Channel9.id – Jakarta. Membangkan terhadap arahan Presiden Jokowi masih terjadi berupa aksi pembubaran peribadatan dan penolakan pembangunan tempat ibadah terus berlanjut di berbagai daerah. SETARA mengecam Keras.
Faktanya, gangguan atas peribadatan kelompok minoritas kembali terjadi. Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung dibubarkan saat sedang beribadah di dalam gereja (Minggu, 19/2/2023). Aktor pembubaran adalah Ketua RT, Wawan Kurniawan, dan sejumlah warga setempat.
“Peristiwa menyedihkan itu menandai berlanjutnya eskalasi gangguan dan penolakan atas peribadatan dan pendirian rumah ibadah. Sebelumnya, di awal tahun ini, terjadi beberapa gangguan, penolakan, pembubaran peribadatan di sejumlah daerah,” kata Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute melalui keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu 22 Februari 2023.
Baca juga: SETARA Institute: Kasus Penolakan Peribadatan.dan Tempat Ibadah Perlu Ditangani Serius
Baca juga: Marak Intoleransi? SETARA Institute: Pemerintah Pusat Harus Hadir
Halili Hasan selanjutnya membeberkan beberapa peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Diantaranya peristiwa penyesatan dan pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah oleh Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat (26/1).
“Penolakan dan pembubaran ibadah dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cilengsi, Bogor (5/2). Pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung (5/2), dan Pelarangan pembangunan sarana peribadatan Ahmadiyah di Parakansalak berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkopimda Sukabumi (2/2),” beber Halili.
Padahal katanya, belum lama ini, dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda, pada 17 Januari 2023, di Kabupaten Bogor, Presiden Jokowi mewanti-wanti peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya. Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2).
“Terjadinya eskalasi di beberapa daerah tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas arahan Presiden,” tegas Halili.
Berkaitan dengan dinamika terbaru pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), khususnya kasus GKKD, SETARA Institute menyampaikan kecaman keras atas peristiwa tersebut.
“SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus pembubaran peribadatan di GKKD Bandar Lampung. Gangguan dan pembubaran atas peribadatan, yang dijamin oleh konstitusi, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun,” kata Halili.
Dalam konteks kasus GKKD, SETARA Institute mengapresiasi pihak kepolisian, khususnya Polresta Bandar Lampung, yang memberikan jaminan keamanan juga Pemda yang memberikan izin sementara selama 2 (dua) tahun kepada GKKD Bandar Lampung, sambal mengurus perizinan pendirian rumah ibadah.
“Langkah akomodatif dan fasilitatif semacam itu perlu direplikasi di berbagai kasus penolakan rumah ibadah, peribadatan, dan sarana peribadatan di daerah lain, seperti di Kabupaten Bogor, Kota Cilegon, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sintang, Kota Depok, dan lain sebagainya,” kata Direktur Eksekutif SETARA.
Pemerintah Pusat, kata Direktur Eksemutif SETARA, hendaknya melakukan langkah progresif untuk membuktikan bahwa Pemerintah memiliki komitmen dan kewibawaan dalam menegakkan jaminan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan untuk beribadah.
SETARA mendedak agar dilakukan revisi PBM 2 Menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat.
“Perubahan paradigma pengaturan peribadatan dan pendirian rumah ibadah dari pembatasan ke fasilitasi, pergeseran peran FKUB ke perwujudan dan pemeliharaan kerukunan dengan memperluas fungsi-fungsi kampanye toleransi, penyediaan ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah,” jelasnya.
Demikian pula, SETARA Institute mendesak Pemerintah agar segera menarik perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan, di Kementerian Agama.
“Sebab urusan agama merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan sebagai urusan pemerintahan daerah,” pungkas Halili.