 BOPD atau sekitar 35 persen dari produksi minyak nasional. Dari unit usaha di atas, ada yang produksinya hanya 15.000 BOPD saja dan membuat Pertamina menjadi tidak efektif.
Sudah produksi kecil, rantai birokrasi juga mengikuti rantai birokrasi pusat. Setiap unit juga memiliki BOD (Sekitar 5). Di unit usaha memang tak ada namanya Senior Vice President (SPV). Namun, setiap BOD memiliki Vice Presiden dan General Manajer dan Field Operator. General Manager bertugas menangani ladang-ladang migas di satu provinsi (biasanya 3 ladang migas) dan field operator bertugas mengawasi operasi lapangan di tingkat kabupaten.
Belum puas dengan itu, BOD di Pertamina pusat masih juga menjadi Komisaris di unit Usaha, seperti Pertamina Hulu Energi, PHONWJ hanya untuk mendapat gaji senilai 30-50 juta di anak usaha. Jika dihitung dari keseluruhan karyawan Pertamina Seluruh Indonesia sebanyak 8000 karyawan (2019), yang duduk sebagai pejabat struktur dan organisasional mencapai 500-700 pejabat atau 7 persen dari total karyawan Pertamina. Gaji yang dikeluarkan untuk mereka juga sangat bervariasi. Gaji manajemen kunci dan komisaris Pertamina tahun 2019 senilai US$ 47,27 juta atau setara Rp 661,78 miliar di 2018. Sementara, untuk 11 BOD Pusat dan 6 komisaris masing-masing menerima Rp 38,92 miliar. Per bulannya paling tidak menerima Rp 3,24 miliar. Ini tentu sangat fantastis. Untuk level manajer saja mencapai angka 120 juta.
Itulah mengapa jika kita bertemu karyawan Pertamina di mana saja di seluruh Indonesia ini, mereka sangat kaya, memiliki fasilitas fantastis, apartemen dan mobil mewah-mewah.
Selama bertahun-tahun Pertamina hanya memperkaya karyawan-karyawannya saja, memperkaya pejabat-pejabat kunci. Dan tak ada satupun Direktur Utama Pertamina yang berani membenahi birokrasi bertele-tele dan sebobrok ini. Tentu ini terjadi karena petinggi-petinggi di Pertamina sudah berada pada zona nyaman dan ingin mendapat kemewahan seperti ini dari perusahaan milik negara. Sudah dikasih gaji besar, kinerja Pertamina menjadi sangat tidak produktif, karena tidak inovatif mengolah bisnis (harus di ulas lain).
Saya kira itulah mengapa saya secara pribadi ingin sekali Pak Ahok menjadi Direktur Utama Pertamina, karena dia memiliki keandalan mengolah, dan berani melawan birokrasi seperti Pertamina. Jadi jika ada Serikat Karyawan Pertamina yang menolak kehadiran Ahok ke Pertamina, itu tak lebih karena mereka sudah sangat nyaman hidup dalam kultur seperti ini. Kultur tertutup seperti ini membuka ruang bagi korupsi dan membuat perusahaan milik negara tidak bisa berkompetisi dalam persaingan yang makin mengglobal sekarang ini.
Peneliti Alpha Research Database, Indonesia*