Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). P2G menyayangkan PP SNG tersebut tidak lagi memuat Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib khususnya di Perguruan Tinggi.
“Dalam PP tersebut, nomenklatur mengenai Asesmen Nasional dan Kerangka Dasar Kurikulum sudah termuat jelas, yang tidak ada dalam PP SNP sebelumnya,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangan resmi, Kamis 15 April 2021.
“Namun, yang sangat disayangkan adalah dalam Pasal 40 (angka 3) tidak lagi memuat Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib khususnya di Perguruan Tinggi,” lanjutnya.
Jika merujuk pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 35, sangat klir dan eksplisit menuliskan: “Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a) agama; b) Pancasila; c) kewarganegaraan; dan d) bahasa Indonesia.
Namun, dalam PP SNP baru ini jelas sekali menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia. Padahal dalam konsideran: “mengingat”, PP SNP jelas merujuk kepada UU Pendidikan Tinggi (PT). Tapi isi PP SNP sendiri bertentangan dengan UU PT.
“Kami menduga, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia ini merupakan kesalahan tim penyusun baik secara prosedural, formal, maupun substansial,” lanjut Satriwan yang juga pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Bagi P2G hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam kurikulum Perguruan Tinggi ini murni keteledoran tim penyusun (human error). Bukan atas dasar kesengajaan yang tentunya bertentangan dengan Undang-Undang.
Selain itu, Kabid P2G Fauzi Abdillah menyampaikan, adapun untuk struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang juga seolah-olah menghilangkan istilah Pancasila dan Bahasa Indonesia, sebab yang ditulis dalam PP SNP hanya “Pendidikan Kewarganegaraan” dan “Bahasa”.
“P2G dapat memaklumi hal itu. Sebab UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 37 (angka 1) juga secara koheren hanya memuat nomenklatur Pendidikan Kewarganegaraan (tanpa Pancasila) dan Bahasa (tanpa Indonesia),” ujar Fauzi.
Namun, dalam struktur dan implementasi Kurikulum di pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran “Pendidikan Kewarganegaraan” (PKn) sudah diubah menjadi “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” (PPKn), setidaknya inilah yang termuat dalam struktur Kurikulum 2013 di sekolah/madrasah. Begitu pula pelajaran Bahasa Indonesia yang juga termuat dalam struktur kurikulum sekolah/madrasah hingga detik ini.
Kemudian, kusus perihal Pendidikan Pancasila dalam struktur kurikulum sekolah, P2G memandang, Kemendikbud dan Kemenag dapat memilih setidaknya 2 skema opsi.
Opsi pertama, muatan Pendidikan Pancasila secara esensial termuat di dalam struktur mata pelajaran PPKn. Seperti yang ada dalam Kurikulum 2013 sejauh ini. Secara filosofis dan pedagogis, cukup terang bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) di Indonesia berdasarkan dasar negara Pancasila, bukan ideologi lain.
Tetapi, dengan catatan adanya revisi terhadap muatan mata pelajaran PPKn di sekolah selama ini. Agar Pancasila menjadi lebih di-arusutama-kan dalam struktur dan muatan PPKn, ketimbang hanya menjadi sisipan atau integrasi materi semata.
Opsi kedua, Pendidikan Pancasila dijadikan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Artinya Pancasila terpisah dari struktur PPKn, dengan kata lain ada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan ada Pendidikan Pancasila. Konsekuensinya adalah akan menambah beban mata pelajaran baru bagi siswa di setiap jenjang sekolah.
Diantara dampak positifnya adalah, juga akan menambah jam pelajaran bagi guru. Termasuk makin menguatnya nilai-nilai Pancasila di sekolah sehingga proses ideologisasi Pancasila di sekolah lebih terarah dan otonom.
Namun, ideologisasi Pancasila melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri di sekolah, berpotensi mengembalikan memori kurikulum sekolah di zaman Orde Baru. Ketika struktur kurikulum memosisikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai pelajaran wajib, namun isinya dinilai hanya doktrinasi, anti-dialog, dan sangat menjemukan bagi siswa. Kekhawatiran akan hal ini, akan kembali terulang nantinya.
Secara prinsipil P2G sangat mendukung penguatan materi dan muatan Pendidikan Pancasila baik di jenjang sekolah dasar, menengah, dan tinggi, mengingat makin kuatnya potensi ancaman terhadap negara dan integrasi nasional, baik yang bersifat ideologis dan politis: seperti pemahaman radikalisme, ekstremisme, terorisme maupun yang bersifat ekonomi, sosiologi, dan teknologi.
Melalui Pendidikan Pancasila, diharapkan sekolah mampu menjadi laboratorium ideologis untuk membangun watak Pancasila dan wahana pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila. P2G memandang Kemendikbud, Kemenag, dan BPIP duduk bersama untuk menyamakan persepsi dan menindaklanjuti usulan ini.
HY