P2G: Maraknya Tes Calistung sebagai Syarat Masuk SD Akibat Minim Pengawasan
Nasional

Literasi yang Rendah hingga Dominasi Tenaga Kerja SD Absen dalam Debat Capres, Begini Kata P2G

Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan dengan seksama jalannya Debat Calon Presiden (Capres) khusus mengenai pendidikan Minggu, 4 Februari 2024. Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyatakan bahwa sejauh ini gagasan pendidikan ketiga Capres masih bersifat gimmick dan normatif saja.
“Menyimak debat Capres isu pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional,” katanya dalam pernyataan tertulis, Senin (5/2/2024).

Satriwan menyayangkan bahwa ketiga Capres belum memperhatikan data-data riil aktual dan belum menawarkan solusi kongkrit yang menunjukan ragam masalah kualitas pendidikan Indonesia.

Pertama, nilai literasi dan matematika yang masih rendah.
Hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) tahun 2022, terungkap fakta bahwa 1 dari 2 anak Indonesia belum mampu mencapai kompetensi minimum literasi dan 3 dari 4 anak Indonesia belum mencapai kompetensi minimum numerasi.

Yang lebih menyedihkan, skor hasil PISA Indonesia 2022 yang terus merosot tajam. Skor Numerasi Matematika Indonesia (366) sama dengan Palestina yang kondisinya jauh lebih tidak stabil karena sekolah mereka porak poranda akibat perang. Skor Numerasi tersebut bahkan menjadi yang terendah sejak 2006.

Skor Literasi Membaca Indonesia pada 2022 juga menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 359. Pada 2009 Indonesia pernah mencatatkan skor PISA literasi membaca sebesar 402.

“Belum ada tawaran perbaikan kongkrit dan signifikan mengenai problematika mendasar rendahnya literasi dan matematika anak Indonesia,” lanjut Satriwan.

Kedua, menurut Satriwan para Capres juga tidak menyinggung bagaimana peringkat Indeks Kompetitif Global Indonesia. Indeks ini sangat berkorelasi dengan pendidikan, sebab bagaimana kebijakan pendidikan nasional akan menentukan seberapa kompetitif peserta didik sebagai sumber daya manusia Indonesia ketika bersaing secara global nanti. Data Global Competitive Index (GCI) 2023, Indonesia belum bisa melampaui posisi Malaysia (27), Thailand (30) dan Singapura (4).

“Dalam GCI, Indonesia memang melompat 10 peringkat, namun sayangnya belum bisa menyalip tetangga sesama Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Singapura.”

Satriwan mengatakan, dalam bersaing secara global, Indonesia juga perlu mempertimbangkan modal yang dimiliki Indonesia. Merujuk Human Capital Index (HCI) 2020, Indonesia menempati posisi 96 dari 174 negara.

Artinya berdasarkan capaian pendidikan dan status kesehatannya, diperkirakan anak Indonesia yang lahir tahun 2020, 18 tahun kemudian hanya dapat mencapai 54% dari potensi produktivitas maksimum.

“Kedua indeks ini tidak disentuh dan tidak diberi solusi kongkrit oleh ketiga Capres dalam debat,” ucapnya.

Ketiga, menurut Satriwan, kunci kesuksesan kebijakan pendidikan dalam menghasilkan tenaga kerja terampil, ada di SMK.

Namun, P2G prihatin bahwa sampai hari ini lulusan SMK masih menyumbangkan pengangguran tertinggi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik sampai Februari 2023 terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9.60%, sedangkan lulusan SMA 7,69%.
Tahun 2021, lulusan SMK tertinggi menyumbang 11,45% dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Tahun 2023 turun menjadi 9,60%. Artinya selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil mengurangi 1,85% pengangguran SMK.

“Lagi-lagi para Capres tidak menyentuh persoalan fundamental pendidikan tersebut,” kata Satriwan.

Keempat, P2G juga sangat menyayangkan dalam Debat Capres tidak memberi solusi mengenai fakta bahwa saat ini angkatan kerja lulusan SD masih mendominasi.

BPS menunjukan sampai tahun 2023 secara bertingkat angkatan kerja lulusan SD 39,76%, lulusan SMA 19,18%, lulusan SMP 18,24%, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20% dan D4, S1,S2,S3 sebesar 9,13%. “Berarti produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan lulusan SD,” katanya.

“Kenapa keterserapan angkatan kerja lulusan SD masih dominan? Mestinya makin tinggi jenjangnya, maka makin besar angkatan kerjanya. Ini seharusnya bisa dijawab dalam Debat Capres, tapi tidak disentuh,” tutur Satriwan.a

IG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  81  =  88