Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Neraca perdagangan RI surplus, sementara defisit investasi kita menembus US$ 15,06 miliar atau Rp 229,14 triliun. Ini tertinggi sejak krisis Lehman tahun 2008. Ini mirip kasus krismon 1998. Awalnya data pertumbuhan yang diumumkan pemerintah hebat, tapi dalam setahun kemudian terjadi defisit neraca pembayaran.
Defisit neraca pembayaran ini kalau tidak segera diatasi dengan cepat maka chaos 98 bisa terulang lagi, karena indikasi sudah kelihatan dan terus memburuk. Dan kesenjangan semakin lebar dan PHK terjadi meluas dan harga haga terus naik. Sementara pemerintah terus meyakinkan Indonesia hebat!
Saat sekarang rasio utang Indonesia 41% terhadap PDB. Itu aman jika mengacu pada pagu utang yang ditetapkan UU sebesar 60%.. Bila dikomparasikan dengan negara ASEAN-5, rasio utang terhadap PDB Indonesia jauh lebih rendah, yakni hanya 41,18% di April 2021, bandingkan dengan dengan Singapura di 154%, Malaysia 64,62%, Filipina 60,4%, dan Thailand 47,28%.
Tapi kekuatan membayar, ukurannya bukan PDB, melainkan rasio penerimaan negara terhadap utang. Sekarang rasionya sudah tembus 369%, ini mengkhawatirkan. Seharusnya tim kabinet Jokowi serius mengatasi ini. Negara lain memang tinggi rasio utang terhadap PDB, tetapi kemampuan membayarnya juga tinggi. Artinya likuiditas bagus. Sama dengan perusahaan. Walau utang 10 kali dari modal, tetapi likuid ya gak masalah.
Masalahnya kini tren peningkatan pembayaran bunga dan cicilan jauh lebih tinggi daripada tren pertumbuhan produksi barang dan jasa. Solusi mencetak uang dapat berakibat rupiah terjun bebas. Akibatnya gak ada lagi orang mau memberi pinjaman. Sumber daya keuangan APBN hilang. Kita bisa bangkrut bareng seperti Venezuela.
Baca juga: Ngeri-ngeri Sedap Berhubungan dengan Kekuatan Oligars GlobalĀ
Persoalan utama yang kita hadapi adalah kurangnya income dan besarnya spending. Solusi sederhananya, Pertama, perkecil defisit. Artinya kurangi belanja dan ekspansi. Jadi kurangi dululah intervensi APBN terhadap proyek infrastruktur, termasuk kalau bisa rencana bangun proyek mercu suar seperti Ibu Kota Baru, rem dulu. Fokus kepada B2B. Kedua, tingkatkan pos penerimaan negara. Selain naikin rasio pajak kita yang hanya 8,3%, pemerintah perlu melakukan financial engineering aset negara secara revolusioner. Kan, pemerintah sudah revaluasi aset BUMN dan kekayaan negara. Sekarang totalnya aset negara Rp.11.000 Triliun. Itu menjadi sumber penerimaan. Caranya transfer hasil revaluasi itu kepada rekening pemerintah. Nah, kan rasio kemampuan membayar kita jadi 60% dari total utang. Hutang Rp.6000 T, sementara penerimaan Rp.11.000 T.
Baca juga: Strategi Larangan Ekspor BauksitĀ
Kemudian valuasi saham BUMN alihkan kepada pemerintah, nilainya Rp.7000 Triliun. Kemudian seluruh PAD setiap daerah masukan sebagai komponen pajak negara. Itu bakal nambah neraca income pemerintah. Lebih revolusioner lagi kalau SDA mineral dan batubara di sekuritisasi. Hutan hujan, hutan bakau, terumbu karang pun bisa di sekuritisasi melalui skema carbon credit. Apalah artinya utang.
Memang, UU tidak membolehkan aset negara di transfer ke pemerintah. Tapi jangan lupa, kita ada INA (Indonesia Investment Authority) yang merupakan amanah UU. Memang aset itu, bukan uang, tapi uang itu tidak harus berupa cash. Aset yang di sekuritisasi bisa dijadikan uang. Artinya atas dasar underlying aset itu Menkeu masih bisa dan mudah terbitkan SBN untuk bayar cicilan hutang dan bunga. Dan itu dibenarkan dalam UU. Jadi masalahnya negara ini teratasi. Yang penting mengerti dan pemerintah bersama parlemen punya political will Merdeka!!!
*Pengamat LAPEKSI