Channel9.id – Jakarta. Pembina Pusat Studi Kepemiluan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Daud Liando mengatakan ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam sistem Pemilu. Dalam hal ini, terdapat empat kepentingan yang saling tarik-menarik di dalamnya.
Hal itu disampaikan Ferry ketika menjadi narasumber dalam webinar mingguan serial dialog Pemilu 2024 yang digelar Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Ditjen Polpum Kemendagri), Rabu (7/6/2023).
Adapun webinar bertajuk ‘Memahami Sistem Pemilu dari Perspektif Ilmu Pengetahuan dan Referensi Pelaksanaan di Berbagai Negara di Dunia’ ini turut mengundang sejumlah narasumber kompeten di bidangnya. Di antaranya dosen Unair Ramlan Surbakti, Dosen UI sekaligus anggota Perludem Titi Anggraini, Peneliti Politik BRIN Siti Zuhro, dan dosen UGM Zainal Arifin Mochtar.
“Jadi memang tidak ada sistem yang begitu sempurna karena tergantung siapa yang berkepentingan di dalam sistem Pemilu itu,” kata Ferry.
Dalam pemaparannya, Ferry menjabarkan empat kepentingan yang dimaksudnya itu. Pertama, kepentingan konstitusi. Menurut Ferry, pembentukan sistem Pemilu itu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, meskipun terdapat banyak tafsiran di dalam undang-undang.
“Walaupun memang di konstitusi kita jadi ramai. Maklum juga kalau misal ada pihak-pihak yang mengajukan (uji materi) ke MK,” tutur pengamat politik asal Sulawesi Utara itu.
Kedua, kepentingan penyelenggara Pemilu. Ferry menyoroti banyaknya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal pada Pemilu 2019 silam. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada siaran pers 16 Mei 2019 menyebut ada 527 orang petugas Pemilu 2019 yang meninggal dunia karena mengalami sakit jantung dan jam kerja petugas KPPS yang melebihi batas wajar.
Menurut Ferry, kasus tersebut mencerminkan bahwa cara penyelenggaraan Pemilu di Indonesia terlalu beresiko. Ia mengatakan, KPPS bukan hanya menghitung perolehan partai politik, tapi juga menghitung perolehan masing-masing caleg. Ia pun bersyukur bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan penutupan perhitungan suara dapat disudahi pada pukul 12.00 malam dari yang sebelumnya pukul 01.00.
“Jadi, sedapat mungkin sistem yang kita pilih itu tidak beresiko bagi penyelenggara, walaupun penyelenggara juga disumpah tetapi bukan berarti juga setiap kegiatan itu melahirkan resiko, apalagi resiko kematian,” ujar Ferry.
Selain itu, Ferry mengatakan pertimbangan lainnya yakni efisiensi. Menurutnya, penyelenggaraan pemilu jangan terlalu mahal dengan berkaca pada pengalaman masa lalu saat Pilkada digelar dengan sistem dua putaran. Resikonya, terlalu banyak anggaran yang digunakan.
“Nggak mungkin kita harus memilih sistem justru terlalu royal. Akibatnya, terlalu banyak yang kita gunakan untuk membiayai, misalnya, pilkada. Pilkadanya itu juga kemudian anggaran publik terpotong. Ini juga mengkhawatirkan kalau sistem yang kita pilih terlalu boros,” tutur Ferry.
Ketiga, kepentingan sistem Pemilu, menurut Ferry, juga merupakan kepentingan warga negara termasuk kepentingan negara. Ia menilai, kepentingan warga negara dalam Pemilu tentu karena hal itu merupakan sarana kedaulatan rakyat. Namun, hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana sistem itu memastikan warga negara dapat memilih dengan mudah dan tidak sulit.
Ferry mencontohkan, beberapa kali penyelenggara Pemilu melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) karena banyaknya surat suara yang rusak. Ia mengatakan, hal itu karena surat suara yang terlampau besar seperti koran dan menyulitkan masyarakat untuk memilih.
“Jangan sampai surat suara itu sulit dan menyebabkan hak masyarakat itu hilang karena surat suara itu tidak dihitung karena rusak,” pungkasnya.
Keempat, yang menurut Ferry tak kalah penting, yakni kepentingan partai politik dalam sistem Pemilu. Menurutnya, partai politik mesti diberi ruang dalam Pemilu karena peserta Pemilu adalah partai politik. Artinya, partai politik juga kita harus fasilitasi dalam sebuah sistem.
“Otomatis caleg yang terpilih itu sejalan dengan visi partai politiknya. Karena yang diperjuangkan dalam partai politik itu kan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal ideologi. Jadi, platform partai politik itu tidak boleh lepas dari calon,” tutur Ferry.
Ferry juga bicara mengenai fungsi partai politik dalam pemilu. Ia menilai, partai politik harus bisa menjamin representasi masyarakat karena Indonesia menganut sistem proporsional. Hal ini karena faktor heterogenitas masyarakat Indonesia, seperti adanya kelompok mayoritas-minoritas, banyaknya agama serta suku.
“Jadi, sedapat mungkin memang partai politik harus mengambil peran agar ada representasi di situ, termasuk representasi perempuan. Bagaimana sistem itu supaya perempuan banyak terakomodasi. Jadi, menjamin representasi ada kepentingan partai politik itu untuk menjamin representasi,” tegasnya.
Selain itu, Ferry berujar, partai politik harus menyiapkan kader-kadernya agar dapat diterima publik dan tidak menyebabkan konflik dalam rangka penentuan calonnya. Ia mengatakan, partai politik harus menemukan cara agar tidak terjadi konflik dalam menentukan calon yang akan diusung dan menentukan nomor-nomor urut calon yang akan diusungnya itu.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada 2013 silam, ketika dua politikus Partai Amanat Nasional (PAN) di Sulawesi Tenggara terlibat adu jotos hingga salah satunya tewas dihantam benda tumpul di leher.
“Walaupun sekarang sistem proporsional terbuka, nomor urut tidak begitu berpengaruh karena berdasarkan suara terbanyak. Tapi faktanya, sampai saat ini nomor urut masih berpengaruh. Kemarin ada di kabupaten mana itu kader PAN saling membunuh hanya untuk memperebutkan nomor urut,” pungkas Ferry.
Baca juga: Gelar Webinar, Kemendagri Ajak Masyarakat Pahami Sistem Pemilu dari Perspektif Ilmu Pengetahuan
HT