Oleh: Muhammad Yusuf Kosim
Channel9.id – Jakarta. Saya dapat cerita dari teman-teman pekerja informal bahwa setiap Jumat mendapat banyak nasi bungkus dari orang-orang yang memberi secara langsung di pangkalan. Saking banyaknya yang ngasih, dia tidak bisa menghabiskan, karena bisa berbungkus-bungkus.
Di makan sore atau malam sudah basi. Dibawa pulang ke rumah, jauh dari lokasi dia mangkal. Dikasih ke orang lain, sesama pekerja informal lainnya sudah dapat semua. Jumlah nasi bungkus yang didapat banyak juga.
Akhirnya, dipilih-pilih lauk yang paling enak atau dikombinasi lauk dari bungkusan lain. Makanan sisanya dengan terpaksa dibuang.
Dia bertanya: mengapa orang-orang tidak mengasih di hari lain, selain Jumat? Mengapa menumpuk di hari Jumat? Di hari lain, sepi. Nyaris tidak ada.
Saya terkesima. Dalam hati: kalau fenomena seperti itu, benar juga, mengapa sedekah nasi menumpuk di hari Jumat.
Banyak orang meyakini bahwa sedekah di hari Jumat adalah sebaik-baiknya hari untuk sedekah, afdhol. Tidak salah juga. Ada anjurannya. Tapi kalau sampai menumpuk sedekah di hari Jumat dan sedekahnya sampai dibuang, hilang afdholnya.
Sedekah selain afdhol, juga bermanfaat memiliki nilai kegunaan untuk orang lain. Memang yang terbaik adalah afdhol dan bermanfaat. Namun, kalau melihat fenomena di atas, bisa jadi sedekah Jumat menjadi tidak bermanfaat, jika sampai tidak termakan. Malah mubadzir.
Orang bersedekah adalah bagus, sangat dianjurkan. Kapan saja, tidak harus di hari Jumat. Ada anjurannya juga. Sering kali nilai manfaat melebihi afdhol. Nilai tambah selain manfaat dari sedekah adalah dapat membahagiakan orang lain. Kebahagiaan bagi penerima adalah kebahagiaan tersendiri bagi pemberi.
Baca juga: Memburu Lailatul Qadar
Seperti judul di atas bahwa makan bukan hanya di hari Jumat. Bisa jadi sedekah nasi di hari lain lebih memiliki nilai manfaat dan dapat memberikan kebahagiaan untuk orang lain.
Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI
