Ekbis Opini

SBN Akan Terus Diborong Bank Indonesia?

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia tidak hanya oleh Pemerintah, melainkan juga oleh beberapa otoritas ekonomi yang lain. Ada Bank Indonesia (BI) yang merupakan bank sentral dengan otoritas utama pada sektor moneter, seperti menentukan jumlah uang beredar dan suku bunga acuan. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur industri keuangan, termasuk perbankan.

Pemahaman akan kebijakan fiskal, moneter, perbankan, dan berbagai jenis kebijakan ekonomi lainnya perlu memperhatikan konteks negara Indonesia. Baik secara regulasi, maupun praktik kebijakan yang benar-benar dijalankan. Ada perbedaan antar negara yang kadang cukup mendasar dalam soalan tersebut.

Di sisi lain, dinamika ekonomi membuat hubungan antar sektor terjalin erat. Saling pengaruhnya pun makin bersifat segera. Diimbuhi pengaruh dinamika global dan antar negara yang makin bersifat langsung pula. Dari sisi Indonesia, respon kebijakan ekonomi atas dinamika tersebut memerlukan harmonisasi dan koordinasi antar otoritas dan jenis kebijakan.

Baca juga: Tanpa Berutang Lagi, Separuh Pendapatan Dipakai Bayar Utang Lama 

Hal demikian cukup disadari oleh otoritas ekonomi Indonesia. Terutama dalam konteks jika ada kondisi yang bersifat guncangan dan bisa mengakibatkan dampak buruk yang sistemik, yang dimulai dari atau diperparah oleh kondisi industri keuangan. Telah dibentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) pada tanggal 30 Desember 2005, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

FSSK adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Forum ini disebut pihak otoritas sebagai sangat diperlukan terutama dalam menghadapi risiko atau dampak sistemik, yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama secara efektif dan responsif.

Akan tetapi, sejauh yang tampak dalam pemberitaan publik, forum hanya berlangsung sebulan sekali. Keterangan pers yang diberikan pun terkesan masih berkonten laporan masing-masing unit otoritas. Belum kelihatan aspek harmonisasi dan koordinasi yang kuat. Kemajuan yang tampak sebelum pandemi, baru berupa dikenalkannya istilah bauran kebijakan ekonomi, khususnya makroekonomi.

Hikmah pandemi dalam hal ini berupa meningkatnya koordinasi antar otoritas. Meski sempat ada beberapa arah kebijakan yang tampak berbeda Ketika dikomunikasikan kepada publik pada awal April. Misalnya soal asumsi kurs rupiah dari Pemerintah, dan target dari Bank Indonesia. Beberapa waktu kemudian terlihat lebih koordinatif dalam komunikasi publik dari semua pihak otoritas.

Beberapa bulan terakhir mengemuka dan menjadi bahan perbincangan adalah kebijakan berbagai beban antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Secara teknis, kebijakan dimaksud berupa pembelian SBN oleh BI dengan beberapa cara yang sebelumnya tidak dijalankan, bahkan ada yang tak diperkenankan aturan.

Ada skema berdasarkan keputusan bersama BI dan Menteri Keuangan yang pertama, pada 16 April 2020. Disepakati BI berperan sebagai standby buyer dari Surat Berharga Negara (SBN) hingga 25 persen dari jumlah yang dilelang pemerintah.

Pengertian hingga 25 persen tersebut merupakan nilai maksimal. Secara teknis bergantung dari tiap lelang yang diikuti oleh BI, yang menjadi peserta lelang nonkompetitif. Pada dasarnya BI tetap memperoleh imbal hasil yang cukup tinggi. BI hanya mengajukan penawaran jumlah dengan harga mengikuti hasil dari lelang kompetitif. BI diharapkan pula pada lelang tambahan (GSO) jika dibutuhkan.

Sampai dengan tanggal 14 Desember, pembelian dengan skema ini mencapai Rp75,86 triliun. Koordinasi lanjutan terkini menyepakati skema ini akan diteruskan pada tahun 2021 dan 2022.

