Politik

Proporsional Terbuka Bertentangan dengan UUD, Ini Penjelasan Yusril Ihza di Sidang MK

Channel9.id – Jakarta. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai sistem proporsional terbuka memiliki berbagai dampak yang dapat melemahkan fungsi partai politik serta menurunkan kualitas Pemilu di Indonesia.

“Karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih dan menurunkan kualitas pemilihan umum,” ujar Yusril dalam sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Ia menjelaskan bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 huruf C dan D, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur soal sistem proporsional terbuka. Alasannya, Yusril menilai sistem proporsional terbuka dapat menghalangi pemenuhan jaminan-jaminan konstitusional mengenai fungsi partai politik, kapasitas pemilih, dan kualitas pemilihan umum.

Di hadapan majelis hakim, ia mengatakan, berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Adanya penegasan ‘kedaulatan di tangan rakyat’ Yusril nilai undang-undang tersebut memastikan bahwa Indonesia murni negara demokrasi yang disusun dan diisi serta dijalankan oleh warganya.

“Indonesia tidak dijalankan oleh sekelompok orang tertentu dan tidak pula segolongan dinasti yang hanya mewariskan kekuasaan kepada garis keturunannya secara turun temurun,” tegas Yusril.

Yusril melanjutkan kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD NRI 1945. Makna dilaksanakannya kedaulatan di tangan rakyat dijelaskan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan dengan satu mekanisme yang disebut dengan pemilihan umum.

“Sekitar 270 juta lebih rakyat diberikan kesempatan memilih langsung wakil-wakilnya,” tambahnya.

Meskipun rakyat memiliki kedaulatan, wilayah Indonesia yang luas serta kompleksnya urusan pemerintahan menjadikannya tidak mungkin bagi ratusan juta rakyat Indonesia untuk menjalankan roda pemerintahannya sendiri secara langsung.

“Artinya, mau tidak mau harus dijalankan oleh sebagian orang saja yang dipilih karena mampu dan berkompeten menjalankan tugas tersebut. Atas dasar itulah diterapkan sistem perwakilan,” terangnya.

Dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Kemudian pada Ayat (2) disebutkan terkait jabatan yang akan dipilih oleh konstituen.

Sementara, pada Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan yang ikut kontestasi dalam pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Begitu juga dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Ketentuan Pasal 6A Ayat (2) menegaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.

Berdasarkan hal tersebut, lanjut Yusril, urusan pelaksanaan kedaulatan rakyat, UUD NRI Tahun 1945 menempatkan partai politik dalam posisi yang dominan.

Yusril menambahkan tanpa adanya kepesertaan partai politik dalam pemilu maka tidak pernah akan ada penyaluran kedaulatan. Dengan kata lain, ketiadaan partai politik dalam konstestasi pemilu dengan sendirinya bakal menghilangkan negara demokrasi itu sendiri.

“Partai politiklah yang berkontestasi, bukan rakyat yang berkontestasi secara langsung,” jelasnya.

Baca juga: Prabowo Tegas Mendukung Sistem Proporsional Terbuka di Pemilu 2024

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  38  =  43