Ekbis Hot Topic

Kantongi Predikat Produsen CPO Terbesar, Industri Sawit Indonesia Berkontribusi Besar Bagi Dunia

Channel9.id – Jakarta. Perkebunan kelapa sawit sebagai industri hulu sawit yang tahan krisis memang berkembang di Indonesia. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tahun 2022, produksi CPO Indonesia telah mencapai 46,73 juta ton.

Tiap tahunnya, produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terus bertumbuh hingga banyak mendorong pertumbuhan ekonomi di masyarakat sekaligus pertumbuhan industri hilir nasional.

Produksi CPO yang terus bertumbuh ini pun kian memperkokoh keberadaan Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia. Predikat sebagai produsen CPO terbesar itu telah didampuk Indonesia sejak 2006 silam hingga dewasa ini. Sebab, Indonesia berhasil melampaui produksi CPO Malaysia, setahun sebelumnya.

Peranan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia ini menjadi sangat penting keberadaannya lantaran konsumsi masyarakat global selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Secara global, produksi CPO Indonesia telah berkontribusi hingga 51 persen dari pasokan minyak sawit yang dikonsumsi masyarakat dunia.

Terkait hal itu, Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), Khadikin mengatakan jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia hingga saat ini sebanyak 2.511 yang tersebar di 26 provinsi. Sementara kapasitas produksinya telah mencapai 84,8 juta ton dengan utilisasi sekitar 55 persen dan menghasilkan 47 juta ton CPO.

“Indonesia merupakan negara Penghasil kelapa sawit nomor pertama di Dunia dengan pangsa pasar 55 persen dari Pasar Global,” kata Khadikin dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Sawit Berkelanjutan Volume 14 bertajuk ‘Mengintegrasikan Industri Hulu Hingga Hilir Sawit Berkelanjutan’, yang diadakan media InfoSAWIT didukung BPDPKS di Jakarta, Rabu (7/6/2023).

Lebih lanjut, kata Khadikin, sekitar 60 persen produk minyak sawit Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor. Artinya, Indonesia berkontribusi terhadap ketersediaan barang konsumsi, pangan, dan energi untuk dunia. Dengan perkiraan populasi global mencapai sekitar 9,8 miliar pada tahun 2050, peningkatan kepadatan penduduk perkotaan diprediksi akan menambah kebutuhan 200 juta ton minyak nabati di masa depan. Hal ini dapat dipenuhi oleh minyak sawit yang juga sebagai minyak nabati paling efisien dan produktif.

Terlebih lagi, dengan rata-rata produksi 5 ton per hektar yang hanya membutuhkan sekitar 4 juta hektar lahan pertanian. Hal ini dapat menghemat ratusan juta hektar lahan yang bisa digunakan untuk keperluan lain.

Diakui Khadikin, Industri hasil perkebunan memiliki peran penting bagi sektor industri agro. Pada semester I tahun 2022 lalu, dari total ekspor industri agro sebesar US$ 25,12 milyar, sebanyak 56,6 persennya didominasi oleh produk industri hasil perkebunan.

“Ini sesuai dengan visi Visi Hilirisasi 2045: Indonesia menjadi pusat produsen dan konsumen produk turunan minyak sawit dunia, sehingga mampu menjadi price setter (penentu harga) CPO global, melalui roadmap hilirisasi industri kelapa sawit nasional, dengan menerapkan peningkatan produktivitas, hilirisasi (oleofood, oleokimia, biofuels), membenahi ekosistem, tata kelola, dan capacitiy building,” tutur Khadikin.

Sementara itu, Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Achmad Maulizal Sutawijaya menyebut sektor sawit di Indonesia yang melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja dapat terus mendorong PDB di sektor perkebunan pada angka yang positif. Sehingga, lanjutnya, PDB Indonesia di TW3 2022 dapat bertumbuh positif di angka 5,72 persen, di mana volume ekspor minyak sawit pada 2022 lalu mencapai 34,67 juta ton dengan nilai ekspor sebesar RP 34,5 triliun.

“Kebijakan pungutan ekspor telah berhasil mendorong hilirisasi dengan komposisi ekspor CPO yang terus menurun. Disamping itu, capaian kinerja imbal hasil dana kelolaan BPDPKS di tahun 2022 mencapai Rp 800 miliar atau naik 123,31 persen,” ujarnya.

Namun, Maulizal mengatakan, Europe Deforestation Regulations (EUDR) menjadi tantangan bagi industri kelapa sawit saat ini. Meski begitu, lanjutnya, negara produsen minyak sawit masih memiliki bargaining position karena terlihat kebutuhan konsumsi domestik akan minyak nabati di Uni Eropa belum terpenuhi dan dipenuhi oleh negara Importir minyak nabati

Ia mengatakan, peningkatan demand bahan bakar biodiesel di Uni Eropa merupakan peluang bagi kelapa sawit untuk terus melakukan penetrasi pasar.

“Namun dengan implementasi EUDR di tahun 2023, produsen biodiesel sawit di Indonesia perlu meningkatkan aspek sustainability dari rantai pasoknya sehingga pangsa pasar bahan baku industri biodiesel di Uni Eropa tidak menurun,” kata Mauli.

Sebab itu, guna mendukung industri ke depan akan dilakukan landasan strategi komunikasi untuk wilayah Uni Eropa melalui empat langkah. Pertama, legal actions untuk menyelesaikan permasalahan diskriminasi terkait perdagangan kelapa sawit Indonesia.

Kedua, bilateral relationships untuk menjalin hubungan bilateral sebagai upaya persuasive antar negara untuk meredam tren diskriminasi kelapa sawit pada negara-negara Uni Eropa.

Ketiga, certification untuk menerapkan sertifikasi sustainable yang diakui internasional untuk menembus pasar ekspor.

“Serta keempat media coverage dengan memanfaatkan channel komunikasi yang paling dipercaya di 3 (tiga) negara (Jerman, Prancis dan Belgia),” ungkap Mauli.

Keberadaan produksi CPO yang terus bertumbuh tiap tahunnya ini tentu membutuhkan dukungan dari banyak pihak guna mengembangkan industri minyak sawit berkelanjutan di Indonesia. Dukungan juga dibutuhkan guna memperkuat penetrasi pasar domestik akan minyak sawit berkelanjutan.

Baca juga: Pemerintah Pastikan Industri Sawit di Indonesia Berkelanjutan

Baca juga: Kontribusi Besar Sawit Kepada Perekonomian Nasional

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  3  =