Channel9.id – Jakarta. Dalam nota pembelaanya Hari Setianto, mantan Direktur Keuangan dan Investasi PT Asabri di Pengadilan Tipikor, 14/12/2021, menyampaikan bahwa perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK mengandung banyak kekeliruan.
Dengan mengacu kepada keterangan ahli hukum kerugian negara, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, SH,MH, kekeliruan yang terjadi antara lain. “BPK mengabaikan efek-efek yang masih ada di reksadana ataupun dalam pengelolaan Asabri,” jelas Hari Setianto.
Dalam Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”), kerugian negara adalah ‘berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja dan lalai.
Menurut Hari Setianto berdasarkan ketentuan tersebut, maka perhitungan BPK RI telah mengabaikan fakta bahwa efek/surat berharga masih ada dalam reksa dana ataupun dalam pengelolaan Asabri.
Selanjutnya ia menyampaikan bahwa selama efek/surat berharga masih ada dalam reksa dana ataupun dalam pengelolaan Asabri, maka keadaan untung atau rugi masih belum nyata dan pasti jumlahnya.
“Sehingga, perhitungan BPK R.I. bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum telah bertentangan dengan ketentuan dalam UU Perbendaharaan Negara,” tegasnya.
Dalam perhitungan BPK R.I, reksa dana yang belum dicairkan (di-redeem) sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, dianggap bernilai Rp. 0,- (karena belum menjadi uang kas masuk). Meskipun pada kenyataannya, dalam semua reksadana tersebut terdapat berbagai efek (saham, obligasi atau deposito) yang masih tinggi nilainya.
Hari Setianto mencontohkan Reksadana Guru dari MI Insight, saat ini memiliki nilai aktiva bersih (dari surat berharga yang ada didalamnya) sebesar Rp. 733.000.000.000 (tujuh ratus tiga puluh tiga milyar rupiah). Namun, dalam perhitungan BPK R.I., dianggap nilainya Rp. 0.
BPK R.I. menentukan kerugian dari reksadana ini sebesar Rp. 868.000.000.000 (delapan ratus enam puluh delapan milyar rupiah), yakni sebesar uang pembelian (subscription) reksadana tersebut yang belum kembali menjadi uang kas masuk sampai dengan sampai dengan 31 Desember 2019.
Hari Setianto menjelaskan kalaupun BPK R.I. menganggap hal tersebut sebagai kerugian harusnya kerugian dalam reksa dana ini dihitung sebesar Rp. 135.000.000.000 (seratus tiga puluh lima milyar rupiah), dihitung dari modal keluar dikurangi aktiva bersih, (Rp. 868 milyar -Rp. 733 milyar), itupun disebut unrealised loss, bukan kerugian yang sudah pasti. Karena suatu saat bisa naik lagi mengikuti perkembangan pasar saham.
Selain itu , BPK R.I. mengabaikan konsep akuntansi. Padahal akuntansi adalah cara yang sampai saat paling tepat untuk mengukur bertambah atau berkurangnya kemampuan ekonomis suatu entitas.
Berdasarkan Laporan Keuangan Asabri tahun 2018 dan 2019, aset PT Asabri mengalami penurunan dari Rp. 32.000.000.000.000 (tiga puluh dua triliun rupiah) menjadi Rp. 28.000.000.000.000 (dua puluh delapan triliun rupiah), yakni turun hanya Rp. 4.000.000.000.000 (empat triliun rupiah).
“Jauh lebih kecil dari perhitungan BPK R.I. Itupun masih berupa unrealised loss yang suatu saat dapat kembali menjadi keuntungan, jika pasar membaik,” ujarnya.
Hari Setianto juga mempertanyakan batasan kerugian negara sebagai ‘uang yang dikeluarkan (untuk membeli reksa dana dan saham) dan belum kembali menjadi uang kas per 31 Desember 2019’, merupakan konsep yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Dalam pembelaanya, mantan Dirkeu Asabri juga menegaskan Saham dan Reksadana tidak memiliki tanggal jatuh tempo, sehingga tidak ada kewajiban untuk dikembalikan uangnya kepada investor pada tanggal tertentu (misalnya, 31 Desember 2019).
Kalau meminta uang kas-nya kembali pada tanggal tersebut, mestinya harus dilakukan pencaira reksa dana atau penjualan saham terlebih dahulu (sebelum tanggal tersebut). Cara menilai aset yang dilakukan oleh BPK R.I. pada dasarnya sudah keliru.
“Sebagai dana pensiun dan perusahaan asuransi jiwa, Asabri adalah investor jangka panjang, bukan trader. Sehingga tidak ada alasan bagi Asabri untuk melepas investasi jika waktunya belum dianggap tepat,”pungkasnya.