Politik

Pemilu dan Pasar Doa

Oleh: Muhamad Yusuf Kosim

Channel9.id – Jakarta. Kita lazim menemukan spanduk atau banner calon pada setiap pemilu atau pilkada berbunyi: mohon doa restu. Meski sudah kita beri restu dan beribu-ribu doa, namun tidak kita coblos gambar atau namanya, sang calon pasti tidak akan jadi.

Uniknya, spanduk atau banner seperti itu terus bertaburan setiap menjelang pemilu memenuhi ruang publik dan membuat polusi penglihatan mata. Belum lagi spanduk dan banner tersebut mengganggu saat berlalulintas, karena cara memasangnya secara serampangan yang penting bisa dilihat orang-orang yang lewat kawasan itu.

Syahdan, seorang kiai kampung bercerita bahwa menjelang pemilu selalu pusing dengan kelakuan para calon-calon ini. Mereka datang ke rumah bukan untuk belajar mengaji, mereka hanya minta doa agar terpilih. Setelah terpilih, mereka akan datang lagi lima tahun kemudian. Selama kurun itu, tidak pernah sekalipun datang untuk mengaji.

Meskipun demikian, kiai tetap mendoakan. Kiai selalu berpikir positif, semoga suatu saat datang untuk mengaji. Tepat pengamatan Clifford Geertz (1976), bahwa kiai memiliki multi fungsi, selain sebagai pengajar agama juga sebagai pemberi doa untuk segala urusan. Dari doa untuk orang meninggal dunia, orang sakit, hingga doa untuk para calon di kontestasi pemilu.

Wakila, di luar kiai-kiai yang ikhlas mendoakan itu, ada pula doa berbayar dan bertarif. Mereka memanfaatkan momen pemilu untuk meraih pundi-pundi uang dari doa. Anehnya, laku. Banyak para calon yang bersedia membayar. Tentu ini adalah para calon gelap mata yang sudah keabisan akal untuk menjadi pejabat publik.

Suatu saat, saya pernah sedang urut badan, tentu ke tukang urut. Tukang urut ini menjadi langganan, karena paham tentang titik-titik syaraf dan cara ngurutnya juga enak. Saya lihat di rumahnya banyak kalender caleg lengkap fotonya. Katanya: itu caleg minta didoakan. Saya tertawa ngakak. Melihat saya tertawa ngakak, tukang urut itu tertawa terkekeh-kekeh, khas orang tua.

Di luar urusan para calon gelap mata tersebut, berapa banyak uang beredar di pasar doa ini? Saya tidak bisa menghitungnya dengan angka pasti, selain tidak pernah melakukan survei, sulit juga dihitungnya. Mereka biasanya datang diam-diam ke para pendoa berbayar itu. Bisa jadi angkanya lumayan besar, wong tarifnya bukan lagi ratusan ribu, tapi jutaan.

Baca juga: Makan Bukan Hanya di Hari Jumat

Tertarik menjadi pendoa bertarif? Pasang saja plang depan rumah, tulis: TERIMA DOA UNTUK CALON DI PEMILU. Hitung-hitung bisnis musiman. Jika tidak ada yang datang, karena terlalu vulgar pakai pasang plang, kerugian hanya untuk biaya plang saja. Murah ..!

Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22  +    =  30