Hot Topic

Kuasa Hukum : Permohonan PK Jaksa Tabrak KUHAP, Putusan MK, SEMA dan Keputusan MA

Channel9.id- Jakarta. Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa KPK terhadap putusan kasasi yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), hari ini kembali digelar di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat(12/3).

Dengan agenda penanda tanganan berita acara sidang oleh Hakim, Jaksa dan Tim Kuasa Hukum. Sidang yang dipimpin oleh hakim Rosmina sebagai Ketua, didampingi hakim anggota Saifudin Zuhri dan Jult Mandapot Lumban Gaol tinggal memberikan pertimbangan hukum yang akan diserahkan kepada Mahkamah Agung.

Sejak awal persidangan SAT sangat yakin jika proses pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memenuhi landasan hukum, tidak memiliki legal standing maupun syarat subyektif dan obyektif. Sesuai  dengan KUHAP, Putusan MK maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Keputusan MA.

Dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1) KUHAP, mengatur bahwa pihak yang mempunyai hak mengajukan PK hanyalah terpidana atau ahli warisnya dan putusan yang dapat diajukan PK hanya putusan pemidanaan sedangkan putusan menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak bisa diajukan PK. Dalam putusan Kasasi MA No 1555 K/Pidsus/2019 dinyatakan bahwa termohon PK dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

Sesuai dengan putusan MA tersebut maka SAT selaku termohon PK dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. SAT tidak pernah menjadi terpidana,karena tidak pernah menjalani pemidanaan. Dalam putusannya MA, juga sekaligus memulihkan harkat dan martabat SAT sebagai orang yang sudah terlepas dari semua tuntutan hukum.

Menurut kuasa hukum SAT, Hasbullah SH, MH, menerangkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang secara tegas menyatakan jaksa KPK tidak bisa mengajukan PK, MK memberikan penafsiran konstitusional atas uji materi ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

Dalam pertimbangan putusan MK No 33/PUU-XIV/2016, ada empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan, yaitu :1)Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Peninjauan kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.3) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.4) Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Larangan Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK dalam perkara pidana sudah ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/BUA.6/HS/SP/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 Tahun 2014. Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dijelaskan:

“Butir 3: Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK. Sebab yang berhak mengajukan PK sudah jelas diatur dalam KUHAP (Pasal 263 ayat (1), untuk itu tidak dapat ditafsirkan dan disimpangi serta sesuai dengan Asas KUHAP bahwa hak-hak asasi Terdakwa/Terpidana lebih diutamakan.”

Berdasarkan pertimbangan dalam SEMA No. 04/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/dapat disimpulkan bahwa Pengajuan PK oleh  Jaksa KPK tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 266 ayat (2) KUHAP, karena  subyek  yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya.

Objekdari pengajuan Peninjauan Kembali tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, dan dalam putusan kasasi MA No. 1555 K/Pidsus/2019 dinyatakan bahwa Termohon PK dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechsvervolging).

Dengan demikian, “Pemohon PK  tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) melakukan Upaya Peninjauan Kembali karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil (Pasal 263 ayat (1) dan ayat (3) Jo. 266 ayat (2) KUHAP)dan bertentangandengan, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD RI 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016 serta putusan  SEMA No. 04 /BUA.6/HS/SP/III/2014,” pungkas Hasbullah SH,MH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  48  =  51