Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Sejauh yang bisa disimak, program reklamasi yang (sempat ditolak, namun dilanjutkan juga) di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, bukanlah Program Strategis Nasional yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Reklamasi Jakarta lebih bernuansa lokal, ketimbang nasional. Berbeda dengan Food Estate, misalnya. Begitupun reklamasi yang berlangsung di provinsi lain, baik yang sudah berjalan, sedang berjalan, atau sama sekali sudah berhenti. Sekalipun, setiap program atau proyek reklamasi ini bergaung secara nasional, apalagi kalau terjad kekisruhan. Pemerintah pusat berperan antara ada dan tiada dalam pemberlangsungan atau pemberhentian program reklamasi.
Video viral terkait Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang bertembok tinggi, mulai mengusik sebagian publik. Namun belum sampai kepada penolakan keberlanjutan pembangunan PIK 2 yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, tersebut. Paling jauh, pihak pengembang bakal hadapi tekanan publik guna memberikan akses jalan kepada penduduk desa-desa yang kini kesulitan.
Pertanyaan terpenting yang layak diajukan adalah mengapa Singapura, misalnya, bersama sejumlah negara (kaya) menjadikan reklamasi — bahkan pembangunan pulau-pulau buatan baru — sebagai proyek strategis nasional dengan anggaran multy years? Bahkan guna mewujudkan itu, bahan baku mereka datangkan dari luar negeri, tentu dengan biaya yang sangat mahal.
Konsekuensi pertumbuhan jumlah penduduk? Sentra ekonomi baru di masa datang?
Sementara Indonesia yang tak butuh sumberdaya alam sebanyak negara-negara maju itu, dihadapkan dengan kontroversi berapa “jatah” Pendapatan Asli Daerah dari nilai keuntungan yang diperoleh pengembang yang sekaligus investor. Kekhawatiran yang bernada “tuduhan” lain, betapa hanya kalangan yang memiliki uang alias kayaraya yang bakal bisa menyewa atau membeli property yang ada di area reklamasi.
Usia 25 tahun,1997, saya menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Ukuran paling utama era itu, bukanlah ijazah atau satuan kresit semester, tetapi skripsi. Saya menulis skripsi dengan judul: “Koreksi Demi Koreksi: Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Malari sampai Penolakan NKK/BKK (1974-1980)”. Butuh waktu dua tahun guna menyelesaikan skripsi itu. Sebagai mahasiswa ilmu sejarah, kami tidak dididik untuk menghafal teori, apalagi menghayalkannya.
Ilmu sejarah berlandaskan kepada fakta demi fakta tertulis. Rekonstruksi atas fakta itulah yang menjadi kisah atau cerita atau narasi dari apa yang dikenal sebagai s e j a r a h. Artinya, apabila ditemukan fakta-fakta baru, seluruh bangunan s e j a r a h yang bisa saja sudah tersublimasi di dalam pikiran publik, dari pengetahuan menjadi doktrin, bakan direvisi, dirombak, bahkan diubah sama sekali.
Usia 36 tahun, setelah kuliah selama dua tahun, di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, saya menulis tesis dengan judul: “Bouraq Singa Kontra Garuda: Pengaruh Sistem Lambang dalam Separatisme GAM terhadap RI.” Berbeda dengan ilmu sejarah, ternyata ilmu komunikasi lebih berinduk kepada teori yang ternyata sangat banyak, luas, serta detil. Dua mazhab bertarung, yakni strukturalisme versus pascastrukturalisme atau dikenal juga dengan paska modernisme.
Sebagai ‘kompromi’, saya menggunakan semiotika sebagai pendekatan ilmiah. Dengan semiotika, saya bisa berselancar dari strukturalisme yang lebih sinkronis hingga paska modernisme yang lebih diakronis dalam memberikan tafsiran atas teks. ‘Sistem Lambang’ yang disebut dalam jusul tesis, sebetulnya rangkaian teks demi teks, cuma tidak dalam bentuk tulisan.
Setelah itu, saya seakan mengalami kebekuan, atau lebih tepat lagi merasa sudah “menyelesaikan” tugas sebagai pembelajar. Ilmu sejarah adalah hulu dari seluruh ilmu pengetahuan. Ilmu semiotika?