Nilai pembelian SBN yang lebih besar oleh Bank Indonesia pada tahun 2020 adalah berupa pembelian dengan mekanisme secara langsung (private placement). Sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli 2020 dengan skema kedua, yang direncanakan sebesar sebesar Rp 397,56 triliun. Dan dalam hal ini, imbal hasil yang diterima BI akan jauh lebih kecil, merujuk pada BI reverse repo rate, tenor 3 bulan.

Hingga 14 Desember, BI telah membeli SBN dengan skema ini sebesar Rp397,56 triliun. Dengan kata lain, telah memenuhi nilai yang disepakati. Pada akhir September sempat dijelaskan oleh pihak BI bahwa jika tidak terealisasi semua, dimungkinkan carry over ke tahun berikutnya. Oleh karenanya tak tertutup kemungkinan, ada kesepakatan lagi pada tahun 2021.

Penyerapan pasar atas SBN sebenarnya terus meningkat sebelum pandemi. Akan tetapi kenaikannya terjadi secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, penerbitan SBN bruto mencapai Rp903 triliun telah terhitung meningkat paling pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berturut-turut nilai penerbitan bruto adalah sebagai berikut: Rp652 triliun (2016), Rp719 triliun (2017), Rp775 triliun (2018).

Dengan rencana penerbitan SBN yang sangat besar pada tahun 2020, maka bantuan dari BI memang dibutuhkan. Penerbitan SBN bruto hingga tanggal 14 Desember 2020 telah mencapai Rp1.526,63 triliun. Pembelian oleh BI telah mencapai kisaran Rp625 triliun. Dengan kata lain, pasar selain BI menyerap sekitar Rp900 triliun. Setara dengan serapan pada tahun 2019.

Sebelum adanya kedua skema di atas, BI telah memiliki SBN melalui pasar sekunder. SBN memang dipakai sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter. Namun, setelah adanya kedua skema tadi dan aktivitas BI di pasar sekunder, kepemilikannya melonjak secara drastis.

Pada akhir Desember 2019, BI memiliki SBN domestik (berdenominasi rupiah) sebesar Rp273,21 triliun. Porsinya sebesar 9,93% dari total SBN domestik. Terbilang sudah lebih tinggi sedikit dibanding rata-rata porsi pada akhir tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata di kisaran 9% saja. Porsinya pun meningkat pesat mencapai 22,66% pada 14 Desember 2020.

Kepemilikan SBN oleh BI yang dikategorikan untuk keperluan operasi moneter sebesar 12,74% dari total SBN domestik pada 14 Desember 2020. Sedangkan pada akhir tahun 2019, hanya sebesar 0,39%. Dengan kata lain, peningkatan tersebut bisa dikategorikan sebagai kebijakan “quantitative easing”. Kebijakan melakukan pelonggaran likuiditas bentuk kebijakan moneter yang tidak konvensional. Bisa diartikan pula sebagai menambah jumlah uang beredar, dan dalam kasus ini bernilai cukup besar.

Meskipun BI telah dan tampaknya masih akan membeli SBN pada tahun 2021, namun penyerapan oleh pasar tetap diperlukan. Dan sebenarnya yang paling diharapkan memang penyerapan oleh pasar. Skema berbagi beban dengan BI bisa dikatakan lebih bersifat “darurat”.

Jika akan terus dilakukan cara serupa tahun 2020, sebenarnya terjadi perubahan yang amat mendasar pada kebijakan moneter. Selain perlu perubahan regulasi yang bahkan setingkat undang-undang, mesti didiskusikan secara terbuka dahulu pola kebijakan seperti apa yang mau dipakai. Jika cuma alasan darurat pun, justeru perlu dihitung pula dampaknya bagi “keuangan” BI sendiri.

Kita tidak ingin kondisi fiskal yang sakit menulari kondisi moneter. Selanjutnya menyulitkan kondisi industri keuangan, seperti perbankan dan pasar modal. Kemudian soal waktu saja akan mengguncang neraca pembayaran dan kurs rupiah.

Pihak otoritas ekonomi harus segera memastikan pola kebijakan ekonomi seperti apa yang sebenarnya ingin diterapkan. Sebelumnya, beri kesempatan para ahli di luar mereka untuk urun pendapat dan dipertimbangkan.

Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  5  =