Oleh: Muhammad Yusuf Kosim
Channel9.id – Jakarta. Sudah menjadi mafhum menjelang hari ke tujuh belas bulan Ramadan, orang-orang yang berpuasa sibuk menburu malam Lailatul Qadar. Malam yang dinisbatkan lebih baik dari seribu bulan.
Orang-orang memburunya dengan aneka macam cara dilakukan: ada mengaji sepanjang malam, ada yang qiyamul lail sepanjang malam, ada yang wirid/dzikir sepanjang malam, dan ada juga yang memenuhi masjid-masjid. Setiap malam hingga akhir puasa.
Andai saja Lailatul Qadar itu bisa terlihat secara kasat mata, mungkin orang-orang akan pasang jaring serapat-rapatnya agar jangan sampai Lailatul Qadar itu lolos dari buruan. Namanya juga pemburu, sedapat mungkin harus dapat.
Lailatul Qadar adalah rahmat. Orang yang mendapatkannya adalah orang yang diberi rahmat oleh Tuhan. Lailatul Qadar diberikan kepada orang-orang pilihan yang secara konsisten beribadah dan memiliki hati yang bersih. Di hatinya hanya ada Tuhan, tidak ada yang lain selain Dia. Hidupnya dipenuhi kasih sayang terhadap sesama dan mahluk lainnya.
Lailatul Qadar bukan untuk diburu. Apalagi model ibadah kita yang musiman. Kita hanya rajin beribadah saat bulan Ramadan dan makin rajin saat menjelang Lailatul Qadar. Demi mendapatkan Lailatul Qadar. Setelah itu lunglai dan tanpa bekas. Syukur-syukur ada sedikit bekas dari ibadah di bulan Ramadan, misalnya kita semakin memiliki sifat welas asih.
Cara beribadah kita saja selama ini masih salah. Apalagi memburu Lailatul Qadar, jelas lebih salah lagi. Yang kita buru itu adalah Pemilik Lailatul Qadar. Lailatul Qadar itu mahluk, mosok kita beribadah diniatkan untuk mendapatkan mahluk, bukan Sang Khalik.
Bagaimana kita mendapatkan rahmatNya, lalu diberi Lailatul Qadar, jika niat beribadah kita yang masih blepotan. Kalau kata Bang Jiman, tukang delman di bunderan Monas: luruskan niat kita, maka akan lurus jalan kita…
Baca juga: Kepala BPIP Beri Ceramah Makna Lailatul Qodar Dalam Narasi Kebangsaan
Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI