Opini

Sang Sifu Yang Lembut dan Sang Murid Yang Kejam (Bukan Dialog Imajiner dengan Christianto Wibisono)

Oleh: Indra J Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Biasanya saya istirahat satu atau dua hari, setelah menghabiskan energi beberapa hari. Istirahat, dalam arti tidak membuka media sosial. Termasuk tak njawab panggilan telepon. Apalagi komunikasi yang ada di WhatsApp atau telegram. Saya tahu, energi saya terbatas. Baik untuk gembira ria, apalagi berduka cita. Begitu banyak kabar duka minggu ini, akibat sapuan Covid-19 jenis Delta. Air mata saya kering.

Dalam keadaan istirahat, saya hanya bertemu dengan Dadang Ismawan alias @kafirliberal di dapur. Sebagaimana juga begitu, ketika Rhandika berdua saya di Markas Gerilyawan. Rhandika pulang ke Padang, sampai kini belum balik. Tinggal Dadang yang penghuni tetap bangunan tiga lantai ini. Ada-ada saja yang dimasak Dadang. Kemaren, dia memasak bakso. Enak. Namun bika Ambon yang dia bikin, hangus.

Dua hari lalu, saya “tegur” Dadang. Saya sakit perut, soalnya, usai makan masakan dia.

“Bro, besok jangan masak mie lagi pakai air kran. Lu kan tahu, air kran itu penuh mercury dan lain-lain. Perut gue sensitif. Kalau perut lu tak sesensitif gue, berarti mercury itu sudah numpuk dalam usus lu,” kata saya.

Dadang sempat masak mie pakai air kran. Mie goreng. Berhubung dia juga masak sayur-mayur khas masakan dia, saya makanlah dengan lahap. Walau tetap saja, aneh rasanya. Sebaliknya, bagi Dadang, masakan saya yang ajaib. Sebab, sudah pasti penuh dengan cabe dan bawang. Usus saya sudah terbiasa dengan cabe. Walau cabe yang saya beli di Jakarta tidaklah sepedas cabe asal Gunung Marapi.

Dadang sempat menyampaikan pesan Hardy Hermawan, “Lu cek Indra. Masih hidup, dia?”

“Indra kalau lagi ngilang begini, pasti tidur, makan, tidur,” begitu jawab Dadang.

Kawan-kawan saya seperti Hardy dan Fahri Alamudi memang selalu khawatir dengan kesehatan saya. Tiap kali dilihat mereka saya ketemu orang, selalu saja disuruh balik ke markas. Badai Delta telah membuat semua orang siaga.

Dan pesan Hardy yang membuat saya membuka WhatsApp. Ketemu satu masalah di luar Covid 19: Dana Haji. Saya segera telusuri. Sejak Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dibentuk, saya memang rutin membuka laporan keuangannya.

Sebab saya menjadi editor buku Anggito Abimanyu dengan judul Menyimak Turbulensi Ekonomi: Pengalaman Empiris Indonesia. Ketika buku itu diluncurkan di Jakarta dengan pembicara Rizal Mallarangeng, Eko B Supriyanto (Pemimpin Redaksi InfoBank)  dan Burhanuddin Abdullah (ketika terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia, lagi sembunyi bersama saya di Jambi), saya juga hadir. Dari buku itu, saya merasa Anggito jauh lebih pas, dingin, dan rancak ketika mengamati ekonomi, ketimbang berurusan dengan Dana Haji. Karena masih terikat dengan BPKH, saya jadinya mengikuti perkembangan BPKH. Termasuk saya ikuti akun-akun media sosialnya. Kadang, saya becanda dengan Anggito terkait konten dari akun-akun itu.

Jadilah, saya menulis soal Dana Hajji BPKH yang mendapat komentar dari Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas ke nomor smartphone saya. Yaqut adalah kawan saya sejak di kampus. Yaqut pun menjadi Datuk Panglimo dalam organisasi Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara yang saya pimpin, sama halnya dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Berselancarlah saya dengan tulisan itu. Sore hari, tulisan itu sudah hadir dalam sejumlah portal sindikasi Sangga Nusantara.

Dalam suasana seperti itu, datang berita yang tidak saya inginkan. Kabar Christianto Wibisono meninggal dunia. Saya cek chatting-nya dengan saya. Ketika saya sakit tanggal 22 Juni lalu, usai launching Forum Budaya Jakarta Pesisir di Ancol, sosok yang saya panggil sifu (maha guru) ini mengirimkan sejumlah chat. Dan saya belum membalasnya. Terakhir, setelah saya sembuh – saya sakit sekitar seminggu – giliran broadcast saya yang tak dijawab beliau.

Sungguh, saya ingin melakukan dialog imajiner dengan sifu, sebagaimana tulisan terakhir beliau yang berisi dialog imajiner dengan Bung Karno.

Tapi, khawatir kepanjangan. Baik, saya nukil saja dialog saya yang masih terekam dalam smartphone saya. Saya kembali memeriksa seluruh pesannya.

[7/11/2020, 05:56] (11 Juni 2020, pukul 05: 56) Christianto Wibisono: Dahsyat mas Indra. Saya ingn minta komentar mas Indra bila anda sempat perhatikan serial yang saya tulis belakangan ini yang merupakan up grading dari WIBK (Wawancara Imajiner dengan Bung Karno) 1977 yang klasik unik itu.

Seperti jika anda sudah baca, kalau belum saya kasih edisi terakhir saya sejak 1 Juli meng-upgrade WIBK jadi Sarasehan Indonesian Presidents Club 4 orang: BK (Bung Karno), Soeharto, Habibie, Gus Dur. Dengan tema dasarnya 3in1: mawas diri, rekonsiliasi dan wawasan masa depan sejarah Indonesia.

Agar elite yang akan datang tidak mengulangi nasib mereka: saling lengser  satu sama lain denagan gaya 3E: educationg, entertaining, dan enlightening.

[7/11/2020, 05:57] Indra Sang Edelweis: 95 saya sudah menyebut Pak Harto bakal turun. (Salah satu pikiran itu dalam bentuk puisi berjudul “Aku Ingin” yang dibacakan Hendri Satrio dalam akun Youtubenya).

[7/11/2020, 05:59] Christianto Wibisono: ya, anda di CSIS waktu itu, ya mas? (Saya tidak segera menjawab. Berhubung saya punya kesibukan yang lain pagi itu.)

[7/11/2020, 06:01] Christianto Wibisono: {Christianto Wibisono} (Terbaca sekali Sifu menjelaskan bahwa yang mengirimkan chat adalah dia sendiri) Pagi mas Indra saya mau tanya saja, apa ide saya yang sudah saya ujicoba seminggu, Wawancara Imajiner dengan Bung Karno, saya upgrade kontemporer dengan Sarasehan Imajiner Indonesian Presidents Club, dimana 4 Presiden: BK, Soeharto, Habibie, Gus Dur berdiskusi soal kontemporer kita. Mawas diri, rekonsiliasi dan kasih resep future alternative history supaya tidak mengulangi kesalahan dan “nasib mereka” yang saling melengserkan atau lengser. Terima kasih. Salam.

Christiànto Wibisono: Quote dari edisi mutakhir 8/Juli/2020 sarasehan ditutup oleh BK:  “Kita berempat sudah mantan manusia, sudah selesai dengan diri kita. Kita hanya ingin mewariskan Indonesia Seabad nomor  4 sedunia  pada 2045, bukan malah jadi Argentina. Kita berempat menyerukan Stop Segala Bentuk Sanering dan Devaluasi yang Usang. Kalau mau redenominasi supaya jangan jadi sanering harus  simultan  sinergi dollarisasi. Pahami bahwa penyakit kita adalah ICOR tinggi, stupid. Itulah slogan kampanye Bill Clinton 1992 mengalahkan George W Bushl: Its the Economy,stupid!”

[7/11/2020, 06:02] Indra Sang Edelweis: Saya masih kuliah. (Jawaban saya terhadap komentar Sifu bahwa tahun 1995 saya sudah di CSIS).

[7/11/2020, 06:02] Indra Sang Edelweis: Saya masuk CSIS tahun 2000.

[7/11/2020, 06:02] Christianto Wibisono: https://indonews.id/mobile/artikel/30922/Redenominasi-atau-Dollarisasi-Rupiah/

[7/11/2020, 06:04] Indra Sang Edelweis: Saya yang tunjuk-tunjuk semua aktivis 66 pas mereka resmikan Gedung Tritura 1996 di FEUI.

[7/11/2020, 06:04] Indra Sang Edelweis: Saya tunjuk pakai tangan kiri.

[7/11/2020, 06:04] Indra Sang Edelweis: “Kalian berdiri di atas tumpukan jutaan mayat-mayat2!

[7/11/2020, 06:04] Indra Sang Edelweis: Mereka yang saya tunjuk, lalu jadi boss saya, haha.

