Channel9.id – Jakarta. Sejumlah RUU baik inisiatif DPR maupun pemerintah kerap menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat. Hal ini menunjukan kurang maksimalnya penyerapan aspirasi dari DPR ataupun Sosialisasi oleh Pemerintah.
Sekjen DPN Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) Cahyo Gani menyatakan, seharusnya Pembentuk Undang-Undang ketika hendak merumuskan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang mengundang stakeholder yang benar-benar berkaitan dengan kepentingannya atau interest.
“Misal RUU Cipta Lapangan Kerja hadirkan organ-organ buruh dan lainnya untuk didengar suaranya, RUU HIP Undang Ormas Keagamaan, Omas Sosial Politik dan Ormas Kebudayaan guna Dengar Pendapat,” katanya berdasar rilis, Minggu (14/6).
Cahyo melanjutkan, setelah Naskah Akademik atau Draf Rancangan Undang-Undang jadi, perlu dilakukan Sosialisasi kepada masyarakat luas dalam jangka beberapa waktu.
Hal ini perlu dilakukan untuk penyempurnaan dalam Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Terlebih, sekarang metode omnibus diimplementasikan dalam pembentukan dan perubahan Undang-Undang.
“Tentunya metode omnibus law harus selaras dengan konstitusi dan perundang-undangan lainnya karena secara historis Indonesia lebih mengenal dan menganut kodifikasi hukum,” kata Cahyo.
Selain itu, terkait RUU HIP, Cahyo menyatakan, Pembentuk Undang-Undang harus memahami filosofi ataupun kesejarahan hukum, sosiologis atau pranata sosial masyarakat selain yuridis formal.
“Maksudnya pentingnya membedakan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan konsensus bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dari BPUPK hingg PPKI, yang mana para pendiri dalam musyawarah mufakat telah berkonsensus menerima Panca Sila sebagai Dasar Indonesiar Merdeka atau Dasar Negara, sedangkan Tri Sila ataupun Eka Sila adalah tawaran nama yang di tawarkan Bung Karno kepada seluruh peserta musyawarah, artinya muatan materi Undang-Undang sebaiknya mengutamakan subtansi. kemudian terkait paham-paham yang dianggap bertentangan dengan PancaSila semisal Komunisme (Marxisme-Leninisme), Khilafahisme, Radikalisme/Terorisme, Kapitalisme-Liberalisme sebenarnya telah dimuat dalam Undang-Undang Organisasi Masyarakat,” kata Cahyo.
Cahyo mengingatkan, dalam menguatkan kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasia dalam bentuk Perpres menjadi Undang-Undang, Pembentuk hukum dalam pembentukan hukum kurang tepat bila pembahasanya tidak fokus. Hal itu justru lari kemana-mana yang akan membuat bingung para stakeholder.
“Sebenarnya Rancangan Undang-Undang ini mau kemana jikalau itu guna memperkuat Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila yang telah di rumuskan oleh BPIP dan operasionalisasi Pancasila seharusnya itu yang menjadi fokus yaitu Penguatan Kelembagaan Ideologi Pancasila dan Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Sekjen DPN ISRI ini.
“Sebenarnya yang paling urgen adalah revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk menjadikan Pendidikan Pancasila Mata Ajar Wajib dalam semua tingatan pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi,” tutupnya.
(HY)