Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Pada awalnya adalah hanya Yang Satu (The One), suatu realitas tunggal yang tak terbagi (non-duality), sedang realitas yang berjamak adalah maya, suatu penampakan murni. Dalam kata-kata Meister Eckhart:untuk melihat sesuatu adalah berarti melihatnya dalam kesatuan Tuhan. Sebab penampakan yang jamak dan mendua sesungguhnya adalah kesatuan abadi(Rudolf Otto, Mysticism East and West:1972).
Disadari, ronta-ronta jiwa untuk mencari dan memahami Sang Pencipta bersifat primordial. Lalu, dalam pencarian itu, jagad manusia diwarnai oleh kemajemukan dalam soal keyakinan (agama). Tetapi, kemajemukan ini ternyata kerapkali memuncahkan segebung tegangan yang banyak menguras air mata dan darah.
Dibalik itu, terpendam pandangan sufistik yang sudah lama menjadi kawah condrodimuka bagi insan-insan pelakunya untuk membelingut batin dan berpuncak pada pantulan kebeningan hati dalam menatap realitas kemajemukan umat manusia. Berbeda dengan teolog dan Fukaha, kaum sufi melalui fakultas rasa (dzauq) memiliki sikap yang sangat cair terhadap agama lain. Menurut Dr Abu Ala al-Afifi (Al-Tashawwuf, al-Tsaurah al-Ruhiyah Fi al-Islam:1963), tasawuf hakikatnya bisa membawa pada sikap toleransi terhadap segala perbedaan terutama soal keyakinan. Dan terbukti, secara doktrinal dan historis, tasawuf dikenal sepanjang sejarah sebagai paling toleran, tak hanya inklusif, tetapi pluralis dalam memandang perbedaan agama. Demikianlah, tasawuf melaju dan derapnya senantiasa bersentuhan dengan wilayah antar iman (interfaith).
Baca juga: Jihad Tarekat
Geneologi dan Diversifikasi Tasawuf
Tasawuf atau mistisisme Islam adalah aliran pemikiran yang dilengkapi dengan leksikon tehnis, wacana dan teori-teori yang dikendalikan dengan ketat. Gaya hidup religiusnya bersifat individual maupun sosial dalam proses mewujudkan kebenaran spiritual. Kebenaran spiritual itulah yang akhirnya membawa berbagai varian dan berkembang secara luar biasa yang acapkali memancing kecurigaan dari sayap pemikiran lain. Dicurigai, karena kehadirannya identik dengan misteri besar dalam habitat keilmuan keislaman. Dan dipercayai, karena dia memasuki wilayah otoritas keagamaan, apalagi menawarkan kedamaian dan kebenaran esoterik.
Sikap para sufi yang cenderung eksentrik menjadi karakter sendiri di tengah persaingan ketat antara disiplin ilmu kalam, fikih dan filsafat yang telah mapan sebelumnya. Persepsi tentang Tuhan menjadi lahan perselisihan antar pemikiran ini. Antara Tuhan yang hanya sebagai obyek dari setiap ritus-ritus dalam perspektif Fikih, atau sebagai zat yang bersifat sangat sempurna sehingga sulit dijangkau dalam perspektif Kalam, atau sebagai suatu kebajikan murni yang transenden sebagaimana klaim filsafat. Dan, tasawuf menyodorkan wacana lain yaitu peningkatan kualitas dalam komunikasi interpersonal dengan Tuhan serta mencamkan pada kebenaran intuitif.
Persitegangan antar disiplin keislaman ini berujung pada terjadinya pembelahan diantara ilmuwan muslim. Di satu kutub, berdiri barisan kaum sufi yang ditipifikasikan sebagai ahl-al Bathin yakni pengikut kebenaran batin. Dan pada kutub lain adalah para penggali kebenaran rasional yang ditipifikasikan sebagai ahl al-Dzahir. Para teolog menuduh tasawuf telah melenceng dalam mengidealkan relasi antara manusia dan Tuhan. Sedang kalangan ahli fikih mempersepsikan tasawuf sebagai pengusung heretisme (bidah). Dan para filsuf muslim menghakimi dengan menyebut tasawuf telah keluar dari penalaran filosofis yang logis.