[7/11/2020, 06:05] Indra Sang Edelweis: Hanya Fahmi Idris yang berani jawab.

[7/11/2020, 06:05] Christianto Wibisono: Sekarang anda masih di Golkar atau independen?  Tampaknya sudah jalur independen kecuali sudah jadi  bupati atau walikota. Tampaknya jalur naik sekarang memang bagi non partai, harus jadi walikota atau bupati terus Gubernur, lalu langsung ke menteri atau presiden. Semua mau pakai jalur Jokowi, termasuk anak mantunya. Ya yang lain ya tetap lewat partai atau birokrasi antrian panjang eselon yang sudah dihapus eselon 4-5-nya, cuma sampai eselon 3.

[7/11/2020, 06:05] Indra Sang Edelweis: Saya di Golkar.

[7/11/2020, 06:05] Indra Sang Edelweis: Sejak 2017 sudah dilarang JK, lawan partai terus. 2012 saya sebgai Kabalitbang Partai Golkar dukung Jokowi – Ahok. Lalu saya menyingkir ke kampung – bertanam buah naga yang tumbuh subur – setelah mengucapkan dukungan di Apa Kabar Indonesia Pagi, TV One.

[7/11/2020, 06:06] Indra Sang Edelweis: Karena sejak masuk Golkar, saya melawan partai terus.

[7/11/2020, 06:16] Christianto Wibisono: ya, mas. Politik rupanya cuma gonta ganti aktor dan panggung, tapi lakonnya sama cuma beda posisi. Yang penting jangan pakai bullet tapi pakai ballot.  Kalau masih bullet ya barjibarbeh (bubar siji bubar kabeh) kiamat lokal maupun global kayak Israel-Palestine dan RRT-AS.

[7/11/2020, 06:18] Indra Sang Edelweis: Mas Chris sekarang tinggal dimana?

[7/11/2020, 06:23] Christianto Wibisono: Saya di Jakarta. Di USA cuma 1998-2006. Terus sejak balik Indonesia, 2010-2014 anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) diketuai Chairul Tanjung, lalu anggota Komite Konvensi Capres Demokrat yang mengorbitkan Dahlan Iskan. Tapi karena Demokrat kalah, ya, tidak bisa mencapreskan siapa siapa.

Sekarang saya balik ke hobby saya menulis Imajiner untuk meng-edukasi entertaining enlightening 3in1. Maka saya cek gaya imajiner itu menarik gak, sekarang. Karena semua kan sudah terbuka. Tapi tema saya bagi elite dengan Sarasehan 4 Presiden: Bung Karno, Soeharto, Habibie Gus Dur adalah mawas diri, rekonsiliasi dan alternative history.

Jangan ulang sejarah saling lengser. Tapi  bikin sejarah alternatif meritokrasi murni dari virus predator Brutus – Ken Arok – Machiavelli, 3 in1. Kalau kita hormati meritokrasi Insya Jesus Indonesia pasti jadi nomor 4 dalam kualitas, dalam satu generasi pada 2045 (usia seabad). Nah ini tanggung jawab generasi NOW WOW milenial.

[7/11/2020, 06:38] Indra Sang Edelweis: Kapan menghadap? (Tentu saya yang mau menghadap beliau. Bukan sebaliknya.)

[7/11/2020, 06:41] Christianto Wibisono: Ini masih pandemi Covid. Saya sudah lansia 75, jadi masih moda Stay and Work From Home mas. Tidak bisa kopdar entah sampai kapan. Semoga secepatnya, bisa pulih dunia pasca Covid ini. Atau malah homo sapiens ternasibkan terisolasi terus gara-gara Covid ini.

[7/11/2020, 06:42] Indra Sang Edelweis: Iya, Mas.

[11 Juni 2020, pukul 06:44] Christianto Wibisono: OK, Mas. Thank you. GBU. Bye.

Begitu dialog saya hari itu. 11 Juni 2020. Entah setan apa yang membuat saya begitu dingin. Padahal, saya adalah pengagum sosok ini. Kagum yang berlebihan, malah. Dalam tulisan berikut, saya akan perlihatkan bagaimana saya lebih fokus kepada beliau, sifu-ku ini. Mudah-mudahan masih terekam dalam smartphone saya. Candaan saya. Kelunturan beliau. Yang jelas, dalam dialog setahun lalu ini, saya teramat kejam!!!

*Pun Terlahir dari Pers Mahasiswa seperti Sang Sifu

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

81  +    =  89