Bukan saja hilir dari seluruh ilmu pengetahuan, bahkan juga buih dan bahkan debu dari seluruh ilmu pengetahuan. Tak ada lagi yang lebih terdahulu dibanding ilmu sejarah, atau terbelakang dibanding ilmu semiotika. Karena itu, guna memberikan k e k a y a a n atas kedua disiplin ilmu, juga dua titel yang saya raih, baik sebagai sarjana, maupun sebagai magister, saya memutuskan untuk mengambil jurusan Ilmu Adminstrasi untuk pendidikan doktoral, juga di Universitas Indonesia.
Dalam rancangan disertasi yang sempat saya corat-coret, persoalan keberhasilan dan kegagalan reklamasi di bidang kelautan bakal menjadi perjalanan ilmiah terberat saya. Reklamasi bagi saya adalah pertautan antara hulu (sejarah) dan hilir (semiotika) yang tak semua gagal, seperti reklamasi di Sorong, Papua Barat, Kendari, dan Losari, Makassar. Betul, reklamasi di Teluk Palu masih centang perenang, begitupula di Jakarta. Sejumlah titik reklamasi yang sudah dan sedang dimulai, malahan dibatalkan, seperti Teluk Benoa, Provinsi Bali dan Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Berhubung saya menggunakan metodologi kualitatif, saya betul-betul datang ke lokasi-lokasi reklamasi tersebut, bahkan beberapa lebih dari sekali. Pendekatan ilmu administrasi yang berisi “pilihan kebijakan kekinian atau sedang berlangsung” jauh lebih utama digunakan, ketimbang dari mana pikiran reklamasi berawal, hendak kemana reklamasi berakhir.
Namun, saya sadar, ternyata menyerah untuk berada pada bidang ilmu ini. Bukan karena kalah, hanya saja ruang dan waktu yang belum berpihak.
Kenapa tidak?
Saya diwajibkan untuk hadir alias memenuhi jam berada di kelas (sitting class). Bagaimana mau bicara administrasi, bahkan hadir di kelas saja sesuai jam minimal, saya tak berhasil. Betul, ketika mengambil studi doktoral, pekerjaan saya sedang berjibun, yakni berada di pemerintahan. Bukan saja sebagai Ketua Tim Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tetapi sekaligus ejumlah tugas lain, misalnya Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Pratama dan Pejabat Tinggi Madya di sejumlah kementerian, badan, dan lembaga, bahkan pemerintahan provinsi. Belum lagi penugasan sebagai anggota Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance) Reformasi Birokrasi Nasional RI. Berikut, anggota Dewan Pakar Partai Golkar.
Dan saya memutuskan tak lagi membayar uang kuliah sebagai syarat pokok meneruskan perkuliahan. Dan, lama kelamaan, terjadi kekosongan yang panjang dalam catatan akademik saya. Tanpa sempat bertanya kepada pihak yang punya kewenangan, saya merasa sudah drop out dengan sendirinya, akibat kehabisan waktu guna menjalankan studi. Ternyata saya keliru, ketika berjumpa dengan Dekan FIA UI. Bisa saja saya diberikan kesempatan melanjutkan studi, tentu berdasarkan kemudahan studi yang diberikan guna menyesuaikan diri dengan pandemi. Kelas duduk, misalnya, digantikan dengan kelas jarak jauh. Entah mengapa, saya tak mengambil kesempatan yang lebih berharga dari emas berlian itu.
Apa yang mau saya ungkap dengan cerita itu?
Suatu bangsa, selain berhulu pada cerita yang berasal dari fakta-fakta sejarah, juga sedang menuju hilir, yakni gelombang, ombak, riak, dan buih. Namun, suatu bangsa bakal tak tahu berhulu atau berasal dari mana, ketika tak paham apa yang menjadi prioritas absensi demi absensi berupa kehadiran negara hari ini, jam demi jam, menit demi menit. Kehebatan di masa lalu dan kejayaan di masa depan bisa membuat bangsa tercabut dari negara, apabila ternyata negara terlalu sibuk dengan berbagai program dan proyek yang bersifat perekayasaan atas masa depan, berdasarkan semata-mata dari subjektivitas dari penyelenggara negara.
Kehadiran negara seperti apa yang paling penting, hingga hulu dan hilir bisa menjadi kesatuan filosofis dan persatuan paradigmatis, begitulah yang menjadi makna terbesar dari kemerdekaan negara. Tentu, kemerdekaan bukan dalam arti terlepas dari pendudukan militer negara lain, melainkan kemerdekaan yang lebih hakiki, yakni jiwa (manusia) makin hidup, begitupula badan (rakyat) kian bergairah. Yang sehat bukan saja fisik, tetapi jiwa. Sehingga parameter yang digunakan dalam mengukur kemajuan atau kemunduran manusia, tak semata indeks pembangunan, namun sekaligus indeks kebahagiaan, demokrasi, bahkan kini masuk kepada bukan semata manusia, tetapi bertambah dengan lingkungan (untuk) hidup, yakni hewan dan tumbuhan. Polusi udara jauh lebih ditakuti, dibandingkan kehadiran drone atau kapal perang negara lain yang hendak menyerang.
Penambahan alat ukur itu tak sebanding dengan waktu yang ternyata sudah masuk usia 78 tahun guna mencapainya. Waktu yang sesungguhnya sudah lama, dibandingkan dengan jumlah seluruh perang terpenting dalam menghadapi pendudukan bangsa-bangsa kolonial. Perang Jawa hanya makan waktu lima tahun, sementara Perang Paderi (1821-1837) kalau dikurang Java Orloog, dua kali lipat lebih lama, yakni 11 tahun. Di sejumlah negara Eropa, lebih banyak digunakan angka tahun dalam menyebut peristiwa peperangan, ketimbang nama daerah atau wilayah seperti di Indonesia. Ditambah dengan jumlah pahlawan nasional yang bertambah tiap tahun, nama-nama perang juga dilekatkan dengan nama pahlawan nasional yang dimaksud.
Saya tidak punya kompetensi guna menyebut jumlah tahun (akumulatif) dalam keseluruhan perang terhadap bangsa-bangsa kolonial yang dilakukan bangsa Indonesia di berbagai wilayah dan tahun. Tetapi saya percaya, bahkan dalam masa-masa perang itu sekalipun, terdapat masa damai. Dan, bahkan, jauh lebih banyak wilayah yang berada dalam naungan perdamaian, ketimbang berkubang dalam lumpur peperangan. Itu kalau tak hendak menggunakan studi yang dilakukan Resink, betapa jauh lebih banyak negara yang merdeka, ketimbang berada dalam pagutan kolonial. Dokumen yang digunakan Resink tentunya surat-surat berupa pernyataan perang dan perjanjian damai antara negara-negara kolonial dengan kerajaan yang berada di nusantara, namun juga seberapa banyak yang tak memiliki perjanjian serupa.
Baca juga: Ichan Loulembah The God Father of Aktivisme
Hanya saja, keseluruhan upaya yang ilmiah itu, tak bakal bisa dijadikan parameter, ketika sejarah diselimuti politik kekinian. Perolehan suara dalam pemilu dijadikan sebagai valuta, bahkan guna mempertukarkan apa yang bersifat ilmiah atau sekadar tahayul di masa lalu, masa kini, juga masa datang. Pemilu yang lahir dari kalangan borjuis, sejak semula bukan ditujukan sebagai alat tukar semacam itu, tentunya. Namun, setiap kali kekuasaan terbentuk, persoalan yang sama terulang kembali. Publik seakan masuk dari satu penjara waktu ke penjara waktu yang lain yang hakim-hakimnya ditentukan oleh politisi. Publik terkurung dalam polusi waktu yang begitu pekat, sehingga mata menjadi lamur, antara satu kelompok dengan kelompok lain tak bisa lagi saling melihat. Bahkan, manakala bentrokan terjadi, hampir tak ada mata keadilan yang bisa dipercaya, sebagai penglihatan hukum yang terpercaya.
Atas dasar itu, apa makna Proklamasi Kemerdekaan 78 tahun yang lalu itu?
*Calon Sementara DPRD DKI Jakarta Partai Golkar