Secara historis, kemunculan tasawuf tak dapat dilepaskan dari gelegar kenyataan kronisnya konflik politis saat dunia Islam berada di tubir kehancuran, serta pancaroba panjang disiplin ilmu eksoteris Islam pada pertengahan abad pertama Hijriah. Walaupun kodifikasi tehnik sufisme baru muncul belakangan, namun cikal bakalnya sudah dapat ditemukan kala itu. Hasan Basri (624-728 M), seorang Tabiin (masa setelah sahabat) yang dianggap sebagai pionir sufisme telah mengkonservasikan tata nilai sufisme. Hasan Basri sendiri dikenal sebagai sosok yang amat membenci terhadap perilaku Muawiyah yang dianggapnya telah melenceng dari korider keislaman. Sejak dini, ia sudah mentransmisikan kepada murid-muridnya konsepsi tentang zuhud dan raja (asketis dan ekspektasi). Beberapa muridnya adalah Malik bin Dinar, Abdul Wahid bin Zaid, Sufyan al-Tsauri, Fudhail bin Iyyad dan Ibrahim bin Adham.
Akan tetapi, penamaan sufi sesungguhnya sudah muncul semenjak zaman Rasulullah, dikarenakan sifat dan karakter mereka yang menyerupai para ahlushshuffah. Menurut al-Thusi, para sufi merupakan sisa-sisa dari ahlushshuffah. Mereka adalah sebagian kecil sahabat yang tinggal di bagian belakang sisi kiri dari Masjid Madinah. Pada umumnya mereka fakir dan tidak memiliki saudara yang menanggung biaya hidup (al-Luma;1960).
Dalam penelitian tentang tasawuf selama ini acapkali berputar-putar pada persoalan tentang asal muasal istilah sufi. Sebaliknya, Jurji Zaidan dan Muhammad Luthfi Jumah lebih menekankan pada definisi sufi sebagai orang bijak yang mencari kebijaksanaan ilahi disertai upaya menempuh kebijaksanaan tersebut untuk menggapai hakikat ketuhanan (al-haqiqah ilahiyah). Dan para sufi dikenal keilmuan dan karakteristiknya justru setelah penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab serta masuknya istilah filsafat dalam penerjemahan (M. Luthfi Jumah, Tarikh al-Falsafah al-Islam al-Masyriq wa al-Maghrib;tt)
Namun demikian, bisa disebut Hassan Bahsrilah, tokoh pertama yang membangun pemahaman sufistik dalam keberagamaan. Dan periode paska-Hasan Bashri, sejarah mencatat munculnya Rabiah al-Adawiyah (w. 185/801) yang mendialogkan emosi dan sufisme yang kemudian melahirkan konsep hubb (cinta). Dialah satu-satunya sufi perempuan yang produktif melantunkan lirik-lirik sufisme cinta. Asmara dan kerinduannya semata dialamatkan kepada Tuhan. Maka tasawuf yang sejak pertamanya baru sampai tingkatan zuhud, pada masa Rabiahlah berkembang maju menuju mistisisme dalam desains Islam.
Seiring laju sejarah, sufisme bergerak evolutif menuju bentuk tersendiri. Sufisme dikonstruksi kembali lewat perspektif filsafat. Maka sufisme berinteraksi dengan berbagai faham asing yang diadopsi dalam pemikiran Arab seperti mistisisme Plotinus, Sains Alexandarian, teologi Proclus, gnosis Alexandarian, gnosis Persia, astrologi Sabiin, Hermetisisme dan Stoicisme (A.Hanafi:1969). Dari sinilah, kemudian sufisme berkompromi dengan konsep-konsep seperti emanasi, iluminasi, panteisme atau inkarnasi.
Dalam tradisi pemikiran Islam, kesadaran untuk mengarungi ruang esoterisme, dapat dibelah dalam dua aspek yaitu Gnosis (Marifat atau Irfan) dan filsafat atau teosofi (al-hikmah) yang memandang bahwa kebenaran unik yang merupakan agama yang benar telah terpendam dalam ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Ajaran itu diyakini telah ada semenjak nabi Adam yang kemudian sampai pada nabi Idris-dalam tradisi Yunani dikenal dengan nama Hermes sebagai Father of Philosopher (Abu al-Hukama)-dan selanjutnya dikembangkan dan dipelihara oleh para filsuf Yunani, Persia Kuno dan akhirnya oleh pemikir Islam (Komaruddin Hidayat dan A.W. Nafis:1995).
