Channel9.id – Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyesalkan pendekatan kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam membubarkan massa aksi tolak Rancangan Undang-Undang Pilkada pada Kamis (22/8/2024).
Untuk diketahui, berbagai elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia untuk menuntut DPR RI menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Namun, dalam aksi yang digelar pada Kamis (22/8/2024) itu diwarnai dengan bentrokan massa aksi dengan aparat kepolisian.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Uli Parulian Sihombing menyebut aparat TNI juga turun dan turut serta mengamankan unjuk rasa tersebut. Hingga Kamis, pukul 20.00 WIB, berdasarkan laporan yang disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kepada Komnas HAM, ada 159 peserta aksi yang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya.
“Komnas HAM menyesalkan cara pembubaran aksi unjuk rasa 22 Agustus 2024 oleh aparat penegak hukum dengan mengggunakan gas air mata, pemukulan, beberapa peserta aksi, keterlibatan TNI yang terindikasi penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang semestinya mengedepankan pendekatan humanis,” ujar Uli dalam siaran pers resmi Komnas Ham, dikutip Jumat (23/8/2024).
Menurutnya, aksi unjuk rasa merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi di muka umum. Oleh karena itu, lanjut Uli, Komnas HAM menyesalkan penangkapan terhadap 159 peserta aksi yang ditahan di Polda Metro Jaya.
“Komnas HAM mendorong agar aparat penegak hukum segera membebaskan seluruh peserta unjuk rasa yang ditangkap dan ditahan dalam aksi unjuk rasa hari ini,” jelasnya.
Selain itu, kata Uli, Komnas HAM mendorong penyelenggara negara dan aparat penegak hukum memastikan kondusifitas aksi unjuk rasa yang akan berlangsung pada hari-hari ke depan.
“Atas dasar penghormatan, perlindungan dan pemenuhan kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai wujud negara demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” imbuh Uli.
Adapun aksi unjuk rasa tersebut merespon rencana revisi RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pilkada serentak dan penghitungan usia 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur pada saat penetapan calon.
Putusan MK tersebut berbeda dengan putusan MA yang sebelumnya mengabulkan gugatan tentang usia calon kepala daerah, penghitungan usia 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur pada saat pelantikan.
Masyarakat dalam orasinya menyesalkan rencana Baleg DPR RI yang secara kilat akan merevisi RUU Pilkada yang disinyalir akan bertentangan dengan putusan MK. Revisi tersebut dinilai mencederai prinsip-prinsip demokrasi, terutama dari aspek kepatuhan terhadap putusan MK yang final dan mengikat sejak dibacakan.
HT