Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Mencermati tren harga crude oil dunia sejak tahun 2014/2015, harga crude oil turun terus dan bertahan lama di bawah USD 100/barel bahkan pernah menyentuh harga USD 20/barel di tahun 2020. Sayangnya Pertamina tidak melakukan stok selama kurun waktu itu. Atau setidaknya tingkatkan stok dari 3 minggu konsumsi ke atas 3 bulan. Padahal kita market ke lima terbesar dunia. Gak ada ruginya buat stok karena daya dukung market besar sekali. Dan lagi Jokowi sudah beri risk management berupa dana kompensasi.
Mengapa ? Jawabnya ada pada masalah bisnis Pertamina dengan aturan yang melekat. Karena kita tidak punya stok cukup di atas 3 bulan maka harga dihitung berdasarkan rata-rata harga Mean of Platts Singapore (MOPS). Itu Karena stok dikendalikan oleh Singapore. Maklum Singapore punya bunker oil raksasa. Juga punya refinery. Beberapa NOC pemilik kontrak revenue sharing di Indonesia simpan crude nya di Singapura. Jadi kita tergantung Singapura.
Nah barusan Pertamina sudah mengumumkan rencana kenaikan harga Pertalite berkisar Rp.10.000/liter. Namun rapat Menko Perekonomian bersikap “Terkait dengan harga BBM, menurutnya masih dikaji dalam bentuk beberapa opsi. Baik itu menaikkan harga maupun menambah subsidi melalui APBN. Termasuk pemberian bantuan sosial apabila opsi yang diambil adalah kenaikan harga.“
Yang pasti ini kelanjutan dari pagu anggaran subsidi sebesar Rp.502 triliun untuk BBM dan dana kompensasi yang diperkirakan akan jebol sebelum tahun akhir anggaran.
Sekedar hitungan sederhana perihal subsidi itu. Jumlah kendaraan data tahun 2019 ada 133 juta. 60% subsidi itu dinikmati kendaraan roda empat yang jumlahnya 11,6% dari total kendaraan. Setiap pemilik roda empat menikmati subsidi Rp.18 juta setahun atau Rp.50.000 per hari. Selebihnya 40% subsidi dinikmati roda dua, yaitu 89,4% dari 133 juta kendaraan di Indonesia.
Dari hasil rapat Menko Perekonomian kemarin, ternyata pemerintah masih wait and see ada beberapa opsi rencana kenaikan harga BBM atau pengurangan subsidi. Alasannya pada soal khawatir akan dampak politik terhadap kenaikan BBM. Apalagi Buruh sudah ancam akan adakan mogok nasional. Biasanya kalau buruh mogok maka itu akan jadi leverage atas issue lain terutama soal keadilan ekonomi yang dianggap seksi oleh oposisi.
Masalah subsidi sudah jadi issue sejak puluhan tahun. Penyebab membengkaknya subsidi itu karena tata niaga migas dan regulasi tidak berpihak kepada kemandirian. Kita telat melakukan peningkatan kapasitas kilang. Juga tidak ada niat untuk mengelola stok migas berbasis supply chain industry. Padahal kita salah satu negara penghasil migas dan pasar BBM terbesar nomor lima dunia. Sebetulnya dengan adanya dua potensi ini tidak sulit menjadikan sumber daya migas sebagai kekuatan ekonomi nasional, bukan malah jadi masalah nasional.
Baca juga: Flashback Kasus Kopi Sianida
Seharusnya masalah kenaikan harga BBM ini dijadikan momentum untuk perbaikan tata niaga dan restrukturisasi Pertamina agar bisa jadi market maker dan provider BBM beserta downstream nya. Dengan perbaikan tata niaga itu memungkinkan terciptanya ekosistem financial untuk industri downstream dan distribusi maupun trading. Selagi Pertamina hanya government agent dan broker, selama itu APBN jadi bancakan. Setiap kebijakan subsidi pasti akan berdampak moral hazard.
Jadi pak Jokowi, gak usah ragu. Naikkan saja BBM, segera lakukan reformasi Pertamina dan revisi UU Migas 2001. Saya yakin kalau ada upaya reformasi tata niaga migas, andaikan subsidi dan kompensasi dicabut orang banyak bisa mengerti dan walau pahit, kita bergerak ke arah yang lebih baik menuju kemandirian BBM. Kalau gak, selamanya negeri ini rentan. Bukan dirusak dari luar tapi digrogotin dari dalam sendiri.
Ingat dulu ketika tahun awal Jokowi berkuasa, subsidi BBM dicabut di saat harga tinggi. Apakah trus terjadi masalah gawat? Tidak juga khan. Dampaknya Jokowi bisa punya ruang fiskal untuk ekspansi pembangunan infrastruktur. Sekian. Merdeka!!!
*Lapeksi