Channel9.id – Jakarta. Perkebunan kelapa sawit sebagaip industri hulu sawit yang tahan krisis memang berkembang pesat di Indonesia. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tahun 2022, produksi CPO (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia telah mencapai 46,73 juta ton. Secara global, produksi CPO Indonesia telah berkontribusi hingga 51 persen dari pasokan minyak sawit yang dikonsumsi masyarakat dunia.
Tiap tahunnya, produksi CPO terus bertumbuh hingga banyak mendorong pertumbuhan ekonomi di masyarakat sekaligus pertumbuhan industri hilir nasional.
Kendati demikian, industri kelapa sawit saat ini berjalan bukan tanpa tantangan. Pasalnya, muncul kebijakan Europe Deforestation Regulation (EUDR) sehingga produsen biodiesel sawit di Indonesia perlu meningkatkan aspek sustainability dari rantai pasoknya. Hal ini dilakukan agar pangsa pasar bahan baku industri biodiesel di Uni Eropa tidak menurun.
Dewan Redaksi InfoSAWIT, Edi Suhardi mengungkapkan, munculnya kebijakan EUDR ini memang akan memunculkan kekhawatiran terkait keberlanjutan dalam integrasi industri kelapa sawit. Oleh sebab itu, dibutuhkan kompromi perdagangan yang adil, hambatan perdagangan dan proteksionisme, serta deprivasi pengentasan kemiskinan.
Diakui atau tidak, kata Edi, keberlanjutan minyak sawit telah menjadi keharusan dengan berbagai standar dan sistem, serta definisi dan kriteria keberlanjutan yang akan terus berkembang. Hanya saja, pekebunan perlu menentukan posisi dan platform komitmen keberlanjutannya, akankah masih berkutat di proses yang lebih progresif atau tradisional.
“Perlu mengenali keragaman pasar dan standar keberlanjutan multi-tier dan membangun koalisi minyak sawit untuk menolak upaya menciptakan norma keberlanjutan pasar tunggal,” kata Edi dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Sawit Berkelanjutan Volume 14 bertajuk ‘Mengintegrasikan Industri Hulu Hingga Hilir Sawit Berkelanjutan’, yang diadakan media InfoSAWIT didukung BPDPKS di Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Menurut Edi, ke depannya, perlu pula membangun komitmen baru yang berimbang pada keberlanjutan, apalagi UE bukan satu-satunya pembawa standar Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan.
“Pasar UE akan tetap menjadi potensi pasar dengan standar yang ketat. Sementara label bebas deforestasi dan keberlanjutan tidak akan mempengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia ke UE, pasar terus beradaptasi. Namun, itu hanya akan berpengaruh terhadap petani sawit swadaya,” tutur Edi.
Sementara itu, Rukaiyah Rafiq dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) mengatakan, secara umum penerapan praktik sawit berkelanjutan khususnya bagi petani sawit swadaya bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, prosesnya hingga saat ini masih dihadapkan kepada beragam kendala. Terbukti sampai saat ini areal kelapa sawit petani sawit swadaya masih sangat minim atau masih sektar 2 persen dari total lahan perkebunan kelapa sawit nasional.
Rukaiyah Rafiq yang akrab dipanggil Uki ini mengatakan, petani sawit swadaya saat ini masih terus berjuang dan terus memperluas areal kebun bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).
Namun, di saat bersamaan, muncul kebijakan baru EUDR yang diyakini akan berdampak langsung pada keberadaan petani sawit swadaya. Mereka akan terlempar jauh dari skema perdagangan EU. Ketergantungan dengan pabrik pengolah, kapasitas pengetahuan, lemahnya dukungan, keberadaan para pedagang perantara, menjadi masalah serius yang dihadapi oleh petani swadaya.
“Kondisi ini berbanding terbalik dengan syarat EUDR yang harus memastikan bahwa produk yang masuk ke Uni Eropa adalah produk yang telah melalui uji kelayakan menggunakan EUDR dimana persyaratan utama adalah Keterlacakan dan legal,” kata Uki.
Sebab itu, Uki menuturkan, Uni Eropa (UE) seharusnya tidak hanya mempertimbangkan produk kelapa sawit yang bersifat nol deforestasi dan traceable, tapi juga sawit yang diproduksi petani swadaya. Setidaknya, sebanyak 25 persen semua produk minyak sawit yang masuk ke pasar UE harusnya berasal dari kebun petani.
“Ini adalah solusi untuk memastikan EUDR tidak hanya berperan dalam nol deforestasi tapi juga berperan dalam perbaikan sumber kehidupan petani dan mendorong pelibatan petani dalam inisiative perlindungan dan pemulihan. Jika tidak, maka EUDR hanya akan menjadi kebijakan yang mengabaikan petani dan makin memperparah deforestasi, yang pada akhirnya kita semua akan mengalami kerugian,” tandas Uki.
Baca juga: Kantongi Predikat Produsen CPO Terbesar, Industri Sawit Indonesia Berkontribusi Besar Bagi Dunia
HT