Rangkaian silsilah Hermes ini terjadi melalui dua jalur. Pertama dari Hermes, Ascelepius, Pytagoras, Empedocles, Plato, Neo-Platonian, Dzun Nun al-Mishri dan Sahl al-Tustari. Kedua, dari Persian Priest King, Kiumarth, Faridun, Kai Khusrau, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan seterusnya (M.M. Syarif, History of Muslem Philosopher:1995). Dari rentetan geneologi kebijaksanaan inilah, dalam sejarah Islam memunculkan weltanschauung kaum sufi yang memandang positif perbedaan agama, betapapun seringkali pandangan sufistik ini dianggap heterodoks dan subversif.
Dalam dunia tasawuf sendiri, dijumpai kolaborasi tasawuf dengan disiplin selain filsafat yang dinamakan tasawuf sunni (amali) dan klimaks pada diri al-Ghazali dengan suksesnya membongkar dan mendamaikan rasionalisme ilmu kalam ortodoks, operasional fikih dan argumentasi filsafat. Disebelah lain, menyeruak kolaborasi antara tasawuf dengan filsafat yang kemudian ditipifikasikan sebagai tasawuf falsafi. Tokoh pertama yang diyakini sebagai peletak dasar jenis tasawuf ini adalah Ibnu Masarrah (w. 319/931) dari Cordoba, Andalusia. Sufi kedua adalah Syihabuddin Suhrawardi (w. 587/1191) dan mencapai puncak pada Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638/1242). Konsep tasawuf falsafi semasa Farabi masih berpusar pada tingkatan tingkatan ittishal (pertemuan dengan Tuhan), kemudian bermetamorfosa menjadi Ittihad (penyatuan dengan Tuhan) dan di tangan al-Hallaj (w. 309/921) menuju Hulul (Abu Nashr al-Saraj, Al-Luma:1960).
Tasawuf falsafi ini meraih bentuk puncaknya ditangan Ibnu Arabi. Dengan pengetahuan yang amat kaya baik dalam ilmu-ilmu keislaman maupun filsafat Yunani, ia menghasilkan karya magnum opusnya yang sangat banyak diantaranya Fushush al-Hikam, Tahshil al-Saadah dan Futuhat al-Makkiyah. Hampir semua praktik, pengajaran dan ide-idenya yang berkembang di kalangan sufi dibukukannya. Topik sentralnya adalah seputar konsep Kesatuan Wujud (wihdat al-Wujud). Murid-muridnya yang terkenal adalah seperti al-Qunawi, al-Farqani, Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jilli. Aliran tasawuf-falsafi ini banyak disambut antusias dan survive dikalangan syiah umumnya Syiah Ismailiah dan Itsna Asyariah.
Pendekatan Kesatuan Wujud
Sejak awal, sufisme dalam Islam diwatakkan oleh sebuah penekanan pada masalah-masalah spiritual fundamental tertentu. Hal ini memberi sebuah kunci pada doktrin-doktrin esoteriknya sebagaimana telah dibongkar-bongkar selama berabad-abad kemudian. Para sufi senantiasa berkonsentrasi pada pemahaman visioner (batin) dan praktis (lahir), melawan pemahaman yang murni spekulatif atau teoritis terhadap pemaknaan Kesatuan Wujud. Bagi kaum sufi, pemahaman teoritis yang berpangkal pada rasio dianggap hampa terhadap keuntungan spiritual dan bahkan secara sosial dan moral membawa seseorang pada kekaburan atas kebenaran.
Bagi kaum sufi, kesatuan wujud teoritis merupakan sebuah filsafat yang digapai oleh akal rasional (aql), dan karenanya milik wilayah ego. Kepercayaan pada filsafat akan mudah membawa seseorang menyelewengkan filsafat ini untuk membenarkan kepuasan diri dalam berbagai keburukan atau perilaku ofensif dengan mengklaim sebagai kebenaran tunggal atau grand narrative. Karena itu, kepercayaan semacam ini justru akan merendahkan seseorang dari maqam puncak kemanusiaan.
Sebaliknya, kesatuan wujud secara visioner menyiratkan penglihatan hati, sebuah kemampuan penglihatan yang dikenal hanya oleh para pemilik hati yakni mereka yang selalu menjauhkan diri dari wilayah ego dan kepribadian temporal berkat cinta ilahi dan merenungkan Tuhan melalui penglihatan Tuhan. Pendekatan visioner semata didasarkan pada cinta dan dipraktikkan oleh mereka yang bebas dari kepentingan pribadi.
Dengan pendekatan visioner ini, sesungguhnya kaum sufi hendak membangun relasi interpersonal dengan Tuhan yang terbina secara progresif dan dinamis. Relasi tersebut menuntut sufi untuk meminimalkan bahkan menagasikan segala interaksi (alaqah) dengan kefanaan, realitas selain Tuhan. Cinta kepada-Nya tak boleh dicemari dengan perkara profan.
Pendekatan visioner ini secara praksis justru bisa membawa implikasi-sebagaimana dinyatakan oleh Dr Javad Nurbakhsh (Warisan Sufi:2002)-keyakinan sufistik yang menekankan sikap pelayanan pada masyarakat, memberi panutan kemuliaan manusia, meneladankan semangat kerja, kedermawanan, kesopanan spiritual, sikap sayang kepada binatang, dan toleransi yang begitu besar terhadap agama lain seperti dicontohkan oleh Abu Said al-Khair, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Kharaqani, Abu Husein al-Nuri, Abu Yazid al-Bustami atau Ruzbihan Baqli.
Penekanan pada sikap praksis ini menjadi jelas, lantaran pemahaman spiritual sufi terfokus pada satu media yaitu hati manusia (al-qalb). Hati yang diposisikan sebagai base camp untuk seluruh pengalaman spiritual adalah kerajaan Tuhan yang diititipkan pada tubuh manusia. Karena telah berada dalam tubuh manusia, maka hati merupakan ruang terbuka tempat bermuaranya seluruh intuisi dan potensi. Ibnu Athaillah al-Askandari menyebut bahwa dalam hati pula, cahaya ketuhanan (nur ilahiah) akan terpancarkan (al-Hikam, tt).
Maka setiap perbuatan yang diperintahkan Tuhan seperti ketaatan dan (Thaat) dan kerelaan (ridha) akan menjadi pelita hati. Sebaliknya, setiap kegelapan akan menitikkan kekelaman hati. Pada akhirnya, bila komposisi kegelapan lebih dominan, maka akumulasi dari titik-titik hitam akan menjadi penghalang (hijab) pandangan mata hati kepada Tuhan. Akibatnya, manusia tak akan bisa menikmati pertemuan dengan Tuhan. Kondisi inilah yang akan menjadi petaka dahsyat bagi sufi. Oleh sebab itu, kontinuitas katharsis diri (tazkiyah al-nafs) terhadap media persinggahan Tuhan harus selalu dijaga ketat dan ini memerlukan disiplin-disiplin tertentu yang disebut dengan Riyadhah dan Mujahadah.
Kesatuan Wujud menurut Ibnu Arabi merupakan doktrin yang meyakini bahwa wujud adalah satu realitas, tiada sesuatupun bersama dengannya; wujud tidak lain adalah al-Haqq, karena tiada sesuatupun dalam wujud selain Dia; tiada yang tampak dalam wujud melainkan wujud al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq dan Dia adalah satu; entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya berbeda; Tuhan adalah esa dalam wujud karena semua yang mungkin yang dapat dilihat, disifati dalam keadaan ini dengan ketiadaan. Semua yang mungkin ini tidak mempunyai wujud, meskipun tampak bagi yang melihat. Tidak ada keserupaan dan pertentangan dalam wujud, karena wujud adalah satu realitas dan sesuatu yang tidak bertentangan dengan dirinya sendiri (Rasail Ibnu Arabi:1948). Ringkasnya, seperti dijelaskan oleh Kausar Azhari Noer dengan menyitir al-Qunawi (1995), keesaan Tuhan tidak menghalangi pluralitas tajalli ilahi, Esa dalam zat, tapi plural dalam penampakan.
Jadilah, pandangan tentang Kesatuan Wujud menjadi landasan pacu sufisme dalam memahami realitas adanya keanekaragaman agama. Beragama memang bersifat fitri atau seperti yang disebut Rudolf Otto sebagai Numinous. Lingkaran perbedaan agama-menurut Ibnu Arabi (Rasail Ibnu Arabi:1948)-tak ubahnya seperti lingkaran setan yang tak punya ujung dan pangkalnya. Dalam lingkaran itu tergambar prinsip kausalitas yang menuntut keharusan perbedaan keberagamaan. Namun dibalik keragaman itu, justru tersimpuh adanya kesatuan. Lingkaran perbedaan itu dapat digambarkan bahwa perbedaan agama-agama (syariat) semata karena perbedaan hubungan keilahiaan, perbedaan keadaan, perbedaan waktu, perbedaan gerakan, perbedaan perhatian, perbedaan tujuan, perbedaan penyingkapan diri dan begitu seterusnya.
