Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Ridwan Kamil adalah maghnet politik kuat jelang perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia (RI) 2024 lalu. Nama Ridwan menonjol dalam survei elektabilitas, terutama untuk posisi Calon Wakil Presiden (Cawapres). Hanya saja, sejak bergabung menjadi anggota, kader, dan pengurus Partai Golkar, Ridwan lebih banyak mendapatkan penugasan penggalangan dan pemenangan di Provinsi Jawa Barat.
Berbeda dengan Anies Rasyid Baswedan yang tetap tak bergabung dengan partai politik manapun, Ridwan lebih ‘berani’ memilih jalur partai politik. Anies, kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, ‘terlanjur’ membentuk diri sebagai sosok independen, dibanding Ridwan. Ridwan, kelahiran Bandung, 4 Oktober 1971, belum terlambat membangun kekuatan jejaring politik. Apalagi fungsionaris Partai Golkar belakangan lebih didominasi kalangan politisi yang lebih muda usia dibanding Ridwan.
Ridwan Kamil, sedikit banyak, memberi pengaruh bagi kenaikan suara Partai Golkar di Jawa Barat. Terlebih lagi dalam meraih keunggulan bagi pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Jawa Barat. Ridwan berhasil membuktikan diri bukan saja sebagai figur populis bagi dirinya sendiri, tetapi sekaligus pekerja politik organik bagi Partai Golkar dan Prabowo – Gibran. Kesuksesan Atalia Praratya, kelahiran 20 November 1973, istri Ridwan sebagai peraih suara terbanyak calon anggota Dewan Prewakilan Rakyat (DPR) RI di daerah pemilihannya, juga menunjukan sisi positif.
Menteri atau Gubernur?
Ridwan sering menyebut tiga alternatif ‘karir’ politik yang hendak ditempuh. Pertama, bergabung dalam kabinet 2024-2029 sebagai salah satu menteri Kedua, maju sebagai Calon Gubernur (Cagub) dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2024-2029. Ketiga, maju sebagai Cagub dalam Pilgub Daerah Khusus Jakarta 2024-2029. Ridwan belum memutuskan satu dari tiga alternatif itu. Tentu, apapun yang dipilih Ridwan, sangat tergantung dari keputusan yang diambil oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Sekalipun anggota kabinet menjadi hak prerogatif presiden terpilih, kedudukan Ridwan sebagai anggota Partai Golkar tak bisa dihindari. Begitu juga dalam menuju Pilgub Jawa Barat atau Daerah Khusus Jakarta.
Kalau hanya bertujuan untuk karir vertikal, pilihan menjadi menteri dalam kabinet mendatang atas rekomendasi DPP Partai Golkar tentu masuk akal. Sebagai sosok yang berlatar belakang arsitektur, Ridwan dengan mudah ‘dibingkai’ guna ‘meraih’ posisi menteri itu. Hanya saja, kedudukan sebagai menteri yang berasal dari partai politik bakal menjadi belenggu bagi profesional manapun, tak terkecuali Ridwan Kamil. Bagai wajah yang dipahat di dalam koin, menteri bertanggung-jawab kepada presiden, sekaligus juga memberikan laporan kepada ketua umum partai politik yang mengutus. Loyalitas ganda itu terlihat jelas dalam kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan saja jelang 14 Februari 2024 lalu, tetapi juga tahun-tahun sebelumnya.
Yang lebih penting, kalau ‘hanya’ ingin menjadi menteri, modal politik dan kapasitas Ridwan Kamil sudah lebih dari cukup tanpa perlu lagi ‘tambahan’ riwayat hidup sebagai kader partai politik. Terlebih, dari sisi waktu, finalisasi nominator menteri dalam kabinet mendatang baru bulan Oktober 2014, setelah pelantikan anggota DPR RI, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta sekaligus anggota Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) RI. Otot-otot politik bakal lebih tertuju kepada perebutan posisi pimpinan legislatif, ketimbang siapa saja yang menduduki kursi kabinet.
Komposisi pimpinan DPR RI, terutama pimpinan komisi, bakal menjadi pertimbangan taktis dan strategis bagi presiden terpilih dalam menempatkan menteri-menteri, terutama yang berasal dari partai politik. Sejauh ini para menteri yang berasal dari partai politik, jauh lebih mudah ‘menghadapi’ mitra kerja mereka di parlemen, apalagi yang sedang atau pernah menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR RI. Anggota legislator lebih gahar, ganas dan trengginas terhadap menteri-menteri kategori ‘profesional’, dibanding menteri-menteri kategori ‘politisi’. Akibat pelaksanaan fungsi pengawasan yang lemah, loyo dan kendor dari anggota parlemen terhadap menteri-menteri berlatar politisi, bisa jadi membuat jumlah menteri asal partai politik yang terjerumus kasus korupsi lebih banyak dibanding menteri berlatar profesional.
Sekalipun berasal dari Partai Golkar, Ridwan belum pernah menjadi anggota parlemen. Kapasitas Ridwan masih dinilai sebagai seorang Gubernur Jawa Barat 2018 – 2023. Dalam posisi itupun, Ridwan tak banyak melakukan ‘pertarungan’ dalam menghadapi pemerintahan pusat, baik kabinet atau parlemen, dalam berebut proyek-proyek strategis nasional guna ditempatkan di Jawa Barat. Sekalipun diusung empat partai politik pendukung Presiden Joko Widodo, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura, daya gedor lobi politik dengan Ridwan masih lemah. Jawa Barat lebih banyak dilihat sebagai ‘perlintasan’ dari proyek-proyek pemerintah pusat, ketimbang kinerja kolektif Ridwan dan partai pengusungnya.
