Channel9.id, Jakarta – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China berdampak signifikan terhadap ekspor logam tanah jarang, khususnya untuk pasar AS. Data terbaru dari bea cukai Tiongkok menunjukkan bahwa pengiriman bahan baku vital pembuat chip semikonduktor itu anjlok tajam pada Mei 2025.
Ekspor magnet logam tanah jarang China—komponen penting dalam industri kendaraan listrik, pertahanan, hingga perangkat digital—merosot menjadi hanya 1.238 ton. Jumlah ini merupakan penurunan lebih dari 75% dibandingkan dua bulan sebelumnya dan menjadi level terendah sejak 2015, kecuali saat pandemi Covid-19 memukul perdagangan global pada Februari 2020.
Dampak paling drastis terjadi pada pasar Amerika Serikat, yang hanya menerima 46 ton pada Mei, jauh merosot dibandingkan volume impor pada Maret. Sebagai perbandingan, Vietnam dan Jerman yang menjadi pusat manufaktur teknologi, masing-masing mencatat porsi ekspor sebesar 19% dan 17%.
Penurunan tajam ini terjadi setelah China memperketat kontrol ekspor sebagai respons terhadap kebijakan tarif tinggi dari Washington. Sejak awal April, Beijing membatasi ekspor produk berbasis logam tanah jarang sebagai bagian dari eskalasi perang dagang dengan AS. Kedua negara sempat mencoba meredakan ketegangan melalui perundingan di London awal Juni, yang kemudian memunculkan klaim dari Presiden AS Donald Trump bahwa masalah tanah jarang telah “diselesaikan.”
Namun, hingga kini belum jelas apakah China akan melonggarkan kontrol ekspornya pasca pertemuan tersebut. Sebagai produsen dominan dengan kontribusi sekitar 90% pasokan tanah jarang global, keputusan Tiongkok memainkan peran besar dalam stabilitas pasokan industri teknologi dunia.
Sementara itu, total nilai ekspor China untuk logam tanah jarang dan produknya pada Mei hanya menyentuh sekitar US$60 juta, angka yang merefleksikan tekanan tajam pada perdagangan komoditas strategis ini di tengah ketegangan geopolitik global yang terus berlangsung.