Channel9.id-Jakarta. Nampaknya pemerintah menyambut kritikan masyarakat untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Diketahui, UU ini memang telah lama dipersoalkan karena dinilai banyak dampak negatifnya, utamanya bagi yang digugat.
Adapun salah satu pihak yang turut mengkritik UU tersebut ialah SAFEnet, yaitu Badan Hukum Perkumpulan yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menilai pada Selasa (16/2) bahwa pihaknya sejak awal meminta revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Pasalnya, UU ini punya banyak pasal yang bermasalah dan karet.
“Banyak yang dipidanakan dengan pasal 27-29 dan pasal itu dipaksakan selain duplikasi hukum dengan KUHP. Ada pasal rawan lain yang bisa disalahgunakan misalnya internet shutdown. Itu harus diperbaiki,” ujar dia.
Selain itu, Damar mengatakan bahwa UU ITE telah berdampak secara sosial dan politik. “Politisi memakai UU ITE untuk menjatuhkan lawan. Dampak sosialnya, orang bisa saling melaporkan karena balas dendam, barter kasus, terapi kejut dan mengkriminalkan orang kritis,” lanjutnya.
Ia memaparkan bahwa tingkat penghukuman dari UU ITE mencapai 96,8% dan kemungkinan dipenjara hingga 88%. Kendati jumlah hukuman di pasal 45 dikurangi, yang jadi masalah ialah ialah pasal penjeratnya belum diubah.
“Dalam prakteknya penahanan masih terjadi dan pakai Pasal 28 ayat 2. Problem tak selesai hanya karena perubahan jumlah hukuman,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Damar mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik apabila pemerintah mau serius merevisi UU ITE. “Bolanya sekarang di pemerintah,” tandasnya.
Menurut SAFEnet, berikut ini pasal karet UU ITE yang perlu direvisi, lantaran multitafsir:
1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
(LH)