Pemimpin Nasional?
Tugas sebagai menteri, jika pilihan itu yang diambil — dan sekaligus dipercayakan — kepada Ridwan Kamil, akan sangat disesaki dengan program-program strategis yang dicanangkan presiden terpilih sebagai perwujudan janji kampanye. Para menteri yang menjadi anggota kabinet, cepat atau lambat, bakal menjadi bayang-bayang dari presiden terpilih. Apalagi Prabowo Subianto baru (akan) menjalankan periode pertama sebagai presiden terpilih. Masih ada ruang dan peluang yang dibuka konstitusi bagi Prabowo untuk maju lagi untuk periode 2029-2034.
Disadari atau tidak, generasi Ridwan bersama sejumlah politisi berusia 50an, adalah jembatan antara generasi Prabowo (70an) dengan generasi Gibran (30an). Dalam survei sebelum tahapan pilpres 2024 dimulai, nama Ridwan bersanding dengan Erick Thohir (kelahiran 30 Mei 1970) dan Sandiaga Salahuddin Uno (kelahiran 28 Juni 1969) sebagai Cawapres unggulan.
Setelah pilpres, sandaran politik Erick tinggal semata-mata presiden terpilih guna menapaki karir politik berikut, termasuk menjadi anggota kabinet. Sandi masih tergantung kepada eksistensi PPP yang mengalami penurunan suara pemilih. Nomor punggung Erick terbebas dari angka yang menjadi nomor urut partai politik. Erick tak segera bergabung ke dalam tubuh partai politik, ketika Partai Amanat Nasional (PAN) memunculkan namanya dalam bursa Cawapres. Nama Erick, bersama Airlangga Hartarto (kelahiran 1 Oktober 1962) dan Khofifah Indar Parawangsa (kelahiran 19 Mei 1965), juga hadir sebagai Cawapres Prabowo dalam sejumlah pembicaraan tertutup antara Prabowo dengan Joko Widodo.
Dibanding Erick dan Sandi, tentu saja Ridwan lebih punya peluang guna menjadi anggota kabinet mendatang. Tetapi, dalam kapasitas sebagai menteri, tentu saja Ridwan bakal menempuh fase yang serupa – walau tak mirip – dengan apa yang dialami Erick dan Sandi jelang tahapan pilpres 2024. Menteri yang bergantung kepada sabdo pandito ratu dari sang presiden dan (atau) sekaligus menteri yang bergelimang dengan dinamika politik internal partai sendiri. Berpindah dari Partai Gerindra ke PPP menjadi langkah quantum yang besar bagi Sandiaga Uno. Belum lagi proses pergantian Ketua Umum DPP PPP yang terjadi jelang tahapan pemilu berlangsung. Sandi terperosok ke dalam pasir hisap ‘konflik’ antar partai dan internal partai. Erick betul-betul bernasib seperti menteri dalam permainan catur, sangat tergantung kepada kemauan sang raja.
Guna menghindari diri dari belitan sulur-sulur bak hydra dalam ‘turbulensi politik’ 2029 nanti, Ridwan lebih elok memilih maju dalam Pilgub Jawa Barat 2024 atau Pilgub Daerah Khusus Jakarta 2024. Selain mampu melepaskan diri dari tarik menarik antara kepentingan presiden dengan kepentingan partai politik, jika masuk menjadi anggota kabinet, Ridwan betul-betul sedang menempa diri sebagai generasi antara untuk kepemimpinan nasional 2029-2034 dan 2034-2039. Tentu saja, jika mengukur dari luas wilayah dan pemilih, Jawa Barat tetap menjadi pilihan pertama dan utama.
Sebab setelah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) tentang Daerah Khusus Jakarta dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Maret 2024 lalu, paling lambat tanggal 28 April 2024 ini sudah masuk dalam Lembaran Negara RI, berikut penomorannya. Daerah Khusus Jakarta lebih banyak menjadi arena pembuktian tarik menarik kepentingan ekonomi nasional, ketimbang Jawa Barat yang masih banyak berjibaku dengan persoalan-persoalan dasar pembangunan. Gubernur Daerah Khusus Jakarta nanti lebih banyak menjadi mandataris dari UU, berikut sejumlah proyek Strategis Nasional yang sudah disahkan pemerintah pusat.
Dengan penambahan kapasitas, yakni bagian dari tim pemenangan presiden dan wakil presiden terpilih, hingga posisi sebagai pengurus inti dari DPP Partai Golkar, tentu wajah Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat 2024-2029 (Insyaa Allah, terpilih!) jauh lebih bertenaga, ketimbang periode pertama. Ridwan juga sudah mendalami dan menyelami berbagai persoalan kerakyatan dan pembangunan di Jawa Barat. Kemampuan lobbi Ridwan di tingkat nasional tak lagi dijalankan secara individual, tetapi kolektif, baik via legislator Partai Golkar, maupun legislator Partai Gerindra, PAN, hingga Partai Demokrat. Sejumlah Proyek Strategis Nasional yang diimpikan Ridwan Kamil, khususnya, dan warga Jawa Barat, umumnya, bisa diperjuangkan dalam tahun anggaran berikutnya.
Dan yang terpenting, pilihan menjadi gubernur itu sekalipun atas usungan Partai Golkar – dan koalisi partai politik lain –, tetap saja bakal ditentukan pilihan rakyat. Ridwan menjadi sedikit dari cadangan pemimpin nasional yang bakal melewati lagi proses seleksi (elected leader), ketimbang ditunjuk (appointee leader). Ridwan berada di garis depan!
Baca juga: https://channel9.id/kadaluwarsa-dokumen-koalisi-pilpres/
*Sang Gerilyawan Indonesia