Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Masalah utama utang pemerintah bukan lah berapa sisa atau posisi utangnya, melainkan bagaimana kemampuan untuk membayarnya. Pembayaran beban utang mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran cicilan pokok, dan pembayaran bunga utang. Pembayaran cicilan pokok utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman (loan). Sedangkan untuk jenis Surat Berharga Negara (SBN), pelunasan dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya.
Pemerintah kadang melakukan pelunasan SBN sebelum waktu jatuh temponya, yang dikenal sebagai pembelian kembali (buyback). Biasanya dilakukan untuk memperbaiki struktur utang, seperti rata-rata waktu jatuh tempo. Sumber pendanaan untuk hal ini adalah dengan menerbitkan SBN seri baru.
Pelunasan pokok utang tidak dicatat pada Belanja Negara dalam postur APBN, melainkan pada pos pembiayaan. Dengan demikian, tidak mempengaruhi pada besar kecilnya defisit anggaran. Defisit hanya memperhitungkan pendapatan dan belanja.
Dalam hal pinjaman, postur APBN mencantumkan secara jelas berapa yang dibayar dan berapa pinjaman baru yang diterima. Selisih keduanya merupakan nilai pinjaman neto pada tahun bersangkutan. Dalam hal SBN, yang kini dicantumkan adalah nilai secara neto, karena ada kebijakan buyback, yang dibolehkan oleh undang-undang. Untuk penerbitan bruto setahun, nilainya hanya bisa dipastikan dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Kadang dapat dilihat perkembangannya pada informasi khusus yang berkaitan.
Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Meski ada pandemi pada tahun 2020, pelunasan tetap direncanakan berdasar waktu jatuh tempo, yang nilainya menurun. Diprakirakan akan kembali meningkat mulai tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang baru pada tahun 2020 merupakan utang yang berjangka pendek.
Sementara itu, pembayaran bunga utang diperlakukan sebagai belanja dalam postur APBN. Pengertian pembayaran bunga utang dalam belanja APBN mencakup semua biaya, tidak hanya bunga yang rutin dibayar.
Ada biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.
Baca juga: Misteri Angka Rasio Utang Pemerintah Atas PDB
Sedangkan bunga untuk SBN pada pasar perdana atau pertama kali dijual, diperhitungkan tentang imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.
Pembayaran bunga utang mencapai Rp275,54 triliun pada tahun 2019. Nilainya cenderung meningkat tiap tahun. Rerata kenaikannya pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi covid-19, pembayaran bunga direncanakan akan sebesar Rp338,78 triliun pada tahun 2020. Mengalami kenaikan sebesar 22,96% dibanding tahun 2019.
Total pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang mencapai Rp 837,92 triliun pada tahun 2019. Pembayaran beban utang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju yang fluktuatif. Sempat sedikit turun pada tahun 2015. Diprakirakan akan sedikit turun pada tahun 2020, yang meski pembayaran bunga meningkat, pelunasan utang pokok mengalami penurunan cukup signifikan.
Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan telah cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN pada tahun tersebut.
Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Meski pembayaran beban utang akan menurun pada tahun 2020, namun pendapatan pun menurun sangat signifikan. Sehingga, rasionya masih akan meningkat menjadi sekitar 44,93%.
Dengan rasio pembayaran beban utang atas pendapatan yang sedemikian besar, maka ruang untuk kebijakan fiskal menjadi sempit. Pemerintah akan cukup kesulitan menyusun APBN yang ekspansif, terutama dalam hal belanja yang langsung meningkatkan pelayanan masyarakat atau pemberian langsung kepada rakyat miskin.
Pada kondisi fiskal yang demikian, perekonomian Indonesia terdampak buruk oleh pandemi. Pendapatan negara seketika terpukul pada tahun 2020 dan masih berlanjut pada tahun 2021. Sedangkan untuk tahun 2022 sampai dengan 2024 masih belum bisa dipastikan kondisinya. Sangat mungkin, laju kenaikan pendapatan negara tidak lah secepat pemulihan ekonomi.
Padahal, Pemerintah telah dan masih akan meningkatkan belanjanya. Antara lain dijelaskan sebagai upaya mitigasi dampak pandemi dan menjalankan program pemulihan ekonomi. Sebagai konsekwensinya, Pemerintah menambah utangnya secara besar-besaran pada tahun 2020, dan masih akan berlanjut pada tahun 2021.
Hal itu dapat dipastikan akan menambah beban pembayaran beban di tahun-tahun mendatang. Baik pelunasan maupun pembayaran bunga. Jika laju kenaikan pendapatan tidak dapat mengimbangi, maka rasionya bisa mencapai 50% atau separuh dari pendapatan pada tahun 2024. Tidak tertutup kemungkinan telah terjadi pada tahun 2022 atau 2023.
Dalam konteks keberlanjutan fiskal, idealnya beban utang dibayar oleh surplus anggaran. Atau setidaknya diimbangi secara proporsional oleh laju kenaikan pendapatan, sehingga rasio tersebut tidak meningkat atau terlampau tinggi.
Pemerintah dan DPR perlu memikirkan paradigma baru dalam pengelolaan APBN. Tidak selalu bernarasi APBN yang ekspansif atau rasio utang yang aman menurut undang-undang. Tantangan terberat adalah keberlanjutan fiskal. Bagaimana APBN dikelola agar Pemerintah tetap mampu memberi layanan optimal bagi rakyat, serta tidak membebani generasi mendatang.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri