Politik

Mengingat Kembali Kudatuli 1996: 27 Tahun Luka Masyarakat Belum Disembuhkan

Channel9.id – Jakarta. Sejarah perpolitikan di tiap negara tentu tak luput dari berbagai konflik dan kekerasan yang mewarnainya. Di Indonesia sendiri, salah satu sejarah kelam dalam politik Indonesia yang sulit dilupakan yaitu Peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan sebutan Kudatuli.

Peristiwa kelabu dalam upaya perebutan paksa Kantor DPP Partai Rakyat Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat itu, terjadi saat Indonesia dipimpin oleh Presiden ke-2 RI Soeharto.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo alias Romo Benny menilai peristiwa Kudatuli tak dapat dilepaskan dengan rezim otoriter Soeharto yang saat itu memiki kekuasaan sangat kuat.

Menurutnya, peristiwa Kudatuli ini tak boleh dilupakan oleh masyarakat, khususnya generasi muda, agar tidak ada lagi rezim otoriter yang berkuasa di Indonesia.

Selain itu, kata Romo Benny, hingga saat ini negara tidak pernah mengakui bahwa peristiwa 27 Juli 1996 adalah kejahatan kemanusiaan.

Hal itu disampaikan Benny saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk ’27 Juli 1996, Sejarah dan Perjuangan Demokrasi Pemuda dan Mahasiswa Indonesia Melawan Rezim Penindas’ yang diselenggarakan Strategi Institute, Kamis (27/7/2023).

Diskusi ini digelar untuk mengingat kembali perjalanan bangsa mencapai demokrasi yang akhirnya juga mengilhami bangkitnya gerakan reformasi 1998.

“Ini harus diakui oleh orang yang melakukan itu. Kita nggak pernah mengakui bahwa ini sebenarnya adalah kejahatan kemanusiaan. Bila ada pengakuan, baru ada pemulihan terhadap korban. Jadi penyelesaian kita itu selalu menutup luka itu,” kata Romo Benny.

Terkait dengan peristwita Kudatuli ini, Romo Benny berharap agar sejarah kelam ini diluruskan kembali agar generasi muda mengetahui perjalanan bangsanya.

Sebab, sejumlah peristiwa terjadi setelah 27 Juli 1996 meletus, mulai dari pembakaran ratusan gereja hingga peristiwa dukun santet.

“Tidak ada rekonsiliasi yang sempurna tanpa permintaan maaf. Luka sejarah dalam peristiwa 27 Juli 1996 tidak pernah sembuh. Sementara generasi x dan z tidak pernah mengalami luka itu dan menganggap bahwa masa lalu adalah masa lalu,” ujarnya.

Menurut Romo Benny, dengan budaya kepalsuan yang hingga kini masih terjadi. Menutupi kejahatan kemanusiaan dengan pemberian kompensasi tanpa adanya pengakuan dari pelakunya, membuat generasi muda tidak mengetahui peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kajahatan kemanusiaan.

“Bagi dia (anak muda) peristiwa 27 Juli tidak pernah dialami. Memori kegelapan negeri ini, tidak pernah mereka rasakan. Sehingga bagi mereka, bila kita bicara masalah hak asasi manusia, bagi anak-anak generasi x dan z itu ‘emang gue pikirin’,” katanya.

Namun, yang terpenting menurut Romo Benny adalah penyembuhan luka yang dialami masyarakat dalam peristiwa itu. Ia mengatakan, penyembuhan terkait hal itu kembali pada kekuatan masyarakat sipil.

“Ketika konsentrasi masyarakat sipil gagal seperti ini, tidak mungkin dapat dalam menyelesaikan kasus hak asasi manusia,” katanya lagi.

Menurut Romo Benny, kekuatan sipil itu dapat dibangun melalui ingatan yang tidak dilupakan mengenai korban kejahatan kemanusiaan.

“Pengampunan terjadi kalau ada penyesalan dan pengakuan. Ini yang kita dorong sebenarnya. Kita mendorong pemerintahan Pak Jokowi melakukan ini,” tuturnya.

Selain Romo Benny, hadir pula sebagai narasumber adik dari Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, Wakil Ketua Umum Gerakan Bhineka Nasionalis (GBN) Bob Randilawe, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, dan aktivis Pro Demokrasi Ahmad Robert Rusmiarso.

Sukmawati Soekarnoputri yang merupakan putri Bung Karno, menceritakam kembali detik-detik peristiwa Kudatuli.

Kudatuli pecah dalam perebutan kekuasaan PDI dari kubu Megawati Soekarnoputri oleh kubu Soerjadi. Megawati terpilih sebagai ketua umum berdasarkan kongres luar biasa (KLB) di Surabaya. Tapi setelah itu, Soerjadi juga menyatakan dirinya terpilih menjadi ketum PDI berdasarkan KLB Medan.

Tragedi 27 Juli 1996 kemudian memicu kemuakan rakyat terhadap Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru. Kata Sukmawati, Kudatuli yang terjadi 27 tahun lalu, menjadi pelajaran politik yang penting bagi dirinya.

Sukmawati yang saat itu anggota dari ormas Gerakan Rakyat Marhaen bersama puluhan ormas dan mahasiswa ikut melakukan perlawanan terhadap perampas hak politik terhadap Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum PDI.

“Saya satu-satunya perempuan dalam gabungan ormas waktu itu. Terus berlanjut dan di kantor PDI itu ada mimbar bebas,” tutur Sukmawati.

Menurutnya, perjuangan membela Megawati tidak selesai pada 27 Juli 1996 saja. Justru, lanjut Sukmawati, peristiwa ini yang memuculkan pergerakan rakyat dan mahasiswa untuk melawan rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun.

“Peristiwa 27 Juli 1996 itu pemicu muaknya rakyat terhadap rezim diktator, klimaksnya adalah 1998, dimana Soeharto dilengserkan,” pungkasnya.

Sementara, Bob Randilawe yang saat itu merupakan Ketua Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (Prodem) mengatakan peristiwa Kudatuli menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenangan rezim Orde Baru.

Dokumen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan bahwa Sabtu Kelabu itu menewaskan lima orang dan melukai 143 korban di dalam dan luar gedung. Sebanyak 23 orang dinyatakan hilang dan 124 pendukung Megawati ditangkap.

“Hingga saat ini, penyebab utama kerusuhan yang menyebabkan banyak orang meninggal dan hilang itu belum sepenuhnya diketahui,” katanya.

Baca juga: Sekjen PDIP: Megawati Ingin Monumen Kudatuli Segera Dibangun

Baca juga: PDI Perjuangan Gelar Tabur Bunga, Peringati Peristiwa Kudatuli

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7  +  2  =