Channel9.id-Jakarta. Ada beberapa kesalahan pejabat dalam melakukan komunikasi publik sehingga membuat masyarakat tidak mempercayai kebijakan pemerintah, bahkan menentangnya. Salah satu kesalahan tersebut diantaranya adalah menyampaikan pesan publik dari sisi penilaian pribadi.
Hal itu diungkapkan praktisi Public Relation Kokok Dirgantoro dalam diskusi daring bertajuk “Komunikasi Ekonomi Selama Pandemi” yang digelar FEM Station, Kamis (22/07) malam.
Kokok mengatakan, pejabat publik harus menyadari bahwa mereka tidak mempunyai ruang privat selama bertemu dengan masyarakat, apalagi di situasi krisis seperti pandemi Covid-19 sekarang.
“Contohnya Twitnya Menkopolhukam Mahfud MD soal sinetron Ikatan Cinta. Padahal maksudnya beliau pribadi yang nulis. Tapi itu kayak gak punya empati. Beliau kan menteri. Maksudnya bisa ditahan dulu, gak usah ngomong kayak gitu. Ngomong di Whatsap Grup gak masalah. Orang jadi ngomong ‘menteri aja ngurusin sinetron, gimana sih orang banyak juga yang meninggal karena corona’. Kan jadi kayak begitu,” ujarnya.
Kokok menilai saat ini sedang terjadi krisis politik akibat resources informasi yang tidak dipercaya masyarakat. “Sebab, informasi di luar pemerintahan lebih dipercaya dibanding pihak pemerintah sendiri. Banyak sekali noise yang bertebaran,” katanya.
“Yang terjadi saat ini mungkin narasinya sama, tapi verbalnya berbeda. Maksudnya sama mungkin,” sambung Kokok.
Menurutnya, seharusnya pemerintah membuat think tank beranggotakan ahli yang berjumlah beberapa orang saja. Saat ini, lanjut Kokok, terlalu banyak juru bicaranya di pemerintahan, terutama terkait pandemi dan kebijakan ekonomi.
“Jadi narasi itu harus dikemas dengan solid dan kemudian ditentukan siapa komunikannya. Harus dihindari komunikasi yang bersifat spontan. Itu one get policy-nya,” tutur Kokok dalam diskusi yang dimoderatori jurnalis senior Hardy Hermawan itu.
Baca juga: Kokok Dirgantoro: Program Perempuan dan Terutama Janda Jadi Prioritas
Menurut Kokok, pejabat publik harus belajar mengatakan ‘no comment’.
“Lebih baik membisu dibanding ngeluarin statemen yang bisa digiring kemana-mana. Sebab, jika wawancara di depan kamera, banyak orang ketakutan akan dirinya sendiri. Tidak semua orang mempunyai publik speaking yang baik,” kata Kokok.
“Di perusahaan sepengalaman saya, jika ada permintaan wawancara itu tertulis. Sebisa mungkin menghindari wawancara langsung. Kecuali kita mempunyai orang yang sangat diandalkan. Sudah biasa menghadapi kamera,” lanjutnya.
Dalam kesempatan sama, Ekonom dari IPB Iman Sugema menyebut bahwa pemulihan ekonomi nasional tergantung dari pada pesan publik yang dilaksanakan pemerintah selaku pengambil kebijakan. Komunikasi yang buruk tentunya akan membentuk ekspektasi yang pesimistik.
Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB University itu menilai, dalam situasi krisis seperti pandemi saat ini, membentuk ekspektasi yang sangat optimistik itu menjadi suatu keharusan.
“Perusahaan dan masyarakat dalam membuat ekspektasi itu sesuai dengan apa yang disampaikan pemerintah. Jika pesannya optimis, bagus dan konsisten dengan situasi yang akan terjadi, maka kita akan menyaksikan, jikapun situasinya krisis, tentu tidak akan terlalu dalam. Maka, akan terjadi keseragaman reaksi dari masyarakat dan pelaku usaha. Dengan begitu akan lebih mudah untuk menangani krisis ekonominya sekaligus juga menangani pandeminya,” ujarnya.
Iman mengatakan, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini terbilang cukup buruk dan ini juga terjadi pada pemerintahan dunia lainnya.
“Tidak hanya di Indonesia, pemerintah di belahan dunia pun gagap dalam mengkomunikasikan baik mengenai kebijakan Covid-19 maupun kebijakan ekonomi yang related terhadap penanggulangan Covid-19. Baik di level nasional maupun daerah gagap. Silang pendapat antara pusat dan daerah sangat kontras. Ini sangat mengganggu pembentukan ekspektasi yang optimistic,” jelasnya.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga, kata Iman, diakibatkan beberapa sebab. Diantaranya residu politik Pilgub DKI era Ahok dan Pilpres 2019.
“Seperti situasi pandemi, dimana suatu kejadian yang baru dialami dan juga residu politik sejak 2019, tokoh-tokoh nasional terbelah. Mulai jaman Ahok hingga sekarang residunya masih ada. Selain itu, era teknologi sekarang berbeda dengan 5 atau 10 tahun yang lalu, dimana pengaruh media sosial menjadi sangat dominan. Saat ini media mainstrem mengutip apa yang terjadi di medsos,” ungkapnya.