Dari kesufian inilah menunjukkan bahwa keanekaragaman agama menjadi suatu keniscayaan, karena keanekaragaman manusia yang hidup pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Yang terpenting adalah mencari titik persamaan (kalimah al-sawa) dalam perbedaan itu. Pemahaman inilah yang sedari dulu justru dilakukan oleh para sufi. Kaum sufi melihat banyak jalan menuju Tuhan, dan untuk meraih kesempurnaan beragama tidak perlu terperangkap pada bentuk-bentuk formalisme dan pragmatisme ritual agama. Sebab semua agama pada dasarnya sama-sama ingin mencapai Realitas Tertinggi (The Ultimate Reality), walaupun dengan nama yang beraneka.
Dalam praksisnya, terlihat bahwa para sufi begitu meluaskan rasa hormat kepada pengikut semua agama lain, serta menolak pertikaian sektarian, fanatisme, dendam dan teror kepada orang lain atas nama agama. Dalam hal ini, Abu Hasan Kharaqani pernah berkata:Aku tidak bergabung dengan siapapun yang secara spiritual menyadari kalau-kalau dia masih mengizinkan hatinya untuk membeda-bedakan pikiran diantara apa yang disebut kebenaran sejati (haqq) dan kesalahan ajaran (bathil).
Para sufi memandang bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi dari pada agama cinta dan kerinduan pada Tuhan. Menurut Jalaluddin Rumi, pertentangan dan perbedaan antar agama hanyalah bertumpu pada kulit luar dan semata soal penamaan saja. Dari sejarah, kita mengenal banyak sufi yang berguru kepada orang-orang Kristiani. Nabi Isa as disebut sebagai guru pertama yang banyak memberikan inspirasi kepada banyak sufi. Begitu pula, Sankara, Mistikus besar India dianggap sebagai guru Ibnu Arabi (Abdul Qadir Mahmud, Falsafah al-Shufiyah Fi al-Islam;tt).
Sufistifikasi Agama
Agama, bagi para sufi tidak hanya mampu disingkap melalui sudut bidik lahiriah, baik secara rasional maupun empirik. Kedua pendekatan ini hanya akan bermanfaat, bila diarahkan demi tujuan regulatif dan aksiologis menyangkut tatanan sosial. Akan tetapi, akibatnya tak rentan dari terbentuknya pemahaman keagamaan yang verbalis. Sebab agama dalam konteks ini tercerap sebagai suatu kekuatanyang bersaling-silang dengan realitas lain (the other).
Berbeda dengan pemahaman seperti itu, para sufi telah merumuskan suatu pemahaman agama yang sangat substantif-holistik dengan mengejawantahkan nilai-nilai esoteris agama. Mereka berangkat dari suatu pengalaman sufistik yang begitu mendasar dan mendalam. Pengalaman mistis antar agama sendiri mempunyai kesamaan. Dan pemikiran universalis dalam wajah Islam sufistik yang dipapraskan oleh kaum sufi merupakan estafeta pemikiran yang telah berlangsung lama dalam ranah dunia kesufian. Suatu pengungkapan yang secara otentik dan bersandar dari hasil penjelajahan intensif dalam samudera keilmuan dan pengamalan jiwa-batini.
Tak pelak, transfer of knowledge and values keagamaan saat ini perlu dibangun melalui kultur sufisme. Setelah sekian lama, agama diajarkan dengan pendekatan yang formalistik-skripturalis dengan hanya menitikberatkan pada kisaran ritual dan pembangunan teologi superior. Penyegaran pemikiran keagamaan tidak harus terpancang dalam wacana dekonstruksi dengan memakai pendekatan antropologis dan historis. Akan tetapi, dibutuhkan juga pembongkaran dalam wilayah penghayatan keagamaan yang berarti melakukan penyegaran atas sisi dalam agama dan manusia sebagai sang penghayatnya. Ekstrimisme dan radikalisme terjadi karena menghilangkan kedalaman atau sisi batin dalam keberagamaan. Demikian juga, dialog antar agama yang telah diusahakan terus menerus selama ini sudah sepatutnya lebih menekankan keterbukaan esoteris baik secara teoritis maupun praksis-emansipatoris, sebagaimana telah diteladankan oleh para sufi terdahulu.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